
REJOGJA.CO.ID, Oleh: Firdaus*
Keteladanan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail dalam ketaatan, pengorbanan, dan kesabaran bukanlah sesuatu yang instan, melainkan hasil proses pendidikan tauhid yang panjang dan mendalam dalam keluarga. Keluarga menjadi pilar pertama dan utama dalam pendidikan yang kini makin terlupakan perannya. Pendidikan kini seolah-olah hanya diserahkan pada guru, ustaz, dan lembaga pendidikan seperti sekolah dan pesantren.
Nabi Ibrahim menunjukkan integritas tinggi sebagai kepala keluarga. Beliau memiliki konsistensi dalam dakwah tauhid dan sikap jujur yang menginspirasi kepercayaan penuh dari istri dan anaknya. Integritas kepala keluarga menjadi fondasi utama dalam membangun keteladanan di rumah tangga. Kepala keluarga selayaknya menjadi nahkoda yang menggerakkan, mengarahkan dan menjaga arah pendidikan dalam keluarga.
Pilar utama dalam keluarga Ibrahim adalah nilai tauhid, bukan materi atau hedonisme. Hal ini terlihat dari keyakinan Siti Hajar ketika ditinggalkan di padang tandus bersama bayinya, Ismail. Saat tahu bahwa perpisahan itu atas perintah Allah, ia menerima dengan sabar dan yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka. Inilah bukti kekuatan iman dan komunikasi spiritual yang sehat dalam keluarga.
Puncak ujian adalah saat Nabi Ibrahim diperintah untuk menyembelih putranya. Ismail, meski masih sangat muda, menjawab dengan tenang dan penuh kepasrahan.
“Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu? Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.” (QS As-Saffat: 102).
Jawaban ini mencerminkan hasil tarbiyah tauhid yang ditanamkan orang tuanya. Anak tidak akan memiliki kesabaran dan ketaatan seperti itu tanpa proses pendidikan iman dan komunikasi yang baik sejak dini.
Gaya komunikasi Nabi Ibrahim juga menjadi pelajaran penting. Ia berdialog dengan Ismail, bukan memaksa. Keteladanan dan kehangatan dalam berkomunikasi menjadikan anak merasa dihargai. Meskipun secara fisik jarang bersama, Ibrahim berhasil membentuk Ismail melalui didikan dan keteladanan Siti Hajar, istrinya. Maka mendidik istri adalah langkah awal membentuk anak yang kuat imannya.
Realitas hari ini menunjukkan banyak anak kehilangan sosok ayah karena ayah yang tidak hadir secara emosional sehingga tidak ada transfer nilai yang utuh. Padahal kedekatan dan keteladanan ayah sangat dibutuhkan untuk menciptakan generasi yang kuat dan shalih.
Istri-istri Nabi Ibrahim juga memberi teladan yang mulia. Siti Sarah menunjukkan keimanan tinggi dengan kesetiaan dan kesabaran. Siti Hajar membuktikan peran ibu yang kuat dalam mendidik Ismail dan menjadikan suami sebagai sosok yang dihormati oleh anaknya. Ia tidak larut dalam perasaan, tapi fokus pada mendidik anak dengan tauhid dan keteladanan.
Nabi Ibrahim senantiasa membingkai perjuangan hidupnya dengan doa. Banyak doa beliau diabadikan dalam Alquran, salah satunya tentang permohonan anak shalih. Doa menjadi kekuatan spiritual dalam menghadapi segala ujian, dan bukti ketergantungan penuh kepada Allah.
Akhirnya, Idul Adha mengingatkan pentingnya pendidikan tauhid dan akhlaq dalam keluarga. Kita semua perlu kembali memberi perhatian yang utama pada proses pendidikan dalam keluarga. Suami menjaga integritas penuh ikhlas, istri menjadi pendamping setia yang penuh sabar. Orang tua menjadi guru teladan bagi anak. Anak-anak menjadi generasi qurrata a’yun yang membanggakan. Dengan itulah, keluarga bisa menjadi sumber kemuliaan dunia dan akhirat.
*firdaus@uii.ac.id