Oleh : Prof Ema Utami (Wakil Direktur Program Pascasarjana Universitas Amikom Yogyakarta)
REJOGJA.CO.ID, Sebuah video pendek dibagi melalui media sosial yang memberi gambaran sekelompok siswa SMP mendapat tambahan pelajaran oleh para guru. Narasi dalam video tersebut menyebutkan bahwa siswa SMP tersebut harus diberi tambahan les karena belum bisa membaca. Sebuah berita daring membenarkan adanya kasus tersebut dengan total sebanyak 29 siswa di sebuah SMP yang belum mampu membaca.
Berita lain disampaikan oleh seorang guru Matematika yang membagikan video dengan isi senada. Dalam video tersebut disebutkan bahwa ada siswa kelas 11 SMK yang tidak mampu melakukan perkalian sederhana dengan angka 1 sampai dengan 10. Kekurangmampuan dalam berhitung juga pernah terkonfirmasi saat mengajar dengan memberikan soal Matematika sederhana, seperti 3+4x5-4:2 kepada mahasiswa baru. Tidak semua mahasiswa dapat menjawab dengan benar perhitungan sederhana tersebut.
Dua masalah literasi huruf dan angka tersebut tentu juga mengingatkan kembali di masa SD dulu. Pelajaran mengeja a-i-u-e-o untuk membaca dan istilah “pipa landa” yang digunakan untuk belajar Matematika. Beragam pendapat muncul dalam kolom komentar yang ada di kedua video sebagai bentuk reaksi masyarakat terhadap kejadian tersebut, mulai dari mengkambinghitamkan pandemi Covid, kurang perhatian dari orang tua, sampai dengan menuding kegagalan sistem pembelajaran di sekolah sebagai penyebab atas hal tersebut.
Tudingan terhadap adanya kesalahan dalam sistem yang ada di SD dalam kasus tersebut tentu tidak bisa dihindari. Bagaimana mungkin sebuah proses panjang selama enam tahun yang sudah dijalani di SD dapat melewatkan adanya peserta didiknya dapat tuntas belajar namun belum bisa membaca. Dari kacamata orang awam dipastikan dapat melihat bahwa ada kejanggalan yang terjadi dalam proses tersebut. Semua pemangku kepentingan sudah seharusnya tidak abai dengan permasalahan ini.
Bahwa banyak terjadi perubahan dalam sistem pembelajaran mulai dari tingkat dasar sampai dengan tinggi di era digital ini merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Seluruh pemangku kepentingan mulai dari siswa, orang tua, guru, sekolah, sampai dengan regulator mau tidak mau harus mampu untuk beradaptasi.
Kekurangmampuan beradaptasi dengan banyaknya perubahan ini bisa disebut menjadi salah satu pangkal berbagai permasalahan yang muncul, termasuk dalam hal kecakapan literasi dari siswa di sekolah tersebut. Terjadinya akrobat dari seluruh pemangku kepentingan kerap terlihat dalam proses adaptasi tersebut. Akrobat yang terkadang disertai dengan siasat bahkan muslihat untuk dapat mencapai tujuan yang diharapkan.
Kejadian siswa SMP belum bisa membaca, siswa SMK atau mahasiswa kesulitan perhitungan sederhana, penggunaan AI atau joki untuk menyelesaikan tugas sampai dengan untuk penulisan jurnal dan lain sebagainya, menjadi berita yang silih berganti muncul sebagai permasalahan di dunia pendidikan.
Sebuah perhitungan biaya yang harus dikeluarkan oleh orang tua untuk menyekolahkan anak selama pendidikan dasar di beberapa sekolah swasta di Yogyakarta belum lama ini juga saya dapatkan. Biaya “termurah” adalah hampir mencapai Rp 80 juta dan paling mahal adalah mendekati Rp 243 juta.
Bagi orang tua yang memiliki kemampuan finansial, memasukkan anak di sekolah swasta merupakan salah satu pilihan yang dapat ditempuh. Tidak menutup kemungkinan bahwa perlu akrobat jungkir balik bagi sebagian orang tua untuk dapat menyekolahkan anak di sekolah swasta tersebut. Di sisi lain tentu banyak juga para orang tua yang tidak memiliki privilese untuk menyekolahkan anak di sekolah swasta tersebut. Mau dan mampu menyekolahkan anak saja mungkin sudah merupakan sebuah perjuangan yang berat tersendiri.
Permasalahan pendidikan yang terjadi saat ini bisa jadi sudah demikian kompleks dan sistemik. Sebuah permasalahan yang tentu menjadi beban berat dan dicari penyelesaiannya bersama-sama. Namun demikian oleh karena memiliki ilmu pengetahuan bisa menjadi privilese bagi pemiliknya maka sudah sepatutnya berbagai permasalahan tersebut harus dicari penyelesaiannya.
Ayat ke 11 surat Al Mujadalah yang sering dikutip dalam majelis ilmu berikut semoga bisa menjadi pegangan dan doa dalam berusaha mencari penyelesaian dari masalah tersebut. “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis,” maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “ Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Wallahu a’lam.