REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Catatan penting ditorehkan Indonesia dalam dua tahun terakhir yaitu zero terrorist attack atau nol serangan teroris. Kendati demikian, catatan tentu saja bukan jaminan , tapi kewaspadaan tinggi terhadap ancaman terorisme harus terus ditingkatkan.
Menurut laporan The European Union Terrorism Situation and Trend Report (EU TE-SAT) 2024, meskipun tidak terjadi serangan teroris, sejumlah insiden yang gagal atau digagalkan juga menjadi bagian dari indikator yang perlu diperhatikan. Setidaknya, pada 2024, Uni Eropa mencatatkan 120 serangan teroris, dengan serangan berbasis ‘keagamaan’ menjadi hal yang paling membahayakan.
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Prof Mirra Noor Milla mengatakan meskipun Indonesia telah berhasil meredam aksi terorisme, namun ancaman tersebut tidak hilang sepenuhnya. Menurutnya, ancaman terorisme di masa depan akan semakin tersembunyi dan sulit dideteksi, sehingga kewaspadaan harus tetap ditingkatkan.
"Ancaman terorisme masih ada, dan kita perlu memperkuat sistem deteksi dini untuk memitigasi potensi serangan sebelum terjadi," kata Prof Mirra Noor Milla di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Salah satu bukti ancaman nyata adalah adanya penangkapan terduga anggota terorisme beriinisial MAS (18) yang ditangkap oleh Densus 88 Anti Teror pada 24 Mei 2025 di Gowa, Sulawesi Selatan. MAS diduga menjadi anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Juga penyebar propaganda ISIS di Purworejo beberapa waktu lalu.
Oleh karena itu, menurut Mirra, penting untuk menyeimbangkan antara optimisme akan pencapaian zero terrorist attack dengan kewaspadaan terhadap potensi ancaman yang lebih sulit terlihat. Mirra menekankan bahwa kelompok teroris dapat beradaptasi, bermetamorfosis baik dalam strategi maupun di dalam kelompoknya itu sendiri.
“Apa yang perlu kita lakukan adalah kita harus terus mengamati, terus mengobservasi, mengidentifikasi untuk mengenali potensi resiko itu, termasuk environment yang mendukung terjadinya serangan terorisme,” kata Mirra.
Mirra mengungkapkan, hasil survei nasional laboratorium psikologi politik tahun 2021 menunjukkan indeks potensi konflik tertinggi di Indonesia adalah di wilayah-wilayah yang pernah terjadi konflik sebelumnya. Ini merupakan peringatan bagi pemerintah untuk menyusun mitigasi terjadinya konflik di wilayah wilayah tersebut yang bisa memungkinkan resiko-resiko itu berkembang menjadi ke arah kekerasan ekstrim.
“Perlu mengobservasi dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin terjadi di wilayah-wilayah bekas konflik itu,” ujarnya.
Sebagai peneliti yang fokus riset terkait terorisme, ekstremisme, radikalisme dan ideologi politik ini mengungkapkan kelompok teroris yang tampaknya tenang dalam periode tertentu sebenarnya mungkin sedang menggunakan strategi wait and see. Menurut Mirra, strategi ini adalah langkah rasional untuk mempertahankan tujuan mereka.
Oleh karena itu, Doktor Psikologi lulusan Universitas Gadjah Mada ini menekankan pentingnya peran negara dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, sehingga individu yang rentan terhadap radikalisasi tidak merasa terpinggirkan. Menurutnya, tantangan besar ke depan adalah bagaimana membangun ketahanan sosial dan melibatkan semua pihak, mulai dari keluarga, komunitas, lembaga pendidikan, hingga pemerintah.
"Sekarang adalah waktu yang tepat untuk fokus pada strategi pencegahan dan membangun daya tahan komunitas," tandas Mirra.