Menurut Badan Pelestarian Cagar Budaya DIY, dulunya terdapat parit yang mengelilingi Benteng Keraton, di mana berfungsi sebagai pertahanan terhadap serangan musuh. Parit tersebut memiliki lebar hingga 10 meter dengan kedalaman mencapai tiga meter.
Namun, pada tahun 1935, parit tersebut hilang dan kini sudah dijadikan sebagai jalan. Sayangnya, tidak ada yang mengetahui secara pasti kapan bekas parit tersebut dialihfungsikan menjadi sebuah jalan.
Selain itu, ada pula jembatan gantung pada setiap Plengkung yang berfungsi sebagai jalan untuk masuk ke dalam Benteng Keraton dengan melewati parit. Jika musuh datang, maka jembatan akan ditarik ke atas menjadi pintu penutup Plengkung.
Tidak hanya itu, di kawasan Plengkung Gading juga bisa ditemukan menara sirine yang digunakan hanya dua kali saja. Pertama, sirine digunakan pada 17 Agustus untuk mengingat detik-detik proklamasi.
Kedua, sirine tersebut juga digunakan pada saat Ramadhan menjelang berbuka puasa. Hal ini menjadi keunikan tersendiri dari kawasan tersebut.
Kawasan di Plengkung Gading memang memiliki nilai sejarah yang tinggi. Meski begitu, untuk melindungi kawasan tersebut, Pemda DIY memutuskan untuk menutup total setelah dilakukannya uji coba rekayasa lalu lintas sistem satu arah (SSA) sejak 10 Maret 2025.
Penutupan dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi mengatakan, penutupan ini berdasarkan penilaian terhadap situasi Plengkung pasca-penerapan SSA yang menunjukkan perlu adanya upaya konservasi menyeluruh.
Dari hasil penilaian, ditemukan kondisi Plengkung Gading ternyata jauh lebih mengkhawatirkan daripada sebelumnya. Menurutnya, berdasarkan rapat evaluasi SSA pada Jumat (14/3/2025), pembatasan akses di tahap uji coba terhadap Plengkung Gading ternyata tidak cukup efektif untuk memberikan ruang bagi upaya penanganan Plengkung yang komprehensif.
Untuk itu, perlu dilakukan penutupan sebagai bentuk upaya konservasi penyelamatan struktur Plengkung Gading. Selain itu, kondisi ini mulai berpotensi mengancam keselamatan pengendara yang melewati Plengkung Gading.
“Tidak hanya sebagai upaya mitigasi terhadap penyelamatan Plengkung Nirbaya saja, namun juga mitigasi terhadap keselamatan manusia dan kendaraan yang sangat mungkin terdampak dari kerentanan Plengkung Nirbaya tersebut. Sehingga perlu dilakukan antisipasi terhadap potensi kejadian yang tidak diinginkan”, kata Dian.
Dikatakan, penutupan akses yang terkesan mendadak ini dilakukan atas dasar terlihatnya indikasi dampak yang muncul akibat tekanan usia struktur, pembangunan, dan lingkungan. Terlebih, setelah dilakukan pemantauan dan penanganan Benteng Keraton sejak tahun 2015 hingga sekarang, ditemukan akumulasi dampak yang muncul lebih parah daripada yang diperkirakan.
"Dalam menangani Plengkung Nirbaya ini ternyata masih diperlukan kebijakan penanganan komprehensif untuk memitigasi dampak tekanan-tekanan yang membebani bangunan,” ungkap Dian.
Dian menyebut, penutupan Plengkung Gading secara penuh ini merupakan salah satu bentuk komponen yang mendukung proses penanganan penyelamatan secara total. Guna menyelamatkan Plengkung Gading, perlu adanya ruang dan waktu yang lebih maksimal untuk memetakan dan mendokumentasikan semua kerentanan, serta potensi-potensi kerusakan yang terdampak terhadap manusia dan lingkungan.
Selain itu, juga diperlukan ruang bebas hambatan dari pemanfaatan atau bentuk apa pun aktivitas yang berlangsung di dalam bangunan tersebut. Hal ini diperlukan untuk memberikan kepastian dampak yang berpotensi merugikan nilai penting dan fisik bangunan sehingga bisa ditentukan tindakan mitigasinya.
"Untuk keperluan memberikan ruang dan waktu yang maksimal untuk pemetaan terhadap kerentanan beserta potensi-potensi kerusakan lainnya maka disarankan untuk segera mungkin mengambil kebijakan penutupan akses masuk dan keluar dari sisi utara maupun selatan dari bangunan ini," jelasnya.