REJOGJA.CO.ID, Oleh: Ratna Yunita Setiyani Subardjo. SPsi, MPsi, Psikolog (Dosen Psikologi UNISA Yogyakarta)
Dalam setiap peradaban, korupsi selalu menjadi penyakit yang merusak keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Sejak zaman dahulu, keserakahan manusia telah mendorong mereka untuk menyalahgunakan amanah, menggelapkan harta, dan menindas kaum lemah demi kepentingan pribadi. Dalam sejarah Islam, kisah Qarun yang ditelan bumi karena kesombongannya, pengkhianatan Ibnul Lutbiyah sebagai pemungut zakat, hingga ancaman Rasulullah SAW bagi mereka yang mengambil harta rakyat secara tidak sah, menjadi peringatan bahwa korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga sebuah dosa besar yang membawa kehancuran di dunia dan akhirat.
Korupsi bukan sekadar kejahatan finansial atau pelanggaran hukum, tetapi juga refleksi dari kondisi psikologis manusia. Dalam perspektif psikologi, tindakan korupsi dapat dijelaskan melalui Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, di mana individu yang belum mencapai pemenuhan diri (self-actualization) cenderung mencari kepuasan melalui cara-cara tidak etis, seperti penyalahgunaan kekuasaan dan manipulasi sistem. Ketika kebutuhan dasar, seperti keamanan finansial, status sosial, dan rasa dihargai, tidak terpenuhi dengan cara yang sehat, seseorang mungkin tergoda untuk mencari jalan pintas dengan tindakan korupsi.
Dari sudut pandang Cognitive Theory, korupsi sering kali berawal dari pola pikir yang salah (cognitive distortion), di mana seseorang membenarkan tindakannya dengan alasan seperti "semua orang juga melakukannya" atau "ini hanya bagian dari sistem." Distorsi kognitif ini membentuk justifikasi moral yang membuat seseorang merasa tidak bersalah meskipun telah melakukan pelanggaran. Sementara itu, Behavior Theory menjelaskan bahwa korupsi dapat berkembang melalui pembiasaan (reinforcement) di lingkungan sosialnya. Jika seseorang melihat bahwa korupsi tidak mendapatkan hukuman atau bahkan memberikan keuntungan, maka perilaku tersebut cenderung terus berulang dan menjadi kebiasaan.
Dalam realitas sosial, fenomena ini terus terjadi di berbagai tingkatan masyarakat. Dari pejabat tinggi hingga pegawai kecil, tindakan korupsi sering kali berakar pada pola pikir yang salah dan perilaku yang terus diperkuat oleh sistem yang tidak sehat. Oleh karena itu, memahami korupsi dari sudut psikologi menjadi langkah penting dalam merancang solusi yang bukan hanya menegakkan hukum, tetapi juga membentuk kesadaran moral dan perilaku yang lebih berintegritas.
Jika korupsi adalah penyakit moral dan psikologis, maka solusinya bukan sekadar hukuman, tetapi juga perubahan pola pikir dan perilaku. Bagaimana kita dapat mengubah sistem yang sudah rusak dan membangun karakter individu yang lebih beretika?
Korupsi menjadi masalah serius di Indonesia. Baru-baru ini, Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, mengumumkan kemungkinan pemberian grasi bagi individu yang terlibat dalam korupsi jika mereka mengembalikan aset yang dicuri, menunjukkan pendekatan baru dalam upaya pemberantasan korupsi. Dalam setahun terakhir, Indonesia menghadapi beberapa kasus korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Seperti kasus Thomas Trikasih Lembong: Mantan Menteri Perdagangan Indonesia yang ditangkap pada Oktober 2024 atas dugaan penyalahgunaan izin impor gula pada tahun 2015. Keputusan tersebut diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar. Lembong, yang sebelumnya merupakan pembantu dekat mantan presiden Joko Widodo dan kini menjadi kritikus pemerintah, dituduh mengizinkan impor 105.000 metrik ton gula kristal mentah tanpa konsultasi dengan badan negara lain atau memperoleh rekomendasi yang diperlukan, diduga menguntungkan perusahaan swasta PT AP.
Ahmad Muhdlor Ali: Bupati Sidoarjo yang menjabat sejak 2021, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Mei 2024 atas dugaan penyelewengan pajak daerah. Penangkapannya menjadikannya bupati ketiga berturut-turut di Sidoarjo yang terjerat kasus korupsi. Sahbirin Noor: Gubernur Kalimantan Selatan yang menjabat sejak 2016, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada Oktober 2024 terkait kasus suap dalam pembangunan fasilitas olahraga dan kantor layanan administrasi. Meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka, Sahbirin belum ditahan oleh KPK. Syahrul Yasin Limpo: Mantan Menteri Pertanian yang terlibat dalam kasus korupsi dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara pada Juli 2024. Selain hukuman penjara, ia juga dikenakan denda sebesar Rp 300 juta dan penggantian uang negara sebesar Rp 14,1 miliar serta 30 ribu dolar AS (dari berbagai sumber).
Dalam sejarah Islam, terdapat kisah yang menunjukkan sikap tegas terhadap tindakan korupsi. Salah satu contohnya adalah peristiwa yang melibatkan seorang sahabat bernama Abu Lubabah. Ia melakukan kesalahan dengan membocorkan rahasia strategi perang kepada musuh. Setelah menyadari kesalahannya, Abu Lubabah merasa sangat menyesal dan mengikat dirinya di tiang masjid sebagai bentuk taubat hingga Allah menerima taubatnya. Kisah ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang melakukan kesalahan, pintu taubat selalu terbuka bagi mereka yang benar-benar menyesal dan bertekad untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Dalam sejarah Islam, ada beberapa kisah tentang korupsi atau penyalahgunaan amanah yang mendapat hukuman tegas di zaman Rasulullah SAW dan nabi-nabi sebelumnya. Maiz bin Malik adalah seorang sahabat yang melakukan kecurangan dalam suatu transaksi. Rasulullah SAW menegaskan bahwa kejujuran dalam perdagangan adalah bagian dari keimanan.
Dalam konteks ini, meskipun bukan korupsi dalam arti penyalahgunaan jabatan, kasus ini menegaskan betapa Islam sangat keras terhadap praktik ketidakjujuran. Dalam perang Khaibar, seorang sahabat bernama Al-Ma'idah bin Basyir kedapatan menyembunyikan harta rampasan perang (ghulul). Rasulullah SAW sangat marah ketika mengetahui ada seseorang yang menggelapkan harta yang seharusnya menjadi hak bersama kaum Muslimin. Rasulullah SAW pun berkata: "Sesungguhnya ghulul itu adalah api di hari kiamat." (HR Ahmad). Pesan dari kisah ini adalah bahwa mengambil hak publik untuk kepentingan pribadi merupakan kejahatan besar dalam Islam, yang bukan hanya berdampak di dunia tetapi juga di akhirat.
Demikian juga dengan kisah Qarun. Ia adalah seorang kaya raya di zaman Nabi Musa AS yang awalnya seorang pengikut Musa. Namun, setelah diberi kekayaan, ia menjadi sombong dan enggan mengeluarkan zakat serta membantu kaum lemah. Ketika Nabi Musa AS menegurnya, ia justru bersekongkol untuk menentang ajaran Allah. Akhirnya, Allah menenggelamkan Qarun bersama hartanya ke dalam bumi sebagai hukuman atas keserakahannya. Kisah ini menjadi pengingat bahwa harta yang diperoleh secara tidak halal dan digunakan untuk kepentingan pribadi tanpa memperhatikan hak orang lain hanya akan membawa kehancuran.
Rasulullah SAW pernah mengangkat Ibnul Lutbiyah sebagai seorang pemungut zakat. Setelah bertugas, ia kembali dengan membawa sebagian harta dan berkata: "Ini adalah zakat yang aku kumpulkan, dan ini adalah hadiah yang diberikan kepadaku." Mendengar itu, Rasulullah SAW naik ke atas mimbar dan berkata: "Mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya, lalu melihat apakah ada yang akan memberikan hadiah kepadanya atau tidak? Demi Allah, tidaklah seseorang mengambil sesuatu secara tidak halal, melainkan pada hari kiamat ia akan memikulnya di pundaknya." (HR Bukhari dan Muslim). Dari kisah ini, kita belajar bahwa menggunakan jabatan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun dalam bentuk "hadiah", tetap dianggap sebagai bentuk korupsi dalam Islam.
Dari perspektif Teori Hierarki Kebutuhan Maslow, tindakan korupsi dapat muncul ketika individu berusaha memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi, seperti penghargaan dan aktualisasi diri, dengan cara yang tidak etis. Ketika individu merasa bahwa kebutuhan ini tidak dapat dicapai melalui jalur yang sah, mereka mungkin mencari jalan pintas melalui korupsi untuk mencapai status, pengakuan, atau kekuasaan.
Dari sudut pandang Teori Kognitif, pelaku korupsi mungkin mengalami distorsi kognitif yang memungkinkan mereka membenarkan tindakan mereka. Misalnya, mereka mungkin berpikir bahwa tindakan mereka adalah norma atau bahwa mereka berhak atas kompensasi tambahan karena posisi atau tanggung jawab mereka. Selain itu, Teori Perilaku menunjukkan bahwa jika lingkungan tidak memberikan konsekuensi negatif yang konsisten terhadap tindakan korupsi, perilaku tersebut dapat diperkuat dan menjadi kebiasaan.
Kasus-kasus korupsi yang terjadi menunjukkan bahwa faktor psikologis, seperti kebutuhan akan penghargaan, distorsi kognitif, dan penguatan perilaku koruptif, berperan signifikan dalam mendorong individu untuk melakukan korupsi. Pendekatan holistik yang mencakup pemahaman psikologis ini diperlukan untuk memberantas korupsi secara efektif. Teori Motivasi Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow dapat digunakan untuk memahami hubungan antara korupsi, krisis moral, dan psikologi Islam.
Dalam konteks korupsi, individu yang melakukan tindakan korupsi sering kali berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar dan keamanan finansial, meskipun mereka mungkin telah mencapai tingkat kebutuhan tersebut. Hal ini terjadi karena; Pertama; Korupsi dianggap sebagai upaya memenuhi kebutuhan dasar dan keamanan. Dalam beberapa kasus, individu yang merasa kebutuhan fisiologis dan keamanannya terancam mungkin tergoda untuk melakukan korupsi. Misalnya, pegawai dengan gaji rendah bisa saja tergoda untuk menyalahgunakan wewenang demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Namun, dalam banyak kasus, para pelaku korupsi adalah orang yang sudah mapan secara ekonomi tetapi tetap ingin memperkaya diri.
Kedua; Korupsi dianggap sebagai upaya meningkatkan status sosial dan harga diri. Beberapa orang melakukan korupsi bukan karena kebutuhan mendesak, tetapi karena ingin mencapai tingkat harga diri dan status sosial yang lebih tinggi. Dalam Islam, ini mencerminkan keserakahan dan lemahnya keimanan terhadap rezeki yang halal. Nabi Muhammad SAW bersabda "Seandainya anak Adam memiliki dua lembah emas, niscaya dia akan menginginkan lembah yang ketiga.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga; Terjadinya krisis moral dan kegagalan dalam aktualisasi diri. Individu yang telah mencapai status sosial dan harga diri tetapi masih melakukan korupsi menunjukkan bahwa mereka gagal dalam mencapai aktualisasi diri yang sejati. Dalam Islam, aktualisasi diri tidak hanya berarti kesuksesan duniawi, tetapi juga kesadaran akan amanah, kejujuran, dan tanggung jawab kepada Allah. Aktualisasi diri sejati dalam Islam terkait dengan konsep ihsan, yaitu beribadah seolah-olah melihat Allah atau merasa diawasi oleh-Nya.
Pandangan Psikologi Islam sebagai Solusi
Psikologi Islam menekankan bahwa manusia seharusnya tidak hanya mengejar kebutuhan duniawi, tetapi juga memenuhi kebutuhan spiritual. Dalam Islam, kepuasan tertinggi bukanlah kekayaan atau status sosial, tetapi ketakwaan kepada Allah: “Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28).
Maka, solusi untuk mengatasi korupsi dan krisis moral adalah dengan memperkuat nilai spiritual dan menanamkan kesadaran bahwa kehidupan dunia hanyalah ujian. Dengan cara ini, seseorang dapat mencapai aktualisasi diri sejati yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Dari sudut pandang psikologi Islam, korupsi bukan hanya tindakan ilegal, tetapi juga cerminan dari penyakit jiwa yang disebut hubbul maal (cinta dunia berlebihan), ketamakan, dan lemahnya iman. Teori psikologi modern, seperti hierarki kebutuhan Maslow, juga menjelaskan bagaimana individu yang tidak memiliki keseimbangan dalam spiritualitas dan moralitas cenderung mencari kepuasan melalui harta dan kekuasaan, meski dengan cara yang tidak halal.
Di tengah realitas yang kian kelam, Islam menawarkan solusi yang bukan hanya bersifat hukum, tetapi juga membangun kesadaran moral dan spiritual. Kisah-kisah di zaman Nabi mengajarkan bahwa kejujuran, amanah, dan ketakwaan adalah benteng utama dalam melawan korupsi. Dengan memahami ajaran Islam dan menerapkannya dalam kehidupan, kita dapat membangun masyarakat yang lebih adil dan berintegritas.
Korupsi tidak hanya berdampak secara ekonomi dan sosial, tetapi juga menyebabkan trauma psikologis bagi korban-korbannya. Korupsi bukan hanya kejahatan ekonomi, tetapi juga kejahatan moral dan psikologis yang merusak kehidupan banyak orang. Oleh karena itu, pendekatan holistik yang mencakup bantuan ekonomi, sosial, dan psikologis sangat penting untuk menyembuhkan luka yang ditimbulkan oleh korupsi. Mencegah korupsi dengan pendekatan psikologi Islam dan teori Maslow bukanlah hal yang mustahil, tetapi membutuhkan usaha yang serius, mulai dari pendidikan moral hingga reformasi hukum.
Di Indonesia, tantangan utama adalah mengubah budaya permisif terhadap korupsi menjadi budaya yang menjunjung tinggi integritas dan kejujuran. Dengan menerapkan prinsip-prinsip Islam dan psikologi secara konsisten, diharapkan korupsi dapat berkurang dan masyarakat dapat hidup lebih adil serta sejahtera.
Korupsi bukan hanya merugikan negara, tetapi juga merusak jiwa pelakunya. Maka, pertanyaannya adalah: Akankah kita menjadi bagian dari perubahan, atau justru menjadi bagian dari masalah? Korupsi adalah tindakan yang berakar pada keserakahan, lemahnya kontrol diri, dan hilangnya kesadaran moral. Dalam Islam dan psikologi, puasa memiliki peran penting sebagai latihan pengendalian diri, penyucian jiwa, serta pembentukan karakter yang lebih jujur dan berintegritas.
Dari perspektif psikologi, korupsi sering kali terjadi karena individu gagal mengendalikan impulsnya terhadap uang, kekuasaan, atau pengaruh sosial. Untuk itu, value puasa sebagai pengendalian diri (self-control) selaras dengan Teori Self-Regulation, yang menyebutkan bahwa manusia harus memiliki kontrol diri yang kuat untuk menahan godaan melakukan tindakan yang salah. Puasa, dalam hal ini, adalah latihan menunda kepuasan (delayed gratification) yang mengajarkan seseorang untuk menahan dorongan impulsif, termasuk godaan korupsi. Studi psikologi menunjukkan bahwa individu dengan pengendalian diri yang tinggi lebih mampu membuat keputusan moral yang benar dibandingkan mereka yang impulsif.
Dalam Teori Behavioral, perilaku korupsi juga dapat berkembang karena terbiasa mendapatkan keuntungan tanpa konsekuensi. Jika seseorang terbiasa hidup dengan korupsi, maka tindakan tersebut menjadi pola perilaku yang sulit dihilangkan. Puasa dapat berfungsi sebagai penghentian pola buruk (breaking the habit) dengan memaksa individu untuk mengubah rutinitas dan meningkatkan kesadaran diri terhadap perbuatannya.
Korupsi terjadi ketika seseorang terjebak dalam nafs al-ammarah, yaitu ketika keinginan duniawi mendominasi akalnya. Puasa berfungsi untuk menekan dominasi hawa nafsu dan mendorong seseorang menuju nafs al-lawwamah, di mana mereka mulai mengintrospeksi diri dan merasa bersalah atas tindakan yang salah. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah: 183: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." Ayat ini menunjukkan bahwa puasa adalah jalan menuju takw dan kesucian jiwa, yang berarti memiliki kesadaran moral tinggi dan takut melakukan kezaliman, termasuk korupsi.
Dalam Teori Cognitive Dissonance, seseorang yang melakukan korupsi mungkin mengalami konflik batin antara tindakan tidak etis dan nilai-nilai moral yang ia yakini. Sayangnya, banyak yang mengatasi konflik ini dengan justifikasi moral, seperti berpikir bahwa “semua orang juga melakukannya” atau “saya hanya mengambil hak saya.” Puasa dapat menjadi terapi untuk membantu individu mengatasi disonansi kognitif ini dengan: Meningkatkan kesadaran diri (self-awareness) terhadap perbuatan salah; Membangun kembali nilai moral yang benar sesuai ajaran Islam; dan menjauhkan diri dari kebiasaan buruk melalui refleksi spiritual dan ibadah. Fungsi puasa sebagai detox mental dan spiritual.re
Dari sudut Neurosains, puasa juga membantu meningkatkan fungsi otak dan pengambilan keputusan, karena menstimulasi Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF), yang membantu meningkatkan kontrol emosi dan pengendalian diri. Maka, jika korupsi adalah salah satu tantangan terbesar moral di masyarakat, puasa bisa menjadi solusi spiritual dan psikologis untuk membangun generasi yang lebih berintegritas.