Selasa 20 May 2025 17:09 WIB

Kebijakan Pemerintah Gagal Jawab Kebutuhan Siswa, GTS: Ruang Dialektika Diperlukan di Sekolah

Untuk menumbuhkan dialektika, dunia pendidikan harus kembali ke akarnya.

Red: Fernan Rahadi
Para volunteer Gerakan Turun Sekolah (GTS), (dari kiri ke kanan), Aulia Afna, Aliya Zahra, dan Eunike Sekar, saat menggelar konferensi pers di Kantor Perwakilan Republika DIY-Jateng, Selasa (20/5/2025).
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Para volunteer Gerakan Turun Sekolah (GTS), (dari kiri ke kanan), Aulia Afna, Aliya Zahra, dan Eunike Sekar, saat menggelar konferensi pers di Kantor Perwakilan Republika DIY-Jateng, Selasa (20/5/2025).

REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Menyambut Hari Pendidikan Nasional yang jatuh 2 Mei lalu, sekitar 90 anak muda yang tergabung dalam Gerakan Turun Sekolah (GTS) berjumpa dan berdialog dengan sebanyak 600 siswa di 11 sekolah jejaring Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) di Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada agenda yang dilaksanakan 7-9 Mei 2025 tersebut terdapat banyak temuan yang diperoleh anak-anak muda tersebut.

"Apa yang kami temukan di lapangan ternyata kebijakan pemerintah selama ini tidak menjawab kebutuhan mereka (siswa)," ujar salah satu volunteer GTS, Eunike Sekar, saat konferensi pers di Kantor Perwakilan Republika DIY-Jateng, Selasa (20/5/2025).

Sekar mencontohkan bahwa banyak dari para siswa kedapatan tidak memiliki mimpi dan tidak berani bermimpi. Sekolah, menurut dia, gagal menyediakan ruang tersebut untuk murid-muridnya. "Sekolah hanya sekadar rutinitas yang membosankan. Mereka (para siswa) tidak suka dengan gurunya, dan sekolah dianggap tidak menyenangkan. Akhirnya, mereka pun mencari-cari sendiri kesenangan mereka," kata Sekar.

Volunteer GTS lain, Aliya Zahra, menceritakan bahwa para siswa tersebut tidak mendapatkan suasana kebatinan di sekolah. Padahal, apa yang mencoba didialogkan oleh para anak muda adalah hal-hal simpel seperti mimpi-mimpi dan keinginan yang sederhana. "Mereka tidak punya jawaban atas hal itu. Jawabannya justru keinginan memiliki sekolah yang roto, sekolah gratis," kata Aliya.

Aulia Afna, relawan GTS lain, apa yang ditemukannya tersebut membuktikan hipotesis bahwa para siswa membutuhkan percakapan yang mendalam (deep talk), bukannya pembelajaran mendalam (deep learning) seperti yang menjadi kebijakan pemerintah.

"Seperti podcast, saya kira itu perlu diperbanyak agar juga menjadi refleksi bagi pihak sekolah. Karena pendidikan mesti dibangun di atas banyak pilar seperti sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri. Jika antara pilar-pilar itu tidak bekerja sama ya menjadi susah," kata Aulia.

Pendiri GSM, Muhammad Nur Rizal, berharap dengan turun ke sekolah, anak-anak muda yang menjadi relawan GTS bisa menyuarakan keprihatinan yang terjadi di level akar rumput tersebut. Sejalan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh 20 Mei ini, Rizal berharap mereka menjadi Budi Utomo-Budi Utomo baru yang berani melakukan advokasi.

"Harapan kami gerakan ini terus meluncur menjadi kebangkitan baru anak-anak muda yang terus berisik dan berteriak untuk menyadarkan secara kolektif bahwa bangsa ini sedang tidak baik-baik saja. Kami juga berharap komunitas lain mau turun sehingga kesadaran kolektif ini bisa jadi sebuah kekuatan," ujar Rizal.

Pentingnya Dialektika

Menurut Rizal, dialektika merupakan sebuah unsur penting yang perlu ditemukan di sekolah karena sangat terkait dengan kehidupan sehari-sehari. Dengan adanya dialektika, para siswa juga bisa belajar melakukan koreksi diri (self correction).

"Dikhawatirkan jika hal ini hilang di sekolah nantinya Indonesia tidak menjadi bonus demografi namun bencana demografi karena anak-anak mudanya tidak punya mimpi, tidak bisa berdialektika, berefleksi, dan mendapatkan akses terhadap keadaan karena mereka memilih untuk menutup diri," tutur dosen UGM itu.

Untuk menumbuhkan dialektika, tutur Rizal, dunia pendidikan harus kembali ke akarnya, yakni pembebasan pikiran, memberikan ruang-ruang keberagaman sehingga bisa saling menghargai dan berdialektika.

Peran guru perlu dikembalikan kepada hakikatnya. Guru seharusnya bukan tukang transfer pengetahuan tetapi penumbuh karakter dan budi pekerti yang bisa membangkitkan potensi-potensi siswa seperti keingintahuan, imajinasi, dan passion sehingga mereka mencapai versi terbaik diri mereka.

"Jika model yang dipakai seperti itu kita tidak akan ribet dengan ulangan dan ujian karena kurikulum yang dipakai adalah guru itu sendiri, sehingga ulangan dan ujiannya ya berasal dari guru," katanya.

Untuk mencapai tahap tersebut, maka menurut Rizal seorang guru harus berdaulat.  Bukan sekadar merdeka secara fisik, kedaulatan adalah jiwa. "Guru harus diberi ruang agar jiwanya bisa menentukan cara mengajar menurut mereka sendiri. Pemerintah dalam hal ini harus memberikan ruang filsafat tersebut agar para guru bisa berdaulat," kata Rizal.

Sekar pun sepakat bahwa kedaulatan guru merupakan hal penting. "Karena yang kami lihat adalah para guru tersebut memiliki terlalu banyak beban administrasi. Padahal mereka membutuhkan ruang untuk berkoneksi dengan sesama guru, sebuah ruang filsafat untuk berdialektika dengan murid-muridnya. Saat ini murid-murid bertanya saja tidak bisa. Jika ada yang bertanya malah jadi ruang untuk menghakimi," katanya.

 

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement