REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menanggapi pemblokiran terhadap sejumlah akun media sosial Masjid Jogokariyan yang selama ini dikenal aktif dalam kegiatan dakwah serta menyuarakan isu-isu kemanusiaan global termasuk dukungan terhadap kemerdekaan Palestina. Meski mengaku belum mengetahui secara rinci duduk persoalannya, Haedar menegaskan pentingnya menjaga ruang kebebasan berekspresi selama tetap berada dalam batas yang semestinya.
"Saya belum membaca, dan belum tahu duduk masalahnya," kata Haedar kepada wartawan seusai acara peluncuran KHGT di Yogyakarta, Rabu (25/6/2025).
Haedar menilai sejatinya, Indonesia telah memiliki iklim yang mendukung keterbukaan bagi masyarakat dan kelompok agama untuk menyuarakan pandangan mereka. Namun demikian, ia mengingatkan kebebasan tersebut harus dijalankan dengan kesadaran atas batasan yang berlaku.
Ia juga memberikan penekanan serius bahwa kebebasan berekspresi harus dilakukan dalam koridor yang tepat. Segala bentuk ekspresi, termasuk yang datang dari kelompok keagamaan, perlu dibatasi oleh prinsip tanggung jawab dan tidak boleh melewati batas yang bisa mengarah pada ekstremisme.
"Saya yakin Indonesia sudah memiliki ekosistem yang baik soal itu. Maka berikan hak-hak itu sejauh itu baik," ujarnya.
"Mana yang itu melewati batas yang tidak semestinya dilakukan entah itu mengarah pada pandangan-pandangan yang ekstrem misalkan dan lain sebagainya. Maka di situlah semua organisasi harus punya koridor," ucapnya menambahkan.
Masjid Jogokariyan sendiri diduga mengalami pemblokiran akun-akun media sosialnya seperti YouTube dan Instagram setelah mengunggah konten wawancara bersama aktivis pro-Palestina, Muhammad Husein alias Husein Gaza. Selain itu, akun Himpunan Anak-anak Masjid Jogokariyan (HAMAS Jogokariyan) juga menjadi sorotan, diduga karena kemiripan nama dengan kelompok pejuang Palestina, Hamas, yang oleh beberapa platform teknologi dianggap sensitif.
Terkait isu Palestina yang ikut disuarakan oleh Masjid Jogokariyan ini, Haedar menyatakan sudah seharusnya persoalan tersebut dipandang sebagai isu global, bukan sekadar urusan satu agama atau bangsa. Ia menekankan sikap Indonesia terhadap isu Palestina harus berpijak pada prinsip menolak penjajahan dalam bentuk apa pun, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
"Nah yang kita tentang itu kan, adalah bentuk penjajahan baru, yang disebut oleh Bu Menlu zaman dulu sebagai penjajah baru yang disebut oleh Bu Menlu zaman dulu sebagai penjajahan ilegal, kemudian genosida, dan agresi," ujarnya.
Haedar juga mengingatkan agar isu ini tidak dibelokkan menjadi konflik berbasis agama atau identitas primordial semata.
"Jangan dibawa pada urusan agama. Pada urusan primordial. Yang akhirnya nanti akan menimbulkan disorientasi sikap baik dari mereka yang memperjuangkan maupun mereka yang merespons," ungkap Haedar.