Kamis 31 Oct 2024 15:52 WIB

'Pendidikan Perlu Sediakan Bekal untuk Merdeka dari Keterjajahan Digital'

AI punya potensi risiko besar bagi eksistensi kemanusiaan.

Red: Fernan Rahadi
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal saat mengisi workshop komunitas GSM Situbondo-Bondowoso dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 29-30 Oktober 2024.
Foto: GSM
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal saat mengisi workshop komunitas GSM Situbondo-Bondowoso dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 29-30 Oktober 2024.

REJOGJA.CO.ID, BONDOWOSO - Untuk menyongsong ketidakpastian dunia yang diproyeksikan akan terjadi, Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal menekankan agar perlu menyediakan bekal bagi masyarakat Indonesia untuk merdeka dari keterjajahan digital.

Layaknya pendidikan di Cina yang mengutamakan STEM serata integrasi seni dan budaya dan pendidikan di Jepang yang sangat menitikberatkan pada pengembangan karakter, keterampilan hidup, kreativitas, dan inovasi, kata Rizal, konsep pendidikan di Indonesia tidak boleh melulu menekankan kecerdasan akademik sebagai satu-satunya orientasi.

"Saat ini kemajuan AI telah pada titik mencapai kemampuan melakukan otomasi analitik yang membuat banyak profesi seperti guru, dosen, saintis, ahli hukum, pegawai bank, hingga dokter terancam hilang digantikan oleh AI. Akan muncul jenis pekerjaan baru yang kita belum tahu seperti apa," kata Rizal saat hadir sebagai narasumber di acara workshop komunitas GSM Sibon (Situbondo-Bondowoso) dalam rangka memperingati Hari Sumpah Pemuda yang dilaksanakan oada 29-30 Oktober 2024.

Ia menegaskan, AI saat ini dan mungkin dekade ke depan masih lebih banyak digunakan untuk meningkatkan produktivitas secara drastis di segala bidang seperti perdagangan, pendidikan, dan kesehatan. Tetapi AI juga punya potensi risiko besar bagi eksistensi kemanusiaan jika kita salah menanamkan sistem nilai (values) ke dalam algoritmanya.

"Kita harus dapat mewujudkan pendidikan yang membangun keindonesiaan, yakni, selain kuat dlam berpikir kritis, kreatif, dan etis, juga memiliki pemahaman mendalam tentang identitas, nilai budaya, dan potensi Bangsa Indonesia. Sikap keindonesiaan ini yang pada akhirnya akan melahirkan sistem nilai estetik pada diri setiap individu generasi kita untuk tetap menjaga moral etis dan moral sosial bangsa, di tengah derasnya arus perubahan zaman," katanya.

“Itu adalah kunci dalam membentuk individu yang utuh dan mandiri sehingga siap menghadapi dan bertanggung jawab untuk menghadapi tantangan global dan disrupsi digital," kata Rizal menambahkan.

Kuncinya, kata dia, ada pada penanaman rasa ingin tahu dan sikap otonom agar tidak dikendalikan sebagai budak oleh teknologi.

"Mendidik manusia yang punya mental untuk terus mau mempelajari hal baru, resilien saat beradaptasi dengan keadaan dan menjadi manusia yang mandiri adalah tujuan utama kurikulum dan paradigma baru yang harus diajarkan pada murid agar siap menghadapi masa depan,” ucap Rizal.

“Dengan menjadi manusia otonom, maka anak-anak kita tidak akan dikendalikan oleh AI, justru menjadi pengendali AI sebagai asisten super jenius, bukan alien yang membahayakan eksistensi manusia di masa depan," katanya lagi.

Jika dulu, saat sumpah pemuda, kita berikrar bersatu untuk bebas dari penjajahan fisik oleh Belanda, maka saat ini para guru, orang tua dan kalangan mahasiswa hadir mengikuti rangkaian seminar GSM untuk bersatu dan bermimpi agar seluruh rakyat Indonesia bisa merdeka dari keterjajahan teknologi digital.

Satu yang tidak pernah berubah kala GSM menggelar sebuah kegiatan adalah tanggapan dari masyarakat yang tidak pernah sepi. Total ada lebih dari 750 guru juga orang tua dari lintas jenjang PAUD-TK, SD, SMP, SMA, SMK hingga Madrasah, dan dari Bondowoso, Situbondo, Jember, Banyuwangi, hingga Pangandaran dan Jepara. Bukan hanya Guru, termasuk anak muda yang berjumlah sekitar 230 orang dari berbagai kampus yang ada di Bondowoso, Situbondo, dan Jember.

Anik Sudiartini, leader Komunitas GSM Sibon yang juga Kepala Sekolah SMK Negeri 3

Bondowoso mengungkapkan dampak GSM secara nyata telah dirasakan. "Maka kami ingin terus memendarkan GSM agar dampaknya lebih luas lagi dan semua punya kesempatan untuk berperan dalam gerakan perubahan ini," katanya.

“Hal tersebut menandakan bahwa adanya keberanian, serta perubahan cara pikir dan mental dari guru-guru di Bondowoso bahwa setiap individu berhak merasakan akses dan kesetaraan bagi pendidikan masa depan layaknya visi yang konsisten digaungkan oleh GSM. Tidak boleh ada disparitas kualitas antara daerah perkotaan dan pedesaan atau pinggiran," kata Rizal.

Cara guru-guru dan mahasiswa di komunitas GSM membangun kualitas diri untuk bisa

beradaptasi di era ketidakpastian (disrupsi digital) adalah punya mindset dan mental untuk terus-menerus mau belajar, lapar akan rasa ingin tahu tentang hal-hal baru, termasuk literasi teknologi, tetapi juga punya sikap otonom agar tidak dikendalikan menjadi budak teknologi.

Untuk merawat pola pikir dan mental itu, komunitas akar rumput GSM menjadi wadahnya. Melalui komunitas GSM ini, mereka menguatkan mimpi akan pendidikan Indonesia yang baru, menarasikan mimpi itu, menyebarkannya ke guru-guru lain, orang tua, anak muda di seluruha lapisan dan daerah agar terus menguat membangun pembelajaran yang transformatif dari skala diri, kelompok, organisasi hingga tingkatan ekosistem bangsa. Cara pikir ini sejalan dengan nafas dan spirit yg diperjuangkan di sumpah pemuda hampir 100 tahun lalu, memastikan semua lapisan rakyat dari seluruh daerah dapat merasakan menjadi bangsa yang benar-benar merdeka dan berdaulat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement