Sabtu 21 Jun 2025 20:09 WIB

BPBD Ungkap 13 Kapanewon di DIY Masuk Zona Rawan Tsunami

Menurut Noviar, risiko ini bukanlah perkiraan tanpa dasar.

Rep: Wulan Intandari/ Red: Fernan Rahadi
Tsunami (ilustrasi)
Foto: [ist]
Tsunami (ilustrasi)

REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA — Ancaman gempa megathrust yang dapat memicu tsunami besar di wilayah pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kian menjadi perhatian serius pemerintah daerah. Berdasarkan pemetaan risiko yang dilakukan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sebanyak 13 kapanewon di DIY masuk dalam zona rawan tsunami apabila gempa megathrust terjadi.

Kepala Pelaksana BPBD DIY, Noviar Rahmad, menyampaikan bahwa wilayah rawan tersebut tersebar di tiga kabupaten yakni Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo. Menyikapi potensi ini, BPBD DIY telah menyiapkan berbagai langkah mitigasi serta edukasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.

"Dari kajian BMKG tahun 2006 lalu, skenario terburuk adalah terjadinya gempa megathrust berkekuatan 8,8 magnitudo. Gempa ini bisa memicu tsunami dengan gelombang setinggi 18 sampai 22 meter. Waktu penyelamatan diri diperkirakan hanya sekitar 38 hingga 42 menit menuju ke zona aman," katanya, Sabtu (21/6/2025).

Noviar menjelaskan wilayah terdampak untuk Kabupaten Kulonprogo meliputi empat kapanewon yakni Temon, Wates, Panjatan dan Galur. Di Kabupaten Bantul, ada tiga kapanewon yang masuk dalam zona merah tsunami, yaitu Srandakan, Sanden dan Kretek. Sementara di Kabupaten Gunungkidul, ada enam kapanewon rawan tsunami, seperti Purwosari, Saptosari, Panggang, Tanjungsari, Tepus dan Girisubo.

Menurut Noviar, risiko ini bukanlah perkiraan tanpa dasar. Ia merujuk pada kajian dari BMKG pada tahun 2006 yang menyusun skenario terburuk jika gempa megathrust berkekuatan 8,8 magnitudo mengguncang wilayah selatan Jawa. 

Zona aman yang ditentukan minimal berjarak 4 kilometer dari garis pantai, baik ke arah daratan maupun ke lokasi-lokasi yang lebih tinggi seperti fasilitas umum di perbukitan.

"Lokasinya berada di kalurahan, masjid, atau musala yang berada di dataran lebih tinggi," ujarnya.

Noviar lalu mengungkap langkah antisipasi telah dilakukan sejak 2019 oleh BPBD DIY bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui program ekspedisi tsunami. Program ini mencakup kegiatan sosialisasi ke masyarakat, pemasangan papan peringatan, pembangunan jalur evakuasi, dan pemetaan titik-titik evakuasi.

"Sirene peringatan tsunami juga sudah dipasang dan terkoneksi dengan sistem deteksi dini di laut. Begitu ada sinyal dari laut, BPBD kabupaten akan menerima notifikasi dan segera membunyikan sirene untuk memperingatkan masyarakat," ungkapnya.

Untuk menampung masyarakat saat terjadi potensi tsunami, Ia menyampaikan bahwa pemerintah telah menyiapkan dua jenis titik evakuasi antara lain Tempat Evakuasi Sementara (TES) dan Tempat Evakuasi Akhir (TEA).

TES biasanya berada di dekat garis pantai dan berupa bangunan bertingkat yang didesain tahan gempa dan tsunami. Sementara TEA merupakan fasilitas umum yang berada di perbukitan atau dataran tinggi dan digunakan sebagai lokasi evakuasi akhir yang lebih aman.

"Dari tempat evakuasi sementara itu, warga bisa lanjut ke tempat evakuasi akhir yang letaknya lebih tinggi," kata dia.

Selain pembangunan fisik dan peringatan dini, BPBD DIY juga fokus pada edukasi kepada masyarakat, terutama mereka yang tinggal di zona merah. Edukasi ini menyangkut pemahaman rute evakuasi, tanda peringatan, serta prosedur penyelamatan diri.

"Warga tidak perlu panik, tetapi harus tahu prosedur. Ketika sirene dibunyikan, mereka tahu harus ke mana. Semua jalur evakuasi sudah dipasang di kelurahan-kelurahan di sepanjang pantai," ujarnya.

Sementara itu, upaya mitigasi di tingkat kabupaten juga terus dilakukan. Di Bantul, BPBD setempat telah menggencarkan program Kelurahan Tangguh Bencana (KTB), terutama di kawasan yang rawan terdampak tsunami.

Staf Pengolah Data dan Informasi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Bantul, Budianta, menyampaikan bahwa lima kelurahan di wilayahnya telah ditetapkan sebagai zona merah.

"Kelurahan yang masuk zona merah yakni Parangtritis, Tirtohargo, Srigading, Gadingsari, dan Poncosari,” kataBudianta.

Selain itu, terdapat juga enam kelurahan lain yang masuk dalam zona kuning, yaitu Donotirto, Tirtosari, Tirtomulyo, Gadingharjo, Murtigading, dan Trimurti. Meskipun tidak setinggi risiko di zona merah, wilayah-wilayah ini tetap memerlukan perhatian dan kewaspadaan tinggi.

Budianta menyebut meski ancaman gempa dan tsunami tidak bisa dihindari, kesiapan masyarakat untuk menghadapi situasi darurat menjadi kunci untuk meminimalisir korban. Oleh karena itu, edukasi dan latihan rutin menjadi strategi utama pemerintah daerah dalam upaya pengurangan risiko bencana.

Pendekatan yang diambil BPBD Bantul adalah memperkuat kapasitas masyarakat melalui pelatihan dan pembentukan komunitas tangguh.

"Kalurahan zona merah sudah menjadi KTB dan bahkan mendapatkan pengakuan internasional. Warga sudah tahu prosedur evakuasi jika terjadi tsunami. Ini bagian dari penguatan kapasitas masyarakat,” katanya.

"Kita tidak perlu takut, tetapi kita harus siap. Kita harus menenangkan masyarakat, tetap beraktivitas, tetapi juga mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu terjadi gempa megathrust ini," ucapnya menambahkan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement