Jurnalis Jadi Korban Kekerasan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Semarang mengecam tindakan represif aparat kepolisian terhadap jurnalis Tempo, Jamal Abdun Nasr. Jamal mengalami kekerasan ketika tengah meliput peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day, Kamis (1/5/2025).
Jamal mengalami kekerasan sebanyak dua kali. Pertama ketika dia tengah meliput aksi unjuk rasa May Day yang digelar di depan Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah (Jateng). Kerusuhan sempat terjadi dalam aksi tersebut.
Aparat kepolisian kemudian menangkap beberapa demonstran. Momen penangkapan peserta aksi itu diabadikan Jamal menggunakan gawainya. Polisi berpakaian preman lantas menariknya.
Dengan kondisi leher dipiting oleh lengan polisi berpakaian preman, Jamal kemudian dibawa ke halaman Kantor Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jateng yang berlokasi di seberang Kantor Gubernur Jateng di Jalan Pahlawan. "Ditarik, sempat dipiting, terus dibanting. Kira-kira semenit lebih," ucap Jamal.
Jamal mengaku sempat menunjukkan kartu persnya kepada polisi terkait. "Sempat ngasih lihat id pers, aku bilang aku wartawan. Mereka bilang 'Ngapain rekam-rekam kami aparat?," katanya.
Polisi kemudian menyita gawai milik Jamal. "HP-ku diminta, diminta untuk dihapus (video penangkapan demonstran). Enggak tahu dihapus atau tidak, tapi di HP-ku sudah enggak ada filenya," kata Jamal.
Kekerasan kedua dialami Jamal saat tengah meliput pengepungan Kampus Pascasarjana Unidip di Pleburan, Kota Semarang. Saat kerusuhan terjadi dalam aksi May Day di depan Kantor Gubernur dan Gedung DPRD Jateng, ratusan mahasiswa berlari ke dalam Kampus Pascasarjana Undip untuk berlindung.
Sekitar pukul 20:36 WIB, Jamal dan beberapa jurnalis lain yang duduk di trotoar di seberang gerbang Kampus Pascasarjana Undip mendengar kegaduhan. Saat itu aparat diduga menangkap mahasiswa. Melihat keramaian itu, Jamal dan beberapa jurnalis lainnya sontak berdiri.
Puluhan polisi berpakaian preman kemudian menghampiri Jamal dan beberapa jurnalis lainnya karena dituding melakukan perekaman video. Jamal dan beberapa jurnalis lainnya sempat menjelaskan bahwa tindakan polisi berpakaian preman itu sebagai penghalang-halangan tugas jurnalistik.
Namun puluhan aparat berpakaian preman tersebut semakin beringas dan melontarkan kata-kata umpatan. Bahkan ada di antara polisi berpakaian preman tersebut yang melemparkan helm ke arah para jurnalis.
Wakapolda Jawa Tengah Brigjen Latief Usman yang ternyata turut berada di lokasi dengan mengenakan kaos hitam lengan panjang sempat menghampiri para jurnalis. Latief meminta para jurnalis untuk meninggalkan lokasi.
Latief pun sempat merangkul tubuh Jamal dengan dalih hendak mengamankannya dari polisi yang bertindak beringas.Tak hanya Wakapolda, Jamal dikepung lebih dari lima polisi. Sejurus kemudian dari arah depan, Jamal mendapatkan serangan pukulan dari beberapa polisi berbadan besar dan tegap.
Menurut Jamal, pukulan yang diterimanya sebanyak tiga kali di bagian kepala. "Iya, saya mendapatkan tiga kali pukulan termasuk ditampar," kata Jamal.
Melihat Jamal dipukul, para jurnalis lainnya berusaha melawan, tapi diusir oleh Wakapolda Jawa Tengah. Selain Jamal, seorang pimpinan redaksi pers mahasiswa berinisial DS juga mengalami pemukulan oleh aparat berpakaian sipil. Hal itu mengakibatkan luka robek di wajahnya hingga harus mendapatkan jahitan.
DS dipukul saat merekam kekerasan terhadap massa dengan ponselnya. Pada momen itu DS telah menyampaikan bahwa dia adalah pers mahasiswa.
Ketua AJI Kota Semarang, Aris Mulyawan, mengatakan peristiwa yang dialami Jamal dan beberapa jurnalis lainnya serta DS adalah bentuk pelanggaran serius terhadap kemerdekaan pers dan mencoreng wajah demokrasi. "Tugas jurnalistik dilindungi undang-undang (UU). Aparat yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis adalah pelanggar hukum. Kami mengecam tindakan represif ini dan mendesak agar pelakunya diusut tuntas," ujar Aris
"Kekerasan terhadap jurnalis bukan insiden biasa, ini ancaman terhadap hak publik," tambah Aris.
Dia menjelaskan, sanksi terhadap mereka yang menghalang-halangi tugas jurnalis telah diatur di dalam UU Pers. Misalnya dalam Pasal 18 ayat (1) UU Pers disebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja
melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi
pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)".
“Tindakan aparat terhadap Jamal dan DS berpotensi melanggar pasal-pasal tersebut dan mengarah pada tindak pidana penghalangan kerja pers,” kata Aris.