Rabu 09 Jul 2025 20:06 WIB

Dekan FK Undip Akui Senioritas PPDS Anestesi Sebabkan ARL Meninggal Sebagai Bentuk Bullying

Yan Wisnu dihadirkan sebagai saksi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Karta Raharja Ucu
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Yan Wisnu Prajoko, dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang terkait kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, Rabu (9/7/2025).
Foto: Kamran Dikarma/ Republika
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Yan Wisnu Prajoko, dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Semarang terkait kasus dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, Rabu (9/7/2025).

REJOGJA.CO.ID, SEMARANG -- Dekan Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Diponegoro (Undip) Yan Wisnu Prajoko mengaku tidak mengetahui adanya budaya perundungan di PPDS Anestesia Undip. Namun setelah dipaparkan tentang praktik-praktik senioritas di PPDS Anestesia Undip, Yan mengakui, hal itu merupakan bentuk perundungan. 

Yan Wisnu dihadirkan sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan perundungan dan pemerasan terhadap almarhumah Aulia Risma Lestari, mahasiswi PPDS Anestesia Undip, di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (9/7/2025). Dalam persidangan, Yan mengungkapkan, dia resmi menjabat sebagai Dekan FK Undip pada Januari 2024. 

Yan mengeklaim, sesaat setelah itu, dia mendeklarasikan Gerakan Anti-Bullying. Deklarasi tersebut turut ditandatangani para kaprodi di FK Undip. Menurut Yan, pascadeklarasi, FK Undip memasang spanduk-spanduk berisi pesan anti-perundungan di lingkungan fakultas. 

"Kami juga membuka link (kanal) aduan untuk menerima laporan perundungan," kata Yan Wisnu dalam persidangan. 

Yan mengungkapkan, sejak kanal aduan dibuka, tidak ada laporan dugaan perundungan dari PPDS Anestesia. "Karena laporan ke link aduan ini langsung masuk ke komputer saya," ujarnya. 

Kendati demikian, Yan mengakui dia menerima laporan dugaan perundungan dari prodi lain. Salah satunya dari Prodi PPDS Dermatologi, Venereologi, dan Estetika. 

Dalam persidangan, majelis hakim menanyakan pendapat Yan Wisnu soal bentuk perundungan. Yan menjawab perundungan dapat berupa fisik dan verbal.

"Kalau misalnya tugas senior dikerjakan oleh junior, itu termasuk perundungan bukan?" tanya Hakim Rightmen Situmorang kepada Yan Wisnu. "Termasuk Yang Mulia," jawab Yan Wisnu.  

Hakim Rightmen kemudian menceritakan soal mahasiswa PPDS Anestesia Undip di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi yang tak memperoleh makanan selama menjadi dokter residen di sana. Hal itu karena tidak ada regulasi spesifik yang mengatur soal penyediaan makanan bagi para dokter residen anestesia. 

"Kalau regulasinya tidak ada, yang menyiapkan makanan dan membayar makanan seharusnya siapa?" tanya Hakim Rightmen. Yan menjawab, mahasiswa seharusnya membeli dan menyiapkan makanannya sendiri. 

Hakim Rightmen selanjutnya menceritakan tentang makan prolong, yakni makanan yang harus disiapkan mahasiswa junior PPDS Anestesia Undip untuk mahasiswa senior. "Itu termasuk bully bukan?" tanya Hakim Rightmen. "Termasuk Yang Mulia," jawab Yan Wisnu. 

Hakim Rightmen kemudian menanyakan pendapat Yan Wisnu soal individu yang mengetahui praktik perundungan tapi membiarkannya, apakah termasuk pelaku bully. "Termasuk Yang Mulia. Yang mengetahui dan membiarkan termasuk pelaku bully," ujar Yan. 

Dalam persidangan dugaan perundungan dan pemerasan almarhumah Aulia Risma Lestari yang digelar sejak 26 Mei 2025 lalu, terungkap setiap mahasiswa semester 1 mengumpulkan iuran antara Rp 10 hingga Rp 20 juta per bulan. Sebagian besar dana atau iuran yang terkumpul digunakan untuk memenuhi kebutuhan senior, mulai dari makan, pengerjaan tugas akademik, penyediaan mobil, hingga memfasilitasi kegiatan rekreasi olahraga. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement