Dakwaan
Sidang perdana kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip Angkatan 77 telah digelar di Pengadilan Negeri Semarang pada 26 Mei 2025 lalu. Terdapat tiga terdakwa dalam kasus ini, yaitu Taufik Eko Nugroho, Sri Maryani, dan Zara Yupita Azra. Taufik adalah eks kepala Prodi PPDS Anestesia FK Undip. Sementara Sri Maryani merupakan staf admin Prodi Anestesia FK Undip. Sedangkan Zara adalah dokter residen atau senior Aulia Risma.
Dalam persidangan perdana, JPU membacakan dakwaan terhadap para terdakwa. “Terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho secara konsisten menyatakan bahwa setiap residen atau mahasiswa PPDS semester dua ke atas wajib membayar iuran biaya operasional pendidikan (BOP) sampai dengan sebesar kurang lebih Rp 80 juta per orang," kata JPU.
JPU mengungkapkan, BOP diklaim digunakan untuk keperluan ujian, proposal tesis, konferensi nasional, hingga publikasi ilmiah. "Mahasiswa PPDS lintas angkatan sejak tahun 2014-2023 sebenarnya merasa keberatan, tertekan dan khawatir atas iuran yang diwajibkan oleh terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho itu. Namun mereka tidak berdaya karena terdakwa dr. Taufik Eko Nugroho dalam kedudukannya sebagai KPS (Kepala Program Studi) menciptakan persepsi bahwa kepesertaan dalam ujian dan kelancaran proses pendidikan sangat ditentukan oleh ketaatan membayar iuran BOP," ucapnya.
Menurut JPU, Taufik menunjuk bendahara residen untuk mengoordinir pengumpulan dana dari para mahasiswa melalui bendahara angkatan. "Bendahara angkatan meminta uang BOP dari mahasiswa PPDS. Setelah uang BOP terkumpul, bendahara angkatan dapat menyerahkan uang BOP secara tunai kepada terdakwa Sri Mariani secara langsung atau melalui bendahara utama residen," kata JPU.
JPU mengungkapkan, dana BOP yang terkumpul tak disimpan di rekening fakultas, tapi rekening pribadi Sri Maryani. "Terdakwa Sri Maryani menerima dana dari berbagai bendahara angkatan dan bendahara utama secara tunai dengan jumlah total mencapai Rp 2.493.424.000,” ujarnya.
Dana sebesar Rp2,49 miliar itu berasal dari residen lintas angkatan sejak 2018 hingga 2023. Menurut JPU, uang BOP turut digunakan Taufik dan Sri untuk berbagai keperluan yang hanya menguntungkan beberapa pihak dan seharusnya tak dibebankan ke mahasiswa PPDS. "Total dana BOP yang telah diterima oleh terdakwa dr. Taufik selama jabatan sebagai KPS mencapai setidak-tidaknya Rp177 juta," kata JPU.
"Terdakwa Sri Maryani mendapatkan keuntungan berupa honor sebesar Rp400 ribu per bulan dari sumber keuangan BOP residen dengan total sebesar Rp24 juta," tambah JPU.
JPU menegaskan, tak ada dasar hukum terkait pengumpulan BOP dari para mahasiswa PPDS Anestesia Undip. "Tindakan terdakwa Taufik bersama-sama dengan terdakwa Sri Maryani merupakan bentuk pungutan liar atau ilegal karena pungutan di luar biaya sumbangan pengembangan pendidikan atau SPP hanya dikenal dalam bentuk sumbangan pengembangan institusi atau SPI dan tidak pernah dalam bentuk BOP sebagaimana dilakukan oleh terdakwa Taufik dan terdakwa Sri Maryani," ucapnya.
JPU mengatakan, pasca adanya isu internal soal pengelolaan dana BOP pada Agustus 2023, Taufik memerintahkan Maryani menghentikan pengelolaan dana tersebut. Taufik kemudian memerintahkan Maryani menyerahkan seluruh sisa uang yang masih disimpannya kepada bendahara utama residen. (Kamran Dikarma)