REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Psikolog dari Universitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Setiyani Subardjo mengatakan, penyebab bunuh diri ini dilakukan seseorang bisa bermacam-macam. Namun, salah satunya karena adanya proses meniru atau modelling dari kasus-kasus yang sudah terjadi sebelumnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, kasus bunuh diri sejak 2021 hingga 2024 ini cukup tinggi. Pada 2021 tercatat 65 kasus bunuh diri, pada 2022 sebanyak 74 kasus, pada 2023 sebanyak 70 kasus, dan pada 2024 hingga Oktober ini sudah mencapai 60 kasus.
"Ini tentu menjadi keprihatinan banyak pihak, karena kita tahu bahwa DIY itu Kota Pelajar, banyak orang yang ingin menuntut ilmu di Yogya," kata Yunita saat berbincang dengan Republika.co.id.
Dia berkata, beberapa kasus bunuh diri sering disusul kasus yang lain. Jadi, kata Yunita, percobaan bunuh diri dilakukan dengan cara meniru kasus terdahulu.
"Tapi setelah beberapa kasus yang terjadi dan disusul kasus yang lain, seolah-olah ini kalau di teori psikologi disebut modelling. Jadi mereka yang melakukan percobaan bunuh diri dan berhasil itu akan menjadi model bagi yang lainnya bagi mereka yang bermasalah," kata Yunita.
Menurut Yunita, mudahnya mengakses informasi saat ini di media sosial juga bisa menjadi faktor seseorang untuk melakukan bunuh diri dengan cara modelling ini. Terlebih, informasi-informasi yang beredar sulit untuk di filter, dan informasi yang disampaikan di media sosial ini sulit dikendalikan.
"Orang itu tidak bisa lepas dari handphone, disitu banyak sekali yang bisa diakses, salah satunya media sosial. Di situ seringkali informasi-informasi yang disampaikan semakin vulgar, bahkan berapa banyak orang yang akan bunuh diri itu mereka meninggalkan pesan di medsos mereka, dan itu ternyata ditiru juga oleh orang lain," kata dia menjelaskan.
Jadi menurut Yunita, informasi yang vulgar di media sosial mempengaruhi seseorang untuk mencari tahu bagaimana caranya mengakhiri hidup.
"Jadi (informasi vulgar di medsos) tidak hanya mempengaruhi bagaimana seseorang mengambil sikap untuk mengakhiri hidupnya, tapi juga bagaimana model yang akan diambil sebelum mereka memutuskan mengakhiri hidupnya," ucap Yunita.
Untuk itu, Yunita menegaskan perlunya keterlibatan seluruh elemen masyarakat terkait dengan kasus bunuh diri. Meski yang melakukan bunuh diri merupakan mahasiswa, katanya, bukan berarti hal tersebut menjadi tanggung jawab dari pihak universitas.
Terlebih, latar belakang seseorang dalam hal ini mahasiswa mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya juga bisa bermacam-macam. Bisa jadi dikarenakan masalah di luar lingkungan kampus, atau bisa jadi karena masalah yang berkaitan dengan aktivitas akademiknya di dalam kampus.
"Semua elemen harus terlibat. Oke (kasusnya) terjadi di lingkungan universitas, tapi mungkin sumber masalahnya bukan dari situ, atau bisa juga dari situ, makanya kita perlu memetakan. Karena beberapa kasus di antaranya karena mereka stuck untuk urusan skripsi, dan bisa beban hidup seperti pinjol, perasaan tertekan oleh lingkungan, tuntutan banyak dari keluarga misalnya, dan stigma yang muncul dari judgment ketika seseorang mencoba mengakses profesional (psikolog)," ungkapnya.
Dilihat dari kondisi geografisnya, juga diperlukan pelibatan seluruh elemen dalam mengatasi kasus bunuh diri ini, dikarenakan DIY termasuk salah satu provinsi dengan kasus bunuh diri yang tinggi di Indonesia selain Jawa Tengah, Maluku Utara, dan Kepulauan Riau. Artinya, DIY sendiri merupakan daerah yang berisiko tinggi terjadinya kasus bunuh diri di Indonesia.
"Ternyata secara geografisnya sendiri, DIY memang sudah terpetakan (sebagai) daerah dengan risiko," ucap dia.
Karena itu, menurut Yunita, tingginya kasus bunuh diri di Yogya menjadi alarm bagaimana caranya masyarakat yang tinggal di Yogya harus melakukan upaya-upaya, bisa dari internal, bisa eksternal dengan melibatkan lintas sektor. "Bahkan, upaya mulai dari preventif, promotif, kuratif, rehabilitatifnya itu mesti jelas, karena ini menyangkut kasus yang serius," jelas Yunita.
Meski angka bunuh diri cukup tinggi di DIY, angka harapan hidupnya pun tercatat di atas rata-rata angka harapan hidup di dunia berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2019 sebesar 73,3 tahun.
Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), angka harapan hidup di DIY pada 2023 mencapai 75,18 tahun. Jika dilihat per kabupaten/kota, Kabupaten Gunungkidul menjadi yang tertinggi dengan angka harapan hidup mencapai 74,64 tahun.
Disusul Kabupaten Bantul dengan angka harapan hidup pada 2023 mencapai 74,64 tahun. Angka harapan hidup di Kota Yogyakarta tercatat 75,52 tahun, dan di Kabupaten Sleman mencapai 75,26 tahun. Paling rendah yakni di Kabupaten Kulon Progo yang tercatat angka harapan hidupnya mencapai 75,35 tahun.