REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Penggagas Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) Muhammad Nur Rizal mengungkapkan krisis sumber daya manusia di Indonesia adalah krisis yang harus segera dibenahi. Krisis tersebut adalah ketika pendidikan justru mengasingkan manusia dari potensi dan bakat terpendamnya.
"Krisis ini berpotensi melahirkan kesenjangan manusia dengan sosialnya dan dirinya sendiri (spiritual)," kata Rizal saat berbicara pada dua forum nasional D’Futuro Futurist Summit 2024 yang diadakan oleh Pijaro Fundation pada 6 November 2024 di Kota Kasablanka.
“Kualitas pendidikan Indonesia tidak kunjung maju karena masyarakat dan pemerintahnya tidak dapat beranjak dari tirani pikiran lama atau dogma-dogma masa lalu tentang pembelajaran dan pendidikan," kata Rizal sebagai awalan dari gagasannya.
“Program baru masih didekati dengan cara berpikir dan cara bertindak yang lama, sehingga hanya sekadar menghasilkan formalisme, administrasi, dan jargon baru," kata dosen dari Departemen Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM itu melanjutkan.
Jadi, meskipun kurikulum sudah berganti 12 kali, akreditasi sekolah sudah mencapai 90 persen lebih, serta anggaran pendidikannya mencapai 600-an triliun, kualitas pendidikan kita masih stagnan. Skor literasi, numerasi dan sains kita masih di peringkat tujuh terbawah di negara-negara yang disurvei oleh Programme International Student Assessment. Bahkan indeks daya saing global kita berada di peringkat 82 oleh The Global Talent Competitiveness Index 2022.
GSM, kata dia, hadir untuk merevolusi pendidikan melalui pendekatan akar rumput. Jadi, guru diajak sadar dan tidak perlu menunggu program dari atas. Mereka diajak menjadi guru yang berdaulat dan adaptif dengan menemukan mindset baru akan tujuan pendidikan.
Baginya, pendidikan jangan hanya untuk mengejar kepentingan ekonomi atau menjadi tenaga kerja di masa depan, tapi juga memenuhi kebutuhan personal dan sosial, yakni bagaimana manusia bisa memahami dunia di sekitarnya dan dunia di dalam dirinya sehingga dia akan terpenuhi baik ekonominya, intelektual, emosional dan sosialnya, serta dapat berperan aktif sebagai warga negara.
“Pengetahuan yang diperoleh siswa sebaiknya bersifat konstruktivis, yaitu dihasilkan dari pengalaman dan interaksinya dengan manusia lain dan sekitarnya, bukan karena ceramah atau hafalan. Suasana belajar seperti inilah yang akan memerdekakan siswa untuk menghasilkan pikiran-pikiran baru," kata Rizal yang merupakan alumnus Monash University, Australia, tersebut.
Manusia dengan bekal seperti inilah yang membuatnya tidak mudah dikendalikan oleh teknologi AI. Namun, justru bisa menempatkan AI sebagai asisten yang paling cerdas untuk membantu meningkatkan produktivitas dan dampak bagi masyarakat.
Sementara itu, pada acara The 10th Seruni: Seruni Talks on Stage serta di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia tanggal 13 November 2024, bersama Muhadjir Effendy (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia 2016-2019 dan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan 2019-2024), Rizal mengupas esensi untuk menghadapi Ketimpangan Akses dan Kurikulum yang Fluktuatif.
Bagi Rizal, ketimpangan akses adalah akibat dari paradigma pendidikan yang berorientasi pada “human capital” yang hanya menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja. Akibatnya, manusia dianggap sebagai objek pendidikan, bukan subjek atau pelaku utama, akibatnya siswa-siswa di segala tingkatan pendidikan termasuk mahasiswa sering tidak menikmati proses belajarnya.
Pendidikan inilah yang menjauhkan mereka dari talenta, bakat atau passion-nya. Dan jika hal ini terus berlanjut hingga di dunia kerja, mereka tidak akan produktif dan mencintai pekerjaannya.
Rizal mengusulkan pendekatan Amartya Sen yakni capability approach di pendidikan kita, di mana setiap manusia harus merasa punya kesempatan dan pilihan bebas untuk menjadi dirinya, menjadi manusia yang berfungsi untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang dicita-citakan, dan memberikan nilai atau makna pada kehidupannya” ungkap Rizal.
Tugas pemimpin adalah hadir untuk menciptakan kesempatan yang setara bagi setiap orang untuk berkembang, menjadi versi terbaik dirinya, sehingga pendidikan tidak mendislokasi manusia dari bakat alamiahnya atau talenta terbaiknya.
“Namun, narasi mengenai urgensi tersebut harus digaungkan bersama-sama agar perubahan ini menjadi kebudayaan baru di masyarakat. Tidak bisa hanya dari kebijakan program atas-bawah,” jelas Rizal.
“Hanya dengan mencintai pekerjaan dan proses belajarnya maka manusia mampu merasa bahwa hidupnya bernilai, sehingga terhindar dari krisis sumber daya manusia. Krisis sumber daya manusia inilah yang harus segera dibenahi oleh bangsa ini agar tidak tenggelam di tengah kemajuan teknologi dan percaturan global," kata Rizal.
Dua event besar nasional tersebut menandakan bahwa memang isu perbaikan pendidikan masih menjadi prioritas dan santer dibahas, sehingga membutuhkan pencerita-pencerita yang mampu menginspirasi perubahan.
Figur-figur besar juga turut meramaikan acara D’Futuro Futurist Summit, seperti kehadiran dari Prabowo Subianto (Presiden Republik Indonesia), Pratikno (Menteri Koordinator Sumber daya Manusia dan Kebudayaan), Nicholas Hilman (Co-Founder dari Simpan), Shavonne Wong (Seniman dari Singapura), dan masih banyak lagi.