Ahad 12 May 2024 15:40 WIB

'Pembelajaran Diferensiasi Bukan Metodologi Melainkan Filosofi Pendidikan'

Rizal menyebut guru yang sosok-sosok pengemban tugas mulia sebagai rasul peradaban.

Red: Fernan Rahadi
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal
Foto: GSM
Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal

REJOGJA.CO.ID, BANYUMAS -- Founder Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, menawarkan sebuah filosofi pendidikan, yakni berupa pembelajaran diferensiasi. Ia meyakini, bahwa setiap anak memiliki potensi dan minatnya masing-masing, sehingga diperlukan pendekatan yang berbeda bagi tiap anak agar bakatnya dapat dikembangkan secara sempurna. Rizal menganalogikan hubungan guru dan murid layaknya koneksi orang tua terhadap anak. 

"Kenapa orang tua bisa menangani anaknya yang berbeda-beda? Kenapa? Karena punya hati dan cinta kasih. Ketika anaknya nakalnya kayak apa pun, diberi kesempatan untuk terus tumbuh dan berkembang karena cintanya kepada anak. Caranya akhirnya beda," kata Rizal dalam seminar nasional merayakan hari Pendidikan Nasional bertajuk 'Optimalisasi Potensi Murid melalui Pembelajaran Diferensiasi menuju Sekolah Menyenangkan', Ahad (11/5/2024).

Penekanan atas diferensiasi pendekatan untuk murid sebagai filosofi pendidikan yang dilakukan Rizal bukanlah tanpa alasan. Ia menyayangkan konsep tersebut yang seringkali disalahartikan dan dianggap sebagai metodologi belaka yang kerap usang dimakan waktu akibat timbulnya kesan memberatkan.

Menjadikan pembelajaran diferensiasi sebagai filosofi, alih-alih metodologi, dapat membuatnya lebih mudah untuk diresapi oleh para guru dan tetap tinggal sebagai ruh pendidikan Indonesia, meskipun program dan sistem dalam bentuk kurikulum terus berganti. 

Menurut Rizal, sudah bukan lagi waktunya perwujudan diferensiasi di dalam pendidikan hanya sebatas formalitas. Akan tetapi dibutuhkan kesungguhan dengan pola pikir bahwa pedagogi pendidikan kita harus dapat mengeluarkan passion dan potensi bawaan lahiriah setiap individu yang berbeda-beda, sekaligus relevan dengan lingkungan sekitar.

"Inilah wujud dari pendidikan berkebudayaan, sehingga pemaknaan dan penerjemahan kurikulum akan fleksibel, disesuaikan dengan kultur setempat.  Filosofi ini harus melekat pada diri guru, birokrat pendidikan, dan pemangku kepentingan pendidikan lainnya," kata Rizal.

Menurut Rizal, pendidikan berkebudayaan akan membuat guru menjadikan alam dan kehidupan nyata sebagai laboratorium belajar dan membangun sinergitas belajar antar dalam dan luar kelas, sehingga pembelajarannya dapat melampaui sekat-sekat mata pelajaran. Jika demikian, maka pendidikan akan membebaskan guru dan murid, menyadarkan mereka dari kondisinya yang tidak ideal, lalu, berani berkreasi untuk menciptakan inovasi, gagasan, dan aksi yang berdampak bagi kebaikan bersama.

"Lantas, akan terbangun spirit ad maiora natus sum, mengutip Santo Aloysius Gonzaga,  di dalam jiwa anak-anak, bahwa kita dilahirkan untuk hal-hal yang lebih besar dari diri kita sendiri," kata Rizal pada acara yang dihadiri sebanyak 1.200 guru, mulai dari jenjang PAUD, SD, hingga SMP tersebut. 

Saat menutup rangkaian pembicaraanya, Rizal mengutip Soekarno yang menyematkan predikat istimewa dan suci kepada seluruh guru, tak terkecuali kepada 1.200 yang hadir pada seminar tersebut. Rizal pun menyebut guru yang sosok-sosok pengemban tugas mulia sebagai rasul peradaban.

 

"Demokrasi bisa saja hancur, kejujuran bisa saja terlupakan atau tiada, tetapi selama masih ada guru, maka peradaban tidak pernah akan hancur karena guru adalah sang rasul peradaban," tutup Rizal.

Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Kabupaten Banyumas, Joko Wiyono, mengutarakan angannya atas dampak positif dari acara seminar nasional tersebut yang nyatanya sejalan dengan harapan GSM.

"Saya ingin guru-guru bisa menjadi sahabat, teman diskusi yang menyenangkan, menceriakan, dan dirindukan oleh anak-anak kita. Sebab, guru adalah garda terdepan bagi kemajuan sebuah bangsa," ungkap Joko.

Joko pun sepakat dengan Rizal bahwa kenyamanan dan rasa aman yang tercipta dalam proses belajar dan mengajar hanya akan terjadi apabila setiap dialog, interaksi, dan refleksi antara guru dan murid didasarkan oleh rasa cinta. Hal itu tak ubahnya analogi hubungan antara orang tua dengan anaknya.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement