REJOGJA.CO.ID, HALMAHERA UTARA -- Kasus bunuh diri dalam tiga tahun terakhir di Kabupaten Halmahera Utara (Halut), Maluku Utara, cukup tinggi. Terutama di Desa Gorua Selatan, Kecamatan Tobelo Utara, Halut, Maluku Utara.
Kepala Desa Gorua Selatan, Mirwan Idris mengatakan, setidaknya sudah ada enam kasus bunuh diri yang terjadi sejak 2022 hingga 2023 ini. Rata-rata, kasus bunuh diri ini terjadi pada usia produktif yakni remaja hingga dewasa di bawah 30 tahun.
"Sejak 2020 sampai 2023 sudah ada enam kali bunuh diri, April (2023) lalu terakhir kasus bunuh dirinya. Dari data yang ada memang (kasus di Gorua Selatan) terbanyak di Halut, mungkin juga di Maluku Utara. Rata-rata (kasusnya terjadi pada) pelajar, anak-anak muda," kata Mirwan saat ditemui di Desa Gorua Selatan, Tobelo Utara, Halut, Maluku Utara.
Bahkan, kasus percobaan bunuh diri juga sudah beberapa kali ditemukan di desa tersebut. Menurut Mirwan, remaja yang sudah melakukan bunuh diri maupun percobaan bunuh diri karena dalam pengaruh alkohol dan merupakan pecandu lem.
"Setelah saya identifikasi, rata-rata masalah yang pelajar itu konsumsi lem. Mungkin dorongan lem itu ya atau alkohol itu (yang mendorong melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri)," ujarnya.
Selain itu, ada pula beberapa pelaku bunuh diri yang sudah berkeluarga. Menurut Mirwan, mereka yang sudah berkeluarga dan melakukan bunuh diri maupun percobaan bunuh diri ini dikarenakan adanya masalah keluarga.
"Beberapa kasus itu mereka yang sudah menikah karena ada masalah rumah tangga. Kalau yang pelajar mungkin dorongan setelah mengkonsumsi (alkohol dan pecandu lem) itu. Saya heran juga sebenarnya, tidak ada masalah terlalu besar, tapi sampai senekat itu mengambil keputusan mengakhiri hidup," ungkapnya.
Ia menuturkan, dari enam kasus bunuh diri yang sudah terjadi di Gorua Selatan, seluruhnya melakukan bunuh diri dengan gantung diri. Beberapa kasus percobaan bunuh diri juga sempat dihentikan oleh warga yang mengetahui.
"Sudah tiga kali masuk laporan ke saya (yang percobaan bunuh diri), pelakunya ada tali yang sudah di leher dan ketahuan, akhirnya dipotong talinya. Yang enam orang sudah meninggal, ada yang gantung diri di rumah lima orang, satu pelaku bunuh diri (lainnya) itu (gantung diri) di depan rumah, di pohon menggunakan tali," jelas dia.
Melihat cukup tingginya kasus bunuh diri di Gorua Selatan, mahasiswa Kuliah kerja Nyata (KKN) kolaborasi di desa tersebut membentuk relawan. KKN kolaborasi ini dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama dengan pemerintah setempat, dan beberapa perguruan tinggi di Maluku Utara yakni Universitas Khairun (Unkhair) dan Universitas Halmahera (Uniera).
KKN digelar di tiga desa di Halut, yakni di Desa Ngidiho, Desa Pitu, dan Desa Gorua Selatan. Menurut Mirwan, dengan dibentuknya relawan oleh mahasiswa KKN ini diharapkan dapat mencegah terjadinya kasus bunuh diri kedepannya, khususnya di Desa Gorua Selatan.
"Setelah mereka mensosialisasikan gangguan mental itu, masyarakat saya bisa berubah karena memang mereka sudah dikasih materi, dikasih edukasi. Kemudian nanti mereka mau bentuk semacam relawan untuk pencegahan. Kalau ada masyarakat saya yang punya gangguan mental, para relawan ini bisa buat pendampingan," kata dia.
Salah satu mahasiswa KKN dari UGM, Nimas Lara Dhuta mengatakan, pihaknya justru menemukan tiap bulan ada warga yang melakukan percobaan bunuh diri di Gorua Selatan dari observasi lapangan yang dilakukan. Kebanyakan, katanya, kasus bunuh diri ini terjadi pada remaja.
"Kebanyakan dari mereka stress management-nya kurang baik. Jadi kalau menghadapi masalah itu larinya langsung ke yang sangat ekstrem, bunuh diri, dan banyak dari mereka itu mengkonsumsi alkohol dan juga ada yang ngelem. Jadi memang kalau di bawah pengaruh alkohol dan lem itu, biasanya keinginan untuk bunuh diri juga jauh lebih tinggi," ujar Nimas yang merupakan mahasiswa jurusan psikologi tersebut.
Sementara itu, layanan kesehatan mental di daerah tersebut juga sangat terbatas. Bahkan, di Desa Gorua Selatan tidak memiliki layanan kesehatan mental, yang mana hal ini juga menjadi tantangan terbesar mengingat sulitnya mencari pertolongan dari profesional atau psikolog.
Hal ini membuat pihaknya membentuk relawan guna mencegah dan memberikan pertolongan juga muncul tanda-tanda adanya masyarakat yang akan melakukan percobaan bunuh diri.
"Bahkan di rumah sakit juga tidak ada (layanan kesehatan mental), itu tantangan terbesar. Kami kesulitan mencari pertolongan profesional itu bagaimana caranya, makanya kami berpikir kalau ada jaringan protektif pertama. Paling tidak mereka sudah ada yang menolong di tingkat dasar sebelum akhirnya mencari bantuan ke puskesmas atau ke psikolog," ungkap Nimas.
Mahasiswa psikologi lainnya, Afina Suryaningratri mengatakan, relawan yang dibentuk merupakan pemuda yang ada di Gorua Selatan. Pemuda-pemuda tersebut diberikan pemahaman dan pelatihan untuk dapat memberikan pertolongan pertama dan melakukan mitigasi agar kasus bunuh diri dapat dicegah.
Afina juga mengatakan dibentuknya relawan ini mengingat tidak adanya layanan kesehatan mental di Gorua Selatan. Untuk itu, pihaknya menilai perlu adanya relawan yang didekatkan dengan masyarakat untuk melakukan pencegahan dan pertolongan pertama.
"Jadi mengapa banyak yang melakukan percobaan bunuh diri bahkan berhasil, karena belum ada yang menolong untuk melakukan pencegahan," kata Afina.
"Kami mengajak pemuda pemudi untuk jadi relawan yang sebelumnya kita membekali relawan-relawan tersebut, terkait bagaimana cara menolong orang. Baik secara mandiri maupun konseling dengan harapannya apabila ditemukan warga yang ingin atau mulai muncul tanda-tanda itu, relawan-relawan ini yang akan membantu pertolongan memberikan pertama, dan membantu mencari pertolongan lanjutan seperti ke puskesmas atau ke rumah sakit," ujarnya.