Kamis 17 Apr 2025 20:12 WIB

Jateng Darurat Kebebasan Pers: AJI dan PFI Gelar Demo Kecam Kekerasan Aparat ke Jurnalis

AJI dan PFI Gelar Demo Kecam Peningkatan Kekerasan Aparat terhadap Jurnalis

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Karta Raharja Ucu
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) menggelar unjuk rasa di depan Mapolda Jawa Tengah, Semarang, Kamis (17/4/2025) sore. Dalam aksinya mereka menyuarakan keprihatinan dan kecaman mereka atas meningkatnya aksi kekerasan aparat terhadap pers.
Foto: Kamran Dikarma/ Republika
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) menggelar unjuk rasa di depan Mapolda Jawa Tengah, Semarang, Kamis (17/4/2025) sore. Dalam aksinya mereka menyuarakan keprihatinan dan kecaman mereka atas meningkatnya aksi kekerasan aparat terhadap pers.

Sementara itu jurnalis JPNN, Wisnu Indra Kusuma, mengalami kekerasan ketika tengah meliput eks Pj Gubernur Jateng, Nana Sudjana, di Hotel Patra Jasa Semarang pada 26 September 2024. Kala itu, Wisnu, bersama jurnalis lain hendak melakukan wawancara langsung atau doorstop dengan Nana.

Namun Wisnu tiba-tiba ditarik oleh ajudan Nana Sudjana, Brigadir Polisi Tri Antoro. "Saya jatuh dari tujuh anak tangga di Hotel Patra Jasa waktu itu. Kaki saya ini masih terpasang pen. Setelah itu saya kesakitan, saya teriak-teriak, saya tetap melawan apa yang dilakukan Brigadir Polisi Tri Antoro," kata Wisnu.

Dia kemudian memeriksakan kondisi pen di kakinya ke rumah sakit. "Saya cek rontgen, ternyata ada retakan baru di tulang femur saya," ujar Wisnu.

Kala itu Wisnu menuntut Brigadir Tri untuk menyampaikan permintaan maaf terbuka. Jika tidak, dia akan mengambil langkah hukum. Tuntutan tersebut akhirnya dipenuhi Brigadir Tri. Bertempat di Kantor Gubernur Jateng, Tri menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada Wisnu dan para jurnalis lain pada 17 Oktober 2024.

"Jawa Tengah darurat kebebasan pers. Jawa Tengah darurat keamanan bagi jurnalis. Akhir-akhir ini kasus kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat," ujar Ketua AJI Kota Semarang Aris Mulyawan.

Menurut Aris, tindakan kekerasan tidak hanya dialami jurnalis-jurnalis profesional, tapi juga anggota pers mahasiswa. "Ketika jurnalis diintimidasi, ketika kebebasan berpendapat dibungkam, ketika kebebasan akademik dihabisi, maka ini pertanda demokrasi di negeri ini sudah mati," ucapnya.

Dalam aksi tersebut, AJI melayangkan sejumlah tuntutan. Pertama, mereka mendesak Polri memecat personelnya yang melakukan aksi kekerasan terhadap jurnalis. Kedua, menyerukan  ruang aman bagi jurnalis. Ketiga, aparat harus patuh pada Undang-Undang Pers. Keempat, meminta Kapolri bertanggung jawab kepada anggotanya yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Kelima, mendorong perusahaan-perusahaan media melindungi jurnalis korban kekerasan.

Menurut data AJI Indonesia, terdapat 33 jurnalis atau media yang mengalami kekerasan fisik maupun digital selama Januari-April 2025. Tahun lalu, ada sebanyak 73 kejadian kekerasan menimpa jurnalis.

Pada rentang 2006 hingga 2025, AJI Indonesia mencatat terdapat 1.232 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Menurut Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), polisi menjadi aktor utama kekerasan yang menimpa jurnalis dalam lima tahun terakhir.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement