Oleh : Dr. Islamiyatur Rokhmah.,S.Ag.,M.S.I
REJOGJA.CO.ID, Pekan terakhir bulan puasa ini marilah merenungkan atau merefleksikan perbuatan kita selama ini. Apakah selama ini sudah bersikap inklusif atau masih stagnan dengan sikap eksklusif?
Bagaimana ibadah-ibadah ritual kita? Apakah masih bersikap individualistik atau sudah tanggap terhadap problematikan sosial? Apakah sudah peduli dengan sesama dengan mengakui perbedaan gender, suku, agama, ras dan menghargai penyandang disabilitas?
Khususnya dalam menghargai keberadaan penyadang disabilitas, ajaran Islam menegaskan bahwa manusia dapat mencapai ukuran kesempurnaan dengan mengembangkan sifat-sifat positif, sifat-sifat yang telah ada dalam diri individu-individu manusia.
Oleh karena itu, konsep kesempurnaan dan ketidaksempurnaan, dalam arti fisik, memiliki sedikit aplikasi dalam pandangan hidup umat Islam. Dengan demikian, sama halnya pula konsep disabilitas dan non disabilitas. Sikap Alquran terhadap semua manusia dapat ditarik dari ayat ini:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.
Artinya: Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kami berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).
Setiap orang diciptakan dari ayah dan ibu yang sama dan berasal dari kesetaraan biologis yang sama, sehingga tercerminlah persamaan martabat manusia. Ayat tersebut ada hubungannya dengan ayat sebelumnya tentang larangan Allah untuk memperolok-olokkan orang lain. Allah menganjurkan untuk menghormati dan menjaga martabat masing-masing.
Evolusi manusia menjadi 'negara' dan 'suku' dimaksudkan untuk mendorongnya agar dapat memahami dan menghargai kesatuan manusia dan tidak membicarakan tentang perbedaan di antara mereka. Menurut ayat tersebut, yang paling mulia dari manusia di hadapan Allah adalah yang paling mendalam ketakwaannya.
Ukuran Allah menilai manusia bukan bergantung dari atribut fisik atau prestasi material, tetapi dari kedewasaan rohani dan pengembangan etika. Secara eksplisit Nabi menyampaikan pesan ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَى اللهُ عَلَيْةِ وَسَلَّمَ: ((إِنَّ اللهَ لَايَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ)). رِواه مسلم.
Artinya: Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbuatan kalian." (HR Muslim)
Maka dari tulisan ini dapatlah ditarik kesimpulan bahwa kita hendaknya senantiasa menghargai dan bersikap inklusif terhadap semua orang, khususnya dalam hal ini terhadap penyandang disabilitas.
Karena kedudukan derajat yang tinggi dihadapan Allah tidak dilihat disabilitas atau non disabilitasnya, namun dilihat dari derajat ketakwaannya. Menjadikan penyandang disabilitas sebagai subjek pembanguan bukan objek pembangunan adalah sebuah perwujudan sikap inklusif umat Muslim di bulan puasa yang penuh barokah ini.