Bagian 2
STASIUN KOTA
Hujan sejak semalam membuat kota Bandung menjadi dingin dan basah, kabut tipis mengambang di ujung pepohonan menunggu sinar matahari untuk menaikkannya ke langit, bulir-bulir air menggantung di ujung dedaunan seakan menunggu untuk jatuh menjadi tetesan air yang membasahi halaman depan kos-kosan Emma. Hujan masih merinai turun, Emma membuka payungnya dan berjalan kedepan untuk menunggu jemputan Mang Barkah sopir kantor yang tiap pagi pada jalur tertentu menjemput guru-guru dan karyawan lainnya menuju sekolahan.
Baru saja duduk di minibus Mang Barkah smartphone Emma vibrating, ada pesan masuk, sejenak Emma merogoh tasnya dan membuka pesan..
“..Hai, masih ingat aku..” text dari sana, terlihat foto si pengirim teks yang membuat darah Emma berdesir halus, dia Daeng Dadin.
“..Tak mungkin bisa melupakan kamu..” balas Emma.
“..Minggu depan aku mau ke Bandung, tugasnya ke Jakarta tapi aku mau mampir ke Bandung sekalian mau coba kereta cepat itu, kamu ga kemana-mana ?..”
“..Aku belum punya rencana..” tulis Emma
“..Baiklah, nanti setelah di Jakarta aku kabarin kamu ya..” tulisnya yang diakhiri emoticon senyum.
Ah kamu, bathin Emma, meskipun hanya emoticon yang senyum tapi rasanya kamu senyum padaku dengan tatapan mata teduhmu yang sepanjang waktu lalu aku nikmati..
Mobil Mang Barkah melaju lambat, pagi selalu macet, apalagi hujan semalaman pasti banyak genangan air yang makin memperparah kemacetan, sedikit ada kebahagiaan di hatinya karena jalanan macet pasti lebih lama menuju kantor, Emma merebahkan kepalanya ke sandaran kursi dan mulai melamun, sambil senyum-senyum sendiri membayangkan semua kegiatan yang dilalui bersama Daeng Dadin..
Ada pepatah busy keep your positif thinking, tidak tahu siapa yang membuat pepatah itu, tapi rasanya memang dengan kesibukan membuat hari-hari cepat berlalu, kemarin Daeng Dadin texting ke Emma katanya baru mendarat, dan hari Sabtu pagi Daeng Dadin minta dijemput di Stasiun Kota Bandung, dia turun dari Whoosh di Padalarang dan naik commuter ke Stasiun Kota.
Dari Asia Afrika ke Stasiun Merdeka sebenarnya hanya butuh waktu 15 menit, kalau macet normal ya 30 menit, tapi ini ada iring-ringan bobotoh Persib, dan jika itu yang terjadi maka waktu perjalanan bisa menjadi tak tentu, terlihat polisi berjaga-jaga di setiap perempatan, mengantisipasi dan meminimalisasi resiko yang mungkin akan timbul akibat massa yang emosional karena klub sepakbola mereka kali ini kalah lagi, bagi bobotoh Persib kalah ya unjuk rasa menang lebih bisa lebih rusuh lagi. Begitu Emma duduk di kursi grabcar seketika itu juga berhenti karena didepan sudah terlihat berjejer mobil yang semua berhenti.
Selintas Emma melirik pak sopir Grab, sudah agak tua, mungkin lima puluhan awal, sebagian rambutnya sudah beruban, bajunya kemeja rapi dimasukkan, ditangan kirinya terlilit jam tangan yang sepertinya bukan abal-abal.
“.. Ini bakal lama neng..” kata pak sopir mulai membuka percakapan.
“.. Iya ya pak..” Emma menimpali sekenanya.
“.. Ke stasiun mau berangkat luar kota atau mau jemput..?” si pa sopir bertanya lagi.
“.. Mau jemput pak..”
Tiba-tiba smartphone Emma vibrating, Daeng Dadin dari sebarang sana.
“.. Aku sudah di stasiun Halim, satu jam lagi kita ketemu ya..”
“.. Aku sudah di grab mau ke stasiun tapi ini ada arak-arakan penggemar Persib, bikin jalan macet, seandainya aku agak lama Abang tunggu aja ya..” makin lama memang makin sulit menyebut Daeng Dadin dengan hanya namanya saja, sering juga Emma panggil Daeng Dadin dengan sebutan abang, dalam panggilan abang ada nuansa merasa nyaman dan terlindungi, apalagi yang dipanggil abang memang memiliki sifat itu.
“..iya aku tunggu sampai kamu datang..”
Mungkin pak sopir mendengar percakapan, dan memang nada percakapan ini bisa dibedakan antara telpon kepada seseorang sebagai teman biasa, sahabat , bahkan suami atau seseorang yang dicintai, tone-nya pasti berbeda.
“..Abangnya dari Jakarta ya neng…” kata pak sopir.
“..Iya..” kata Emma
“..Ironis ya, kita hanya kurang dari sepuluh kilometer harus ditempuh dalam satu jam mungkin lebih, abangnya dari jakarta menempuh 200 kilometer lebih hanya satu jam..” pak sopir berkata seakan perkataan itu ditujukan kepada dirinya sendiri.
“.. Iya Pak..” kata Emma.
“.. Kalau tidak karena tuntutan hidup bapak ga akan jadi sopir grab..” kata pak sopir.
“..o ya..?” kata Emma sambil menutup smartphone-nya, dia pikir bersosialisasi tidak ada salahnya apalagi dengan seseorang yang kelihatannya orangnya baik dan berpakaian rapi.
“..Iya neng, tidak mudah mencari pekerjaan baru untuk orang seumuran bapak, saya dulu kerja di bank swasta, sudah level manajer, tapi karena bank itu merger dengan bank lain maka ada rasionalisasi, termasuk bapak, untung saja punya sedikit tabungan yang bisa dibelikan mobil ini..” katanya mulai bercerita.
“..Kalau pesangon sudah habis neng, bapak belikan mobil untuk ibunya anak-anak, beli rumah lagi untuk istri yang kedua, sisanya di depositokan..” katanya.
“.. Oh bapak punya istri dua..?” kata Emma
“..Iya neng..” kata pak sopir.
Hening sejenak, sepertinya pak sopir sedang menyusun cerita berikutnya, mobil beringsut pelan.
“..Dulu uang mudah didapat, tiap bulan selalu ada pendapatan lebih, hidup bapak mudah neng, jadi bapak pikir sudahlah menikah lagi dengan seorang janda anak dua..” pak sopir mulai berceritera.
“..Bapak pikir semua akan berjalan dengan baik dan tidak akan berubah, kita masuk di zona nyaman, tetapi ternyata tidak demikian, sewaktu merger bapak ditawari untuk tetap bekerja di bank itu tapi dengan gaji minimum dan dianggap karyawan baru, kontrak pertahun, bank menawari gaji bapak hanya 15% dari yang selama ini diterima, ya bapak ngga mau dan memilih keluar dengan pesangon yang lumayan..”
“..gitu ya pak kalau merger..” kata Emma asal menjawab agar tidak dikira tidur..
“..Iya neng, ya bapak ga mungkin, maka bapak resign, meskipun dalam hati ketar ketir karena semua anak masih sekolah, yang paling besar sih sudah kerja di bank juga, yang kedua sedang tugas akhir, tapi dari istri kedua bapak yang paling besar mau lulus SMA dan yang kecil masih di SMP, itu yang paling jadi pikiran bapak..”
Diluar makin rusuh, motor-motor dengan suara knalpot memekakkan telinga mulai merambah naik ke trotoar, bendera dikibar-kibarkan, rusuh sekali. Mobil tak berjalan samasekali.
“..Pak gimana sih rasanya punya istri dua..” Emma bertanya, kali ini agak tak tertahan karena penasaran.
“..Yaa kalau punya uang banyak sih enak neng, artinya kita tidak terlalu memikirkan ekonomi sehari-hari, bapak bertemu istri kedua itu di sebuah café di Jakarta, bapak sering ngopi disana dan berkenalan, lama-lama semakin akrab, dia memang butuh penghasilan yang cukup untuk ngontrak rumah dan menyekolahkan anak-anak, tidak cukup dari seorang waitress café meskipun bapak sering kasih tip yang cukup besar..” Ceritanya terhenti sejenak karena ada motor dengan knalpot blong dekat sekali ke pintu depan.
“..Dapet apa sih mereka itu dengan unjuk rasa seperti itu..” katanya dengan wajah kesal.
“..Akhirnya ya udah bapak nikahi tapi perjanjiannya bapak tidak selalu bisa bersamanya dan tidak bisa menjanjikan jadwal kunjungan, seadanya saja, tapi dia tetap mau karena bapak kasih bulanan tetap..”
“..Tapi sama istri pertama bapak tetap cinta..?” tanya Emma, dia merasa ada sesuatu yang harus ditempatkan dulu secara tepat sebelum cerita dilanjutkan.
“..Ya tetap cinta neng, tidak ada yang berubah, dia ibu dari anak-anak bapak..”
“..Lha terus kenapa bapak menikah lagi..?” tanya Emma lagi, mengejar, seakan belum menemukan jawaban yang tepat.
Pak sopir meliriknya dari kaca spion.
“.. Yaa jatuh cinta lagi neng…” kata pak sopir sambil agak tertawa sedikit, menertawakan dirinya.
Dalam hati Emma menggumam dasar laki-laki, ga bisa setia..
“..Istri kedua itu ya bapak jatuh cinta lagi tapi sekaligus juga kasihan, fifty-fifty lah, ada keinginan menolong tapi juga menyukainya, ya sudah bapak jalani, toh kita kan tidak melanggar aturan agama..”
Emma manggut-manggut, ada hal baru dalam pemahamannya, ternyata cinta kedua tidak selamanya petualangan cinta, atau cinta yang panas kepada istri yang lebih muda, tapi disana ada unsur menolong, yang ditolong juga mungkin terdesak kebutuhan, dan sebagainya, hidup memang tidak selalu sederhana, tidak selalu hitam putih, tidak selalu benar dan salah.
“..Begitulah neng jalan cerita bapak..”
“..Iya ya pak, hidup memang sering tidak terduga ya pak..” timpal Emma.
“..Menurut bapak sih neng, meskipun kitab suci kita membolehkan beristri lebih dari satu tapi yang paling baik menurut bapak ya beristri satu saja karena beristri dua itu repot, kita harus terus berbohong karena kan istri mana yang mengijinkan suaminya menikah lain jika tidak ada masalah khusus..”
Mobil agak sedikit melaju, lampu merah Asia Afrika hampir terlewati.
Cerita berhenti, lampu merah Asia Afrika sudah lewat, tinggal belok kanan jalan Banceuy, trus Braga, Viaduct, tapi ini tetap merayap.
Emma merenung, semua perkataan pak sopir tadi diresapinya..