REJOGJA.CO.ID, Oleh: Kamran Dikarma
Febri Ramdani tak mengetahui pasti apakah akan selamat ketika memutuskan bertolak ke Suriah pada September 2016. Dalam pikirannya saat itu, dia rindu dan sangat ingin bertemu ibunya. Setahun sebelumnya, ibunda Febri sudah lebih dulu berangkat ke Suriah setelah termakan propaganda ISIS.
Febri sesekali menghela napas ketika menceritakan pengalamannya menjemput ibunya ke Suriah. Pria berusia 30 tahun itu sadar, perjalanan tersebut mempertaruhkan nyawanya. Namun Febri siap dengan segala konsekuensinya, asalkan bisa mendekap kembali ibunya.
Febri mengungkapkan, ibu, kakak, dan beberapa anggota keluarganya yang lain berangkat ke Suriah pada Agustus 2015. Menurut Febri, anggota keluarganya memang telah termakan propaganda dan iming-iming janji kelompok ISIS.
"Mereka berangkat pun enggak ngabarin saya, jadi saya ditinggal begitu saja," kata Febri kepada Republika ketika diwawancara seusai acara Pemutaran Film Dokumenter 'Road to Resilience' dan Bedah Buku 'Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah' yang digelar di Hotel Noormans Semarang, Jawa Tengah, 2 Juni 2025.
Febri menceritakan, sebelum ibunya dan anggota keluarganya lainnya berangkat ke Suriah, ada beberapa peristiwa yang turut berperan dalam menumbuhkan kepercayaan mereka terhadap propaganda ISIS. Salah satunya adalah ketika perusahaan keluarganya mengalami kerugian besar dan akhirnya bangkrut.
Menurut Febri, perusahaan keluarganya mendapat proyek untuk membangun sebuah aplikasi monitoring jamaah haji dan umrah. Proyek tersebut bekerja sama dengan sebuah kementerian.
"Proyek itu butuh dana yang sangat besar. Suatu waktu, ketika keluarga saya berhasil men-develop aplikasi tersebut, menteri dari kementerian terkait tertangkap oleh KPK karena kasus korupsi," ucapnya.
"Kemudian secara struktural, mereka (pejabat-pejabat di kementerian) banyak yang diganti. Akhirnya proyek aplikasi pun gagal, tidak balik modal. Jadi dana kita habis semua," sambung Febri.
Pada momen keterpurukan kondisi ekonomi tersebut, ibunda Febri, yang bekerja sebagai ASN di salah satu kementerian, bersama anggota keluarga lainnya, mulai terpapar konten-konten propaganda ISIS. "Mereka melihat di propagandanya kan layaknya zaman nabi, terus balik ke khilafah, tidak ada diskriminasi, pemaksaan, akhirnya mereka cukup tertarik," ungkap Febri.
Dia menambahkan, saat itu kakak perempuannya juga tengah sakit membutuhkan pengobatan. Hal itu turut berperan mengapa ibunya terpengaruh propaganda ISIS yang menggaungkan akan memberikan biaya hidup gratis bagi para pengikutnya.
"Banyaknya korupsi dan KKN di sekelilingnya juga menjadi faktor penunjang yang memutuskan dia (ibu) untuk berangkat (ke Suriah)," ujar Febri.
Febri mengatakan, sebelum berangkat, ibu dan anggota keluarganya lainnya rutin menggelar pengajian di rumah. Namun Febri, yang kala itu baru saja lulus SMA, tidak terlalu tertarik untuk terlibat.
"Saya dulu waktu sekilas-sekilas lihat berita deklarasi (ISIS di Irak dan Suriah) juga enggak peduli, karena kan kepinginnya main game, masih haus mengeksplorasi dengan circle-circle (pertemanan) saya," ucapnya.
Singkat cerita, tanpa sepengetahuannya, ibunda Febri dan anggota keluarganya bertolak ke Suriah pada Agustus 2015.
Misi Bertemu Ibu
Febri masih tak percaya bahwa keluarganya benar-benar berangkat ke Suriah. Menurutnya, tindakan keluarganya memang nekat.
Sejak ditinggal ibunya, Febri banyak merenung. Ada rasa kehilangan, rasa bersalah, bercampur rindu. Hal itu yang akhirnya mendorong Febri untuk turut berangkat ke Suriah dengan misi utama mencari ibunya.
Meskipun Febri tak mengetahui sepenuhnya apakah ibunya masih hidup atau tidak. Sebelum berangkat, Febri menyempatkan diri bertemu ayahnya yang sudah bercerai dengan ibunya. Hubungan Febri dan ayahnya sebenarnya tak terlalu baik.
Untuk biaya perjalanan ke Suriah, Febri menjual sejumlah barang yang tersisa di rumahnya. Seorang mantan pegawai di perusahaan keluarganya yang bangkrut setelah gagalnya proyek pengembangan aplikasi monitoring jamaah haji, turut membantu proses keberangkatan Febri. "Dia bantu saya untuk masalah administrasi, paspor dan segala macam," ujarnya.
Febri berangkat dari Indonesia pada September 2016. Dia masuk ke Suriah lewat perbatasan darat dari Turki. Dari sana, perjalanan Febri yang mengancam nyawa untuk bertemu ibunya dimulai.
Tak lama setelah masuk ke Suriah, Febri langsung ditangkap oleh anggota kelompok milisi Jabhat Al-Nusra. Selama ditahan Jabhat Al-Nusra, Febri kerap menerima kekerasan verbal.
"Mereka bilang, 'Kalau tidak mau bergabung akan saya tembak'. Setiap hari (anggota Jabhat Al-Nusra) bolak-balik sambil bawa senjata. Alhamdulillah-nya tidak sampai terjadi, dan tidak ada kekerasan fisik juga," ucapnya.
Namun selama ditahan, Febri tak dibuat kelaparan. Dia bersama sekitar 20-an imigran lain dari berbagai negara yang turut tertangkap tetap memperoleh makan dan minum setiap hari. Setelah sebulan ditahan, Febri bersama para imigran lainnya mencoba melakukan negosiasi dengan salah satu pimpinan Jabhat Al-Nusra.
"Kita bilang bahwa kita tidak ingin gabung ke mana-mana, hanya sebagai misi kemanusiaan. Pada akhirnya kita dibebaskan," kata Febri.
Setelah dibebaskan, Febri melanjutkan perjalanan. Dia sempat pindah dari satu kota ke kota lainnya di Suriah. Pengalaman tersuram adalah ketika dia berada di Kota Idlib. "Pas pindah ke Idlib, bom itu bisa 20 sampai 30 kali dalam sejam," ujarnya.
Febri kemudian masuk ke benteng ISIS di Kota Raqqa. Pada momen itu, Febri memperoleh akses untuk bertanya ke salah satu anggota ISIS yang bertugas sebagai staf atau non-kombatan. "Saya coba tanya ke salah satu stafnya di kantor ISIS itu, tahu enggak dengan kisah keluarga ini," ungkap Febri.
Tak diduga, ternyata anggota ISIS tersebut mengetahui kisah keluarga Febri. Menurut Febri, kisah keluarganya bergabung ISIS memang sempat menjadi pemberitaan di Indonesia. Dia menilai, hal itu tak terlepas dari posisi ibunya yang menjabat sebagai direktur di salah satu kementerian. Febri menduga, pemberitaan tentang keluarganya turut terjaring radar ISIS.
Febri mengungkapkan, setelah staf di kantor ISIS mengaku mengetahui kisah keluarganya, dia kemudian mengantarkan Febri ke keluarganya. Setelah lima bulan menyelusup ke berbagai kota di Suriah, momen yang ditunggu-tunggu Febri untuk bertemu ibunya dan anggota keluarganya lainnya akhirnya tiba. "Saya tidak menyangka bahwa mereka masih hidup," ujar Febri.
Butuh 1,5 tahun bagi Febri Ramdani untuk kembali bertemu ibu tercintanya. Momen pertemuan yang berlangsung pada Februari 2017 itu harus dibayar Febri dengan perjalanan mengancam nyawa ke jantung wilayah ISIS di Raqqa, Suriah.
Menurut Febri, ketika bertemu, ibunya dan 15 anggota keluarganya lainnya juga sedang berusaha mencari akses keluar dari Suriah. Mereka sudah menyadari bahwa apa yang dipropagandakan ISIS tak sesuai dengan realitas di lapangan. "Mereka (ISIS) juga mengancam akan membunuh kalau kita keluar atau kabur dari Raqqa," ucapnya.
Selama berada di basis utama ISIS, Febri dan keluarganya memikirkan cara untuk kabur. Sebelumnya keluarganya juga sudah mencari kontak KBRI Damaskus dan konsulat jenderal RI di Suriah. Namun akhirnya mereka sepakat bahwa cara yang paling bisa dieksekusi untuk kabur adalah dengan menyerahkan diri ke kelompok Syrian Democratic Forces (SDF).
Febri dan keluarganya kemudian menemukan warga sipil yang dapat membawa mereka ke markas SDF. Lokasinya tak terlalu jauh dari Raqqa. Pada Juni 2017, Febri dan keluarganya kabur dari Raqqa menuju basis SDF. Kala itu SDF sudah mulai bertempur untuk merebut kendali Raqqa dari ISIS.
Ketika hampir tiba di markas SDF, Febri dan 16 anggota keluarga lainnya diberondong tembakan. "Dari penyelundupnya bilang tidak akan ditembaki. Tapi sampai sana ada miskomunikasi; kita disangka mau menyerang. Padahal sudah pelan-pelan, pakai kode, tetap saja ditembak. Untungnya masih hidup," kata Febri.
Namun setelah komunikasi terjalin, Febri dan keluarganya akhirnya bisa masuk ke wilayah basis SDF. Febri dan keluarganya ditahan selama dua bulan oleh SDF. Anggota keluarga Febri yang perempuan sempat dibawa ke Kamp Ain Issa milik UNHCR di Kobane. Di sana, mereka diwawancara oleh jurnalis dari berbagai media.
"Barulah Pemerintah Indonesia melihat 'Wah ini ternyata kelompoknya sudah keluar dari daerah ISIS'. Makanya proses repatriasi bisa mulai dilakukan," ujar Febri.
Febri dan keluarganya berhasil dipulangkan ke Indonesia pada Agustus 2017. Mereka sempat menjalani rehabilitasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kisah Febri kemudian diangkat menjadi sebuah film pendek berjenis dokumenter berjudul "Road to Resilience". Film itu digarap oleh Kreasi Prasasti Perdamaian (KPP).
Saat ini Febri aktif di platform RuangNgobrol untuk mengampanyekan dan menyuarakan pesan-pesan perdamaian.
Tentang KPP
Direktur KPP Noor Huda Ismail mengungkapkan, organisasinya fokus pada transmedia storytelling. Salah satu mitra utama KPP adalah BNPT. "Kita fokus di strategic communication, tapi di isu-isu yang menurut kita jauh dari masyarakat. Isu terorisme, radikalisme, itu kan seram sekali ya," ucapnya.
Salah satu proyek KPP adalah menggarap film "Road to Resilience" yang mengangkat kisah tentang Febri Ramdani ketika berjuang untuk bertemu ibunya. Menurut Huda, menyampaikan isu tentang terorisme tapi dari perspektif anak yang mencintain ibunya lebih mudah dipahami masyarakat.
"Selama ini, baik itu negara maupun LSM, sudah melakukan kerja keras. Misalnya mengurus di penjara lah. Tapi ketika mengomunikasikan ke masyarakat umum, enggak asyik mereka. Ceramah, (mengutip) menurut undang-undang ini atau itu. Yesterday banget lah. Nah kita bikin kisahnya orang-orang yang pernah terlibat untuk bercerita kisah mereka sendiri," kata Huda.
"Kita ingin menjelaskan, narasinya tidak tunggal: teroris pasti begini, orang dari Suriah jadi teroris," tambah Huda.
Dia mengungkapkan, KPP telah memproduksi beberapa film yang mengangkat tema terorisme. Film-film tersebut mengangkat perspektif para mantan pelaku dan sisi humanistis mereka sebagai seorang individu.
"Kita fokusnya selalu emosi. Jadi film kita fokusnya roller coaster of emotion: ada aspek tegang, sedihnya, tapi harus ada bahagianya. Penekanannya itu selalu hope, harapan. Apa sih yang lebih powerful dalam hidup selain harapan?"
Huda menjelaskan, dia memperoleh kabar bahwa masih akan ada WNI mantan anggota kelompok teror di Suriah yang bakal direpatriasi. Nantinya mereka bakal dipulangkan ke berbagai daerah, terutama di Jawa Tengah. Dia berharap, film hasil produksinya dapat memberi pemahaman bahwa para mantan anggota kelompok teror bisa kembali bergabung menjadi anggota masyarakat.
Selain itu, Huda berharap pemerintah-pemerintah daerah bisa turut lebih berperan aktif dalam menangani isu repatriasi WNI mantan anggota kelompok teroris tersebut. (Kamran Dikarma)
(Foto di Gudang Foto)