REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Harga komoditas beras telah memasuki keseimbangan baru karena meningkatnya biaya produksi gabah yang diikuti kebijakan pemerintah menaikkan harga acuan baik di petani maupun di tingkat konsumen. Di satu sisi, masyarakat juga bakal memasuki bulan Ramadhan di mana harga pangan kerap mengalami kenaikan.
Di tengah tantangan dari sektor pangan, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia, Firman Mochtar mengatakan, otoritas moneter tetap memproyeksi laju inflasi tahunan keseluruhan 2023 masih tetap terkendali pada kisaran dua persen hingga empat persen.
Proyeksi itu juga telah memperhitungkan faktor kenaikan harga pangan pada bulan Ramadhan. "Proyeksi (inflasi) ke depan dua, empat persen. Tentunya respons yang kami tempuh sifatnya antisipatif lebih forward looking termasuk bagaimana kita melihat dampak beras," kata dalam sebuah diskusi di Yogyakarta.
Laju inflasi bersumber dari tiga komponen. Yakni inflasi inti, inflasi administered price atau harga ditetapkan pemerintah, serta inflasi volatile foods atau harga pangan bergejolak. Adapun harga beras, masuk dalam inflasi volatile foods.
"Kami perhatikan ini, proyeksi tadi sudah kami pertimbangkan bagaimana perilaku, termasuk dampaknya terhadap inflasi. Jadi sudah tentu kita akomodir," kata dia.
Sejauh ini, Bank Indonesia masih menahan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen sejak Februari 2023. Tingkat bunga acuan itu diyakini masih mampu mendorong pencapaian target inflasi, dua persen hingga persen persen mulai semester kedua tahun ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, hingga Februari 2023 laju inflasi masih cukup tinggi yakni 5,47 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka tersebut naik dari inflasi tahunan Januari 2023 sebesar 5,28 persen yoy. Tingginya inflasi saat ini masih disebabkan oleh harga pangan di dalam negeri yang cukup tinggi.
Pemerintah resmi menaikkan harga eceran tertinggi (HET) beras di level konsumen maupun harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras di tingkat produsen. Badan Pangan Nasional (NFA) menjelaskan, kenaikan harga itu telah mempertimbangkan masukan dari organisasi petani, penggilingan, hingga kementerian lembaga terkait perberasan.
Kepala NFA Arief Prasetyo Adi menjelaskan, tujuan utama ditetapkannya acuan harga beras di konsumen dan produsen demi menjaga keseimbangan harga baik di tingkat hulu maupun hilir. Ia menegaskan, hal itu sesuai instruksi Presiden Joko Widodo agar menjaga stabilitas dan keseimbangan harga gabah dan beras baik di tingkat petani, penggilingan, pedagang, serta masyarakat.
Penetapan HET Beras kembali dilakukan berdasarkan zonasi. Zona I meliputi Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi. Kemudian, Zona II meliputi Sumatra selain Lampung dan Sumatra Selatan, NTT, dan Kalimantan. Adapun Zona III meliputi Maluku dan Papua.
HET beras medium di Zona I naik dari Rp 9.450 per kg menjadi Rp 10.900 per kg, Zona II naik dari Rp 9.950 per kg menjadi Rp 10.900 per kg dan di Zona III naik dari Rp 10.250 per kg menjadi Rp 11.800 per kg.
Sementara itu, untuk HET beras premium Zona II naik dari Rp 12.800 per kg menjadi Rp 13.900 per kg, kemudian di Zona II dinaikkan dari Rp 13.300 per kg menjadi Rp 14.400 per kg dan di Zona II naik dari 13.600 per kg menjadi Rp 14.800 per kg.
Adapun HPP untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 5.000 per kg, GKP di penggilingan Rp 5.100 per kg. Kemudian gabah kering giling (GKG) di penggilingan sebesar Rp 6.200 per kg, GKG di gudang Bulog Rp 6.300 per kg, dan beras di gudang Bulog Rp 9.950 per kg.
Acuan HPP itu naik dari sebelumnya resmi yang diatur, yaitu GKP tingkat petani Rp 4.200 per kg, GKP tingkat penggilingan Rp 4.250 per kg, GKG tingkat penggilingan Rp 5.250 per kg, dan beras medium di gudang Bulog Rp 8.300 per kg.