Selasa 24 Oct 2023 14:36 WIB

Santri Indonesia Diharapkan Bisa Rekontekstualisasikan Semangat Jihad

UU Pesantren bisa diartikan sebagai pengakuan dari negara atas eksistensi pesantren.

Red: Fernan Rahadi
Santri dan santriwati (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Santri dan santriwati (ilustrasi).

REJOGJA.CO.ID,  JAKARTA — Hari Santri Nasional pada 22 Oktober lalu diharapkan menjadi pengingat bagi semua akan pentingnya peranan pesantren dalam kontribusinya membangun karakter anak Indonesia. Relevansi pesantren ini juga didukung dengan adanya Undang-Undang Pesantren yang disahkan pada 2019 lalu. 

Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) KH Hodri Ariev berharap para santri Indonesia dapat merekontekstualisasi semangat jihad yang diharapkan dapat berkontribusi bagi kemajuan NKRI di masa yang akan datang.

"Sesuai dengan makna jihad itu sendiri, para santri perlu melaksanakannya secara kontekstual dan sesuai dengan konteksnya. Jihad pada masa perang adalah dengan mengangkat senjata. Jihad saat ini adalah dengan memiliki kesungguhan dalam belajar dan meningkatkan kompetensi diri, berkontribusi pada pemberdayaan masyarakat serta memberikan sumbangsihnya bagi pesantren, NU, bangsa, dan negara," kata Kiai Hodri di Jakarta, Selasa (24/10/2023).

Menurut dia, Undang-Undang Pesantren bisa diartikan sebagai pengakuan dari negara atas eksistensi pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia dan telah berdiri dalam waktu yang sangat lama.

"Undang-Undang Pesantren merupakan wujud pengakuan resmi negara terhadap pesantren-pesantren Indonesia. Padahal pada masa lalu, pesantren bukan hanya tidak diakui, melainkan juga dipinggirkan oleh penguasa. Rekognisi atas pesantren ini tentu menjadi salah satu entry point bagi pemerintah untuk mendukung pengembangan dan kemajuan pesantren di Indonesia,” ujar Kiai Hodri.

Kiai Hodri menerangkan, dengan turut serta membantu pesantren, sebenarnya pemerintah juga membantu pendidikan anak-anak bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia khususnya pemerintah, harus melihat santri sebagai elemen generasi bangsa. Kalangan santri yang banyak terdiri atas anak-anak NU sama seperti anak-anak pada umumnya yang memiliki latar belakang organisasi atau keyakinan lainnya.

Menurutnya, rekognisi negara ini juga harus diterjemahkan dalam program yang melibatkan semua kementerian terkait dalam rangka memenuhi kebutuhan pesantren untuk kemajuan bangsa. Tanpa upaya menuangkannya ke dalam bentuk program, Undang-Undang Pesantren hanya akan indah di atas kertas dan dikhawatirkan akan kehilangan relevansinya.

Tantangan zaman yang semakin cepat bergerak dalam era disrupsi informasi seperti sekarang ini, dia melanjutkan, para santri juga perlu dibekali keterampilan teknologi yang dapat mendukung penerapan ilmu agamanya. Para santri diharapkan mampu memilah berbagai informasi di internet dengan jernih dengan melakukan analisis terlebih dahulu sebelum menentukan pendapatnya.

"Pada materi pembelajaran tafsir hadis, ada disiplin ilmu yang bernama musthalahul hadits. Disiplin ilmu ini membuat para santri terlatih untuk memahami segala sumber pemberitaan yang datang, apakah itu berita yang sahih (memiliki dasar yang kuat dan sumber yang tepercaya) atau maudhu (berdasar atau bersumber dari kedustaan)," kata Kiai Hodri.

Dengan bekal ilmu agama yang dimiliki, katanya, seorang santri diharapkan mampu bersikap bijak jika ia menemukan berita yang muatannya diragukan. "Saya tidak khawatir para santri akan terbawa pesan-pesan para teroris. Insya Allah mereka sudah cukup kuat untuk melawan godaan radikalisme maupun terorisme," ujar Hodri.

Ia menguraikan, bentrokan antara Palestina dengan Israel pun tidak lepas dari muatan-muatan yang digagas oleh segelintir kelompok yang ingin menunggangi isu tersebut. Penjajahan Israel atas Palestina yang sebetulnya merupakan isu kemanusiaan, menjadi sarat dengan jargon-jargon agama yang dipaksakan masuk untuk memuluskan hasrat kelompoknya.

"Terkait meningkatnya eskalasi konflik Palestina-Israel, kita perlu mewaspadai adanya penumpang gelap yang biasanya memanfaatkan konflik politik dengan framing agama. Konflik ini sangat kompleks dan rumit sehingga terkadang sulit bagi kalangan awam untuk membedakan apakah ini murni konflik agama atau sebenarnya konflik politik," katanya.

"Kompleksitas masalah ini menempatkan ikhtiar-ikhtiar untuk mencari resolusi konflik pada posisi yang tidak mudah, karena usaha-usaha menjelaskan konflik sebagai konflik politik lebih mudah dicurigai dan dituduh pro-zionis," ujar Kiai Hodri.

Dirinya mengingatkan bahwa demi mencari resolusi konflik ini, bangsa Indonesia harus kembali pada pesan luhur agama, yakni untuk mewujudkan perdamaian. Maka musuh agama dan ancaman yang sebenarnya adalah kezaliman terhadap kemanusiaan.

"Dengan demikian, kita perlu mengurai konflik ini dengan pendekatan kemanusiaan, perdamaian, dan agama sebagai rujukan moral dalam usaha memahami konflik yang ada dan terus berusaha mencari jalan keluar atas masalah yang terjadi," katanya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement