Bagian 4
JET LI
Suara pengeras suara di masjid baru saja melantunkan tanda tibanya waktu Ashar, bi Aat menyerahkan si kecil Angga ke pangkuan ibunya, hari Jum’at terakhir pada tiap bulan bi Aat biasanya pulang ke desanya di daerah Campaka wilayah selatan Cianjur dan kembali lagi hari Senin pagi. Bi Aat masih ada hitungan sedulur dengan Karlin, umurnya baru akhir 40-an, suaminya meninggal tiga tahun kebelakang karena pandemi Covid, Mang Eman suami bi Aat adalah pegawai dinas kehutanan, sore pulang dari kebun baik-baik saja, malamnya meriang, dikira hanya meriang biasa, minum teh hangat dan makan mie instan kemudian tidur, pagi harinya Mang Eman tidak bangun lagi, jenazahnya diurus dan ditangani oleh Puskesmas setempat secara prosedur Covid, hingga sekarang bi Aat tidak tahu dimana suaminya dimakamkan, katanya di kawasan khusus makam korban pandemi dan menurut pihak berwenang tingkat desa sampai tiga tahun tidak boleh dikunjungi.
Setelah itu bi Aat langsung dirujuk ke Rumah Sakit Cianjur untuk diperiksa secara seksama dan mendapatkan suntikan vaksinasi dan selama 14 hari tidak boleh kontak dengan orang lain, semua prosedur itu diikuti oleh bi Aat, sejak awal mereka hanya hidup berdua karena tidak dikaruniai anak, tapi orang tua mereka masih ada di kampung, bi Aat menyekolahkan seorang keponakannya dan dijadikan anak angkat. Karlin tidak meminta bi Aat menjadi asisten rumah tangga, bi Aat yang datang sendiri dan menawarkan diri untuk tinggal bersama Karlin sewaktu Angga baru berumur satu tahun, katanya dia bosan tinggal di kampung dan ingin tinggal di tempat ramai, tentu saja Karlin menerimanya dengan tangan terbuka, dia butuh asisten untuk semua pekerjaan rumah tangga dan mengurus Angga. Karlin tidak memperlakukan Bi Aat sebagai pembantu seperti pada umumnya, Karlin memperlakukan bi Aat memang seperti bibinya meski tiap bulan Karlin memberinya honor sesuai permintaan bi Aat.
Sejak duhur tadi Karlin merasa dadanya berdebar-debar terus meskipun tidak terlalu berdegup seperti orang sehabis olah raga namun rasanya tidak nyaman karena tidak biasa, dia telpon suaminya setelah solat duhur dan dijawab suaminya semua baik-baik saja, nanti sore seperti biasa dia pulang, tidak ada tugas kemana-mana. Sepulang bi Aat Karlin menggendong Angga, membuatkan cereal rasa pisang dan berniat menyuapinya di halaman rumah sambil menunggu suaminya pulang, rasanya tak sabar dan ingin segera sembuh dari debaran dadanya.
Hampir suapan terakhir cereal pisang, terlihat di belokan depan mobil plat merah suaminya datang, dibelakangnya diikuti sebuah mobil SUV kompak ukuran tiga baris, itu Honda mobilio keduanya berhenti di depan rumah Karlin, suaminya turun setelah merapikan parkir sejenak, senyumnya mengembang tangannya merentang hendak memeluk keduanya, bagi Rahmat istri dan anaknya adalah permata yang tak ternilai, dia begitu menyayangi mereka, tapi ada yang istimewa sore ini, suaminya menatapnya dengan dalam sambil tetap senyum, Karlin agak keheranan.
“..Ada apa..?” katanya sambil balas menatap mata suaminya, dia mencari-cari jawaban disana tapi tak ditemukannya.
“..Selamat hari pernikahan sayangku..” kata Rahmat, dia menatap mata istrinya dengan penuh cinta dan rasa syukur, di belainya kepala istrinya dan didekatkan ke bibirnya untuk mengecup keningnya, tangannya memeluk keduanya..
Rahmat merengkuh pundak istrinya dan mengajaknya berjalan ke arah mobilnya, tapi bukan, tepatnya ke arah mobil di belakangnya..
“..Ini bukan mobil baru, tetapi kondisinya masih sangat bagus..” katanya dengan pandangan jenaka dan senyum yang terus mengembang. Sopir yang membawa mobil itu staf suaminya di kantor.
Karlin tentu saja kaget dan bingung, alis matanya bertaut dan memandang suaminya.
“..Ini untukmu, hadiah ulang tahun perkawinan kita..” kata suaminya sambil tetap tersenyum.
Karlin menatap suaminya dengan bengong, antara senang, bahagia tetapi..
“..Tenang sayang, ini bukan mobil kreditan, aku sudah melunasinya..” kata suaminya lagi.
“..ooh..” Karlin memeluk suaminya dengan bahagia, dia merasa menjadi perempuan paling berbahagia di planet bumi. Jantungnya tidak berdebar lagi sekarang, ternyata ini firasatnya.
Ternyata dibelakang kedua mobil itu ada sebuah motor, Pa Dadang turun dari mobil, menyerahkan kunci kontak kepada Rahmat kemudian pamit, basa basi, trus naik motor dan mereka berdua berlalu.
Setelah mereka berdua berlalu baru Karlin berani bertanya pada suaminya.
“..Ayah ini mobil..” belum selesai Karlin berkata, suaminya sudah memotong kalimatnya.
“..Iya, aku beli untuk kita, Angga sudah semakin besar dan sebentar lagi dia akan punya adik..” Rahmat berkata sambil mengedip-kedipkan mata, Karlin tertawa jengah.
“..Ayah kumpulin uang di koperasi kantor selama hampir dua tahun untuk membeli ini, sejak awal ayah bisa aja membelinya dengan kredit, waktu itu uang mukanya juga cukup, tapi ayah pikir lebih baik simpan uang di koperasi kantor untuk membantu modal koperasi itu juga, pengelolaannya benar dan jujur, tiba waktunya ayah ambil modalnya dan belikan mobil ini..” jelas suaminya.
“..ayok masuklah, udah mau magrib, ayah siapkan sebentar garasi kita, sudah waktunya dia ada isinya..” katanya sambil bergegas membuka pintu pagar dan membereskan semuanya. Karlin masuk rumah, menutup pintu depan dan menyalakan lampu luar.
Suaminya masih menikmati film di HBO, judul filmnnya ‘Captain Philips’ yang diperankan oleh Tom Hanks, menceritakan seorang kapten kapal cargo yang dibajak oleh bajak laut Somalia, sang Kapten sempat ditawan didalam sekoci penyelamat untuk dimintai uang tebusan, tapi pada akhirnya sang bajak laut mati ditembak sniper Amerika, heroik sekali, film-film Hollywood banyak yang menceritakan heroisme, sepertinya film ini ditujukan untuk generasi muda mereka agar tetap memiliki sifat heroik, bela negara dan kecenderungan untuk menjadi pahlawan.
Rasanya tak sabar menunggu waktu yang tiba, Angga sedang menuju tidur, sudah minum susu dan makan bubur bayi, perutnya kenyang dan pasti ngantuk, dia segera menuju tidur, suaminya sudah terlihat terkantuk-kantuk, Karlin bertekad malam ini akan menjadi malam yang indah untuk mereka, Karlin sedang benar-benar berbahagia setidaknya untuk tiga hal, pertama suaminya tetap mencintainya, kedua tidak ada wanita lain dalam rumah tangga mereka, dan ketiga ada mobil baru sebagai hadiah perkawinan mereka.
Karlin segera masuk kamar mandi untuk membersihkan dan mengharumkan diri, mengganti dasternya dengan daster yang lebih seksi, dan hanya daster itu saja yang dia kenakan, yang lainnya ditanggalkan, Karlin sudah berencana begitu suaminya naik tempat tidur dia akan memeluknya dan mencumbunya dan akan memberikan pelayanan terbaik yang dia mampu lakukan.
Suaminya beranjak dari kursi depan tivi, mematikan tivi dan berjalan menuju toilet, itu sudah kebiasaan bertahun-tahun tak pernah berubah, keluar dari kamar mandi Karlin mencegatnya dan memeluknya dia menatap mata suaminya dengan lekat dan menyatakan cinta. Malam itu Karlin tersenyum sambil meneteskan air mata bahagia dalam percumbuan panas dengan suaminya. Malam itu Karlin merasa dirinya lebih cantik dari Cinderella dan lebih bahagia dari istri sultan manapun.
Alamat yang diberikan oleh Pak Usman ternyata sebuah gudang besar dengan pintu gerbang yang tinggi, Dafa mencari-cari pintu masuk dan saat dia celingukan mencari cara untuk masuk tiba-tiba sebuah pintu kecil terbuka, pintu kecil itu menempel pada pintu gerbang besar itu, tak lama seorang satpam keluar, selintas Dafa bertanya-tanya bagaimana satpam itu bisa tahu ada tamu, Dafa berjalan menuju pintu besi kecil itu dan seketika dia paham, ada kamera CCTV menempel pada dinding tempat dudukan pintu itu.
“..Ada yang bisa saya bantu bu..” tanya satpam dengan ramah.
“..Oh, saya mau ketemu Pak Haji Hidayat, saya Dafa, juga sampaikan ke beliau saya dari Pak Usman Jakarta..” Dafa menjawab.
“..Baik bu, silahkan duduk dulu..” kata satpam itu sambil mempersilahkan Dafa duduk di kursi kayu panjang didalam pos satpam.
Sepuluh menit berselang satpam itu kembali.
“..Mari bu saya antar ke pak haji..” satpam itu mempersilahkan Dafa untuk berjalan bersama, masuk ke dalam gudang dan naik tangga menuju sebuah ruangan yang terdapat di bagian atas gudang, Dafa mengenakan celana panjang dengan dressed muslim lengkap mengenakan kerudung, meski tidak terbilang tinggi tapi Dafa terlihat cantik dan efisien dengan pakaian seperti itu, dengan mudah dia menaiki tangga mengikuti satpam itu.
Ruangan itu terbuat dari plat seng yang dibuat rapi untuk sebuah ruangan tempelan, Satpam mengetuk pintu dan langsung membukanya, mengangguk pada seorang pria berambut putih berkacamata dan berkemeja lengan pendek, terlihat perbedaan warna kulit di lengannya, bagian bawah agak lebih gelap karena terus menerus tersinari matahari, sementara bagian atas lengannya yang tertutup lengan kemeja tangan pendeknya terlihat lebih putih.
“..Oh Neng Dafa ya..” kata pak Hidayat sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman, Dafa menyambut uluran tangannya dengan sopan, terasa telapak tangan Pak Hidayat agak kasar dan kaku, tanda beliau seorang pekerja keras.
“..Iya Pak..” katanya sambil mengangguk dan senyum.
“..Silakan duduk neng..” kata Pak Hidayat mempersilahkan Dafa untuk duduk di sofa set kantor, sofa itu bahannya dari kulit dan ketika Dafa duduk terasa nyaman khas sofa yang tidak murah. Pak Hidayat menyusul untuk duduk langkahnya ringan untuk ukuran orang seumur itu, celananya warna gelap model baggy dengan kemeja tangan pendek biru muda yang dimasukkan.
“.. Pak Usman apa kabarnya..? sehat ya beliau..” kata Pak Hidayat membuka percakapan.
“..Beliau baik pak, sehat dan energik, seperti pak haji..” jawab Dafa sambil tersenyum. Dia kagum pada orang-orang yang telah berumur namun masih tetap semangat.
“.. Yaa kemarin itu Pak Usman telpon saya katanya orang saya cari sudah ada, katanya mantan karyawan saya sendiri yang ingin pindah ke Bandung..” kata Pak Hidayat.
“..kenapa ingin di Bandung neng..” Tanya Pak Hidayat sambil menatap Dafa dengan rileks.
Dafa tersenyum dan agak menunduk..
“.. Ingin mencari suasana baru Pak, Jakarta rasanya sudah sempit..” Jawab Dafa, diplomatis.
Pak Hidayat tersenyum..
“..Ya kira-kira pekerjaannya sama dengan yang di Pak Usman, hanya disini ada juga pengiriman paket, tapi paket cargo ya, ukuran besar, bukan paket kecil-kecil seperti untuk delivery home to home..” kata Pak Hidayat.
“..Paik Pak..” Jawab Dafa
“..Tapi semua sudah terkomputerisasi, biasa kan pake komputer..?” tanya Pak Hidayat.
Dafa mengangguk cepat.
“..Udah biasa Pak..” katanya.
Tiba-tiba Pak Hidayat beranjak dan menuju desk phone, menekan beberapa nomor..
“..Wati, tolong panggilkan si Theo ya, suruh keatas..” kata Pak Hidayat, kemudian dia duduk lagi.
“..Theo anak saya, dia nanti yang pegang gudang ini, saya nanti di gudang yang di Cimahi..” Kata Pak Hidayat.
Tak lama pintu diketuk dan terbuka, datang seorang pria, china, putih sipit dengan rambut hitam yang disisir ke pinggir, perawakannya langsing, gerakannya cepat, mirip-mirip Jet Li.
“..Ya Pap..” katanya dengan mata yang menatap ayahnya, siap menerima instruksi.
“..Duduk The, kenalkan ini Dafa, dia dari Jakarta, dulu kerja di Om Usman, tapi sekarang ingin kerja di Bandung katanya, Om Usman rekomending dia..” Kata Pak Hidayat.
“..Oh..” kata Theo sambil memandang Dafa dari atas kebawah, kemudian menjulurkan tangan untuk bersalaman. Dafa cepat berdiri menyambutnya sambil sedikit menganggukkan kepala.
“..Gimana..?” kata Pak Hidayat sambil menatap anaknya lekat.
“..Terserah Papa..” kata Theo.
“.. Ya ok, nak Dafa kapan bisa mulai bekerja..?” kata Pak Hidayat sambil menatapnya.
Dafa beranjak dari tunduknya dan mengarahkan pandangannya ke Pak Hidayat.
“..Secepatnya Pak, besok juga bisa..” Kata Dafa.
“..Oke, gini, kamu siapin satu meja ya di ruangan admin bawah, ambil yang ada atau kalau perlu beli lagi aja, Dafa nanti di bagian purchasing ya..” kata Pak Hidayat sambil menatap Theo dan kemudian menatap Dafa.
“..Siap Pak, di Pak Usman saya juga dibagian itu..” kata Dafa lagi.
“..Baik nak Dafa, besok jam kerja kami tunggu ya..” kata Pak Hidayat.
“..Baik pak..” kata Dafa sambil siap beranjak dari duduknya dan menjulurkan tangan ke Pak Hidayat, kemudian ke Pak Theo, mengangguk dan pamit.
“..Saya pamit dulu Pak..” kata Dafa mengangguk ke Pak Hidayat dan kemudian ke Theo.
Dafa melangkah menuju pintu, membukanya dan menutupnya kembali, berjalan menuruni tangga, sambil berjalan menuruni tangga Dafa menyaputkan pandangan ke seluruh gudang, ada dua forklift disana, empat truk box yang sedang loading dan sekitar 12 karyawan yang hilir mudik. Gudang ini besar sekali pikirnya, lebih besar dari gudang Pak Usman. Dafa berjalan menuju pintu keluar, itu lewat pos satpam, satpam mengangguk melihat Dafa.
“..Udah ketemu pak Hidayat bu..?” tanya satpam.
“..Udah, tapi saya numpang duduk sebentar ya, mau pesan grab sambil telpon teman..” Kata Dafa.
“..Oh silakan bu..” kata satpam.
Dafa duduk di kursi panjang pos satpam, jam dinding bulat besar menunjukkan angka setengah sepuluh, di pijit nomor Emma..
“..Hai ceu, aku udah beres nih..” kata Dafa.
“..Alhamdulillah..” katanya lagi.
“..Aku kemana nih, masih terlalu pagi untuk pulang..” kata Dafa lagi.
“..Ya udah aku naik grab ya..” kata Dafa lagi, di tutup telponnya, dan buka aplikasi grabcar, dia mau main ke sekolah tempat Emma bekerja, seharian ini mau main aja pikirnya, toh besok pagi kembali ke dunia nyata, jadi pegawai lagi…
-----------------
Jika ada satu hal yang paling pasti di semesta ini, paling egois, tak bisa dibeli, tak bisa dihentikan sekaligus penyembuh luka itu adalah waktu, dia berjalan dan menggilas segalanya, gitu kata musisi Ebiet G Ade, siap atau tidak, suka atau tidak waktu tak pernah peduli dia berjalan terus, menyeret semuanya untuk selalu berpindah dari satu titik ke titik berikutnya, waktu mengawali segalanya dan mengakhiri segalanya, diantara awal dan akhir itu ada kemenangan, kekalahan, kesedihan, kekecewaan juga kebahgaiaan dan berakhir di kepasrahan.
Mereka bertiga kembali bertemu ditempat yang sama seperti setahun lalu di rooftop café Panghegar, semua masih sama, kecuali cerita mereka yang sudah berbeda.
“..Jadi, hari minggu ini kamu resepsi Daf..” kata Emma mengawali percakapan, Karlin juga menatap Dafa sambil sesekali mengelus-elus perutnya yang sudah mulai membesar, Karlin sedang mengandung anak keduanya.
“..Ya begitulah, Jet Li tidak mau lama-lama, Papanya ingin segera punya cucu..” jawab Dafa. Mereka bertiga tertawa.
Dafa memanggil calon suaminya dengan panggilan Jet Li, kenapa? Kata Theo, pertama kali aku bertemu kamu aku seperti melihat Jet Li yang datang, kata Dafa, maka aku panggil kamu Jet Li. Awalnya Dafa tak menaruh perhatian kepada Theo, dia masih berada dalam luka hati karena mengakhiri hubungan dengan Rudy, meskipun Rudy tak pernah lagi menghubunginya tetapi melupakan sesuatu yang pernah tertanam dalam hati tidaklah mudah, semua kenangan kembali datang disaat sendiri.
Theo, katanya, sejak pertama melihat Dafa sudah jatuh hati, falling in love at the first sight, gitu katanya, hanya saja Theo tipe pekerja keras, dia punya tanggung jawab besar mewarisi usaha keluarganya, dan tidak boleh gagal, Theo memang bukan tipe romantis dan perayu, dia cenderung kaku, namun sikap dan perhatiannya pada Dafa semakin hari semakin terasa, bagaimana dia sering membawakan makan siang masakan ibunya dan mewadahinya dalam rantang untuk diberikan pada Dafa, alasannya di kawasan pergudangan itu jauh dari warung nasi, jadi dia disuruh mamanya untuk membawakan Dafa makan siang dalam wadah rantang. Awalnya memang tidak terasa itu adalah awal dari perhatian Theo, Dafa merasa tante Christine, mamanya Theo memang orang baik, beliau sering datang ke gudang sekedar melihat-lihat aktifitas yang ada. Juga Theo sering mengantarnya pulang tiap sore, di mobil mereka lebih banyak diam dan mendengarkan musik, Theo tak banyak bicara, tapi dia baik hati dan lembut.
Hingga suatu hari, sesampainya mereka di kost Dafa, Theo ikut turun tidak seperti biasanya, Dafa selalu turun dan membuka pintu mobil sendiri, namun kali itu Theo ikut turun, dia berjalan mendekati Dafa, dia gelisah, sambil mengatupkan kedua tangannya dia menyatakan cinta sekaligus mengajaknya menikah..
“..Dafa..” katanya, terlihat sekali kalau dia ini canggung.
“..eee.. kalau kamu belum punya pacar, aku ingin jadi pacarmu..” begitu kata Theo, empat bulan lalu.
Dafa sudah pasti kaget, meskipun dia tahu Theo orangnya baik tapi dinyatakan cinta olehnya tentu Dafa tidak siap.
“..akuuu.. aku gak punya pacar, gak punya siapa-siapa..” kata Dafa waktu itu.
“..mau kah kamu jadi pacarku.. eee.. kekasihku..” katanya lagi agak tergagap.
Dafa menatapnya langsung ke matanya, dia menemukan kesungguhan dan ketulusan disana, dan itu memberikan keberanian pada Dafa untuk menjawabnya.
“..Theo…” Dafa tercekat tapi matanya menerima tawaran Theo.
Theo menatapnya dan merasa yakin hingga akhirnya dia tersenyum lebar, kedua tangan Theo meraih dan menggenggam tangan Dafa dan mengguncangnya..
“..Aku mau sampaikan ini ke Papa dan Mama..” katanya dengan mata berbinar.
“..Sampai besok ya, aku jemput pagi..” katanya sambil bergegas masuk kedalam mobil, memutar arah mobil dan melambaikan tangan pada Dafa. Dafa hanya menonton semua dengan perasaan seperti melayang, hingga mobil Theo hilang di belokan menuju jalan besar.
Berjalan menuju kamarnya Dafa merasakan badannya limbung, membuka pintu, menutupnya dan menghempaskan badannya ke atas tempat tidur, mencoba memahami kenyataan yang dialaminya barusan.
Esok paginya Theo datang, seperti biasa lengkap dengan rantang makan siang..
“..Ini dari mama katanya..” semua biasa seperti tak terjadi apa-apa, hanya bedanya kali ini Theo lebih banyak tersenyum dan sesekali mencuri-curi pandang padanya.
“..Sore-sorean mama mau nemuin kamu..” kata Theo sewaktu hampir sampai di gudang. Dafa kaget lagi, kejutan kemarin masih belum pulih sekarang dikejutkan lagi..
Dafa tak bisa menyembunyikan ketegangannya, apalagi saat mama Theo datang, wajahnya pucat dan tangannya dingin saat menyalami Tante Christine, tiba-tiba Tante Christine merengkuhnya dan memeluknya, kemudian menatap Dafa dalam senyum. Tante Christine kemudian bercerita sudah banyak menawarkan Theo calon istri, baik dari lingkungan dekat hingga anak-anak teman mereka, tapi semua ditolak Theo, Tante Christine sebagai seorang ibu pastinya mulai khawatir kenapa anaknya menolak semua calon yang dikenalkan.
“Dafa..” akhirnya tante Christine menatapnya dengan tatapan serius, Dafa merasakan darahnya berdesir, dia kembali pucat.
“..Tante tak ingin lama-lama kalian pacaran..” Sejenak Tante Christine menatap Dafa.
“..Kalian sudah tidak remaja lagi, Om dan Tante rasanya sudah ingin punya cucu..” katanya dengan tetap menatap Dafa.
“..Kalian segera tentukan waktu pernikahan ya, segera kabarkan ini kepada kedua orang tuamu..”
Dafa kembali seakan melayang..
“..Tante pulang dulu ya..” katanya sambil segera berdiri, menghampiri Dafa dan memeluknya lagi.
Dafa limbung lagi.
Ternyata Theo tidak sekaku itu, dia juga senang bercanda dan tertawa lepas, dulu sebelum menjadikan Dafa sebagai kekasihnya hubungan mereka masih bernuansa bos dan pegawai, kini semua berubah hubungannya adalah bos dengan calon istrinya.
“..Mas..” kata Dafa suatu sore di perjalanan mengantar pulang..
“..Ya apa Daf..” kata Theo.
“..Aku ga mau memanggilmu Theo..” kata Dafa..
“..Trus, mau panggil apa..” kata Theo.
“..Jet Li..” kata Dafa sambil melirik Theo.
Sedetik kemudian Theo tertawa terbahak-bahak. Dafa ikut ketawa.
“..Kenapa..?” tanya Theo setelah reda dari tawa.
“..Dulu pertama kali aku melihatmu masuk pintu itu, aku melihat Jet Li..” kata Dafa
Mereka tertawa lagi. Dari sanalah nama Jet Li dimulai.
Konon kata orang tua dulu kebahagiaan hidup adalah bagaimana cara kita mengatur hidup kita sendiri, termasuk didalamnya mampu mengambil keputusan yang tepat yang sesuai dengan hati nurani kita yang terdalam, karena hati nurani terdalam adalah tempat dimana petunjuk Tuhan datang, meskipun mungkin akan mengalami rasa sakit saat memutuskannya tapi akan berakhir manis. Hanya waktu yang dapat menyembuhkan luka, sedalam apapun luka itu.
Ketiga sahabat masih saling bercerita, musik mengalun dari music corner, evergreen 80’s, kali ini mereka melantunkan Nothing Gonna Change My Love for You.
If I had to live my life without you near me
The days would all be empty
The nights would seem so long
With you I see forever, oh, so clearly
I might have been in love before
But it never felt this strong
Our dreams are young and we both know
They'll take us where we want to go
Hold me now, touch me now
I don't want to live without you
Nothing's gonna change my love for you
You oughta know by now how much I love you
One thing you can be sure of
I'll never ask for more than your love
Nothing's gonna change my love for you
You oughta know by now how much I love you
The world may change my whole life through
But nothing's gonna change my love for you
If the road ahead is not so easy
Our love will lead the way for us
Like a guiding star
I'll be there for you if you should need me
You don't have to change a thing
I love you just the way you are
So come with me and share the view
I'll help you see forever too
Hold me now, touch me now
I don't want to live without you…