REJOGJA.CO.ID, SLEMAN - Pengukuhan Prof Masduki dan Prof Tamyiz Mukharrom sebagai Guru Besar dilaksanakan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia yang dipimpin Rektor UII, Prof Fathul Wahid di Auditorium Abdul Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Yogyakarta, Selasa (25/6/2024).
Dalam Sidang Terbuka Senat terdapat pidato pengukuhan berjudul ‘Kebebasan Akademik dan Resiliensi Otoritarianisme di Indonesia' yang disampaikan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Media dan Jurnalisme Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) Prof Masduki dan pidato pengukuhan berjudul ‘Pembaruan Ushul Fiqh sebagai Respons terhadap Beragam Problem Kontemporer' yang disampaikan oleh Guru Besar Bidang Ilmu Ushul Fikih Fakultas Ilmu Agama Islam Prof Tamyiz Mukharrom.
Prof Masduki mengungkapkan era saat ini seharusnya civitas academica lebih lantang dan berani dalam menyuarakan kritik atas karut marut kehidupan sosial yang terjadi di Indonesia. Namun, mayoritas akademisi di Indonesia disibukkan dengan tumpukan tugas administratif. Literatur akademik dan publikasi opini populer dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa resiliensi otoritarianisme kampus telah terjadi dalam pola yang berbeda dengan masa represi Orde Baru. Resiliensi ini terlihat dalam tiga aspek yakni perubahan status Perguruan Tinggi Negeri dari Satuan Kerja menjadi Badan Hukum (PTN-BH), birokratisasi kerja akademik, serta penggunaan teknologi digital sebagai alat monitoring kinerja.
”Dosen menjadi sibuk melakukan tugas-tugas domestik sehingga tak sempat bergabung dengan masyarakat ketika terjadi proses politik yang luar biasa di luar kampus,” ujar Masduki.
Selain itu, kebebasan akademik juga melibatkan aspek penting bahwa akademisi berperan sebagai sumber rujukan moral yang menentukan arah tujuan masyarakat kita, imbuhnya.
Masduki membagi tiga makna kebebasan akademik. Pertama, kebebasan saintifik, di mana dosen memiliki kebebasan untuk mengajar, meneliti, dan menerbitkan hasilnya secara administratif. Dalam arti lain, dosen berperan sebagai birokrat karena mengerjakan tugas dan melaporkannya.
Kedua, kebebasan akademik dengan perspektif utilitarian, di mana para dosen harus bebas mengajar dan meneliti, tetapi dalam kerangka menciptakan lulusan yang siap kerja dan memiliki kemampuan ekonomis. Pendekatan kebebasan akademik yang ketiga adalah perspektif kepublikan atau demokratik, di mana tugas akademis sebenarnya adalah sumber nilai-nilai sosial, ekonomi, dan politik. Perguruan tinggi berperan sebagai sumber rujukan moral dalam gerakan yang berlangsung di negara atau level yang lebih luas.
"Yang menjadi problem di sini adalah pemaknaan atas kebebasan akademik terutama di Indonesia itu berhenti di Kategori 1 dan 2 jadi yang saintifik dan utilitarian," ujar Masduki.
Sementara itu, Prof Tamyiz Mukharrom menjelaskan bahwa ushul fiqh adalah ilmu dalam menghasilkan hukum Islam yang responsif dan adaptif terhadap permasalahan kontemporer, berisi kumpulan metode, dasar, pendekatan, dan teori yang digunakan dalam memahami ajaran Islam. Metode yang digunakan dengan menggunakan metode bayani atau burhani dalam mengeluarkan hukum dari sumbernya. Hal ini menjadikan ushul fiqh menempati posisi sentral dalam studi keislaman, sehingga sering disebut sebagai "the queen of Islamic sciences".
“Penolakan terhadap tajdid ushul fiqh, menurut penulis tidak tepat, karena bagaimanapun juga ilmu pengetahuan selalu berkembang. Ushul fiqh sebagai ilmu yang diciptakan beberapa abad silam membutuhkan perkembangan dan upgrade perangkat-perangkatnya,” ujar Tamyiz.
Setelah pengukuhan, Masduki juga meluncurkan bukunya yang berjudul "Negara, Media, dan Jurnalisme Indonesia Pasca-Orde Baru". Buku ini adalah buku ke-20 yang ditulis oleh Masduki.