REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Jatuhnya rezim Bashar Al-Assad di Suriah, negara yang jauh letaknya dari Indonesia, ternyata menimbulkan gema yang dampaknya sampai ke Tanah Air. Pasalnya, proses perebutan kekuasaan melibatkan kelompok-kelompok teror yang mengatasnamakan agama. Ajakan dan seruan untuk berjihad meninggalkan Ibu Pertiwi dan berangkat ke Negeri Syam, mulai bermunculan di media sosial yang dihembuskan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Membahas gejolak di Suriah dan implikasinya terhadap Indonesia, Ketua Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia, Muhamad Syauqillah menyerukan agar publik tidak terpancing dengan ajakan untuk “hijrah” atau jihad ke Suriah.
“Konteks dari jihad itu sendiri kan bermacam-macam. Hal yang diserukan di media sosial itu jihad yang seperti apa? Siapa yang kita perangi disana, lalu apakah dengan memerangi pihak tertentu disana, kemudian bisa kita klaim sebagai kegiatan berjihad? Menurut saya jelas tidak," kata Syauqillah di Jakarta, Selasa (17/12/2024).
Menurut Syauqillah, yang saat ini terjadi di Suriah adalah benturan dari berbagai faksi dengan kepentingannya masing-masing. Karena itu, Syauqillah ingin agar masyarakat Indonesia lebih cerdas dalam menyikapi fenomena maraknya ajakan untuk berjihad di luar negeri. Ajakan-ajakan yang menggunakan banyak jargon agama dan mampu menarik semangat orang awam untuk ikut berangkat, sebenarnya hanya merugikan mereka yang terbujuk dan telah sampai disana.
“Masyarakat Indonesia perlu kritis, karena hal yang sama juga telah terjadi dulu ketika ISIS menyerukan banyak negara untuk bergabung dengan mereka. Banyak dari warga negara Indonesia yang terlanjur pergi kesana, selang beberapa lama kemudian terpaksa kembali karena apa yang dijumpai tidak sesuai dengan janji manis ISIS ketika mereka masih di Tanah Air," ungkap Syauqillah.
Keberangkatan banyak warga negara Indonesia, menurut Syauqillah, hanyalah akan menimbulkan masalah baru. Ujung-ujungnya, mereka yang terlanjur pergi akan meminta Pemerintah Indonesia untuk dipulangkan kembali ke Tanah Air. Kejadian seperti ini yang sudah pernah terjadi justru menunjukkan betapa besar perhatian Pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya sendiri.
Konflik di Suriah sendiri sebenarnya adalah hasil dari perpecahan berbagai faksi yang sangat beragam, dan beberapa diantaranya sama-sama menggunakan narasi keagamaan untuk menggaet simpati, baik dari dalam maupun luar negeri.
"Hal semacam ini harus dilihat dalam kacamata yang hampir sama dengan apa yang terjadi di sekitar tahun 2012, ketika kelompok-kelompok seperti ISIS mengundang orang-orang dari negara lain, termasuk Indonesia. Pada saat itu, di Indonesia begitu banyak propaganda yang memanggil warga negara Indonesia agar terlibat secara langsung," kata jebolan S-3 Universitas Marmara Turki ini.
Ia pun mengatakan, butuh kecerdasan dari publik di Indonesia, bahwa dinamika konflik internal yang melibatkan berbagai macam kepentingan yang ada di Suriah. Jangan sampai kemudian yang orang yang ada disini, lalu melihat itu sebagai sebuah tantangan atau bahkan peluang untuk pergi kesana. Jika apa yang terjadi di masa lalu telah cukup sebagai pelajaran bersama, banyak anak-anak kecil yang akhirnya terlantar di negara konflik karena orang tuanya memilih ikut berjuang bersama kelompok seperti ISIS dan termasuk dengan HTS.
Syauqillah berharap agar masyarakat Indonesia tidak mudah terpancing dengan narasi khilafah dan propagandanya di media sosial, khususnya yang menyerukan untuk berangkat ke tempat-tempat konflik. Pada akhirnya, ini bukan soal yang baik melawan yang jahat, namun beradunya kepentingan berbagai faksi yang ingin menguasai Suriah dengan mobilisasi simbol-simbol keagamaan.
"Hal yang perlu dicermati dari konflik di dalam negeri Suriah sendiri itu melibatkan berbagai macam kepentingan dengan narasinya masing-masing. Sebagai warga negara Indonesia, sebaiknya kita tidak terlibat dalam dinamika internal konflik di negara lain, walaupun pihak-pihak yang berkonflik di Suriah ingin melibatkan warga negara lain seperti ISIS di masa lalu," ujar Syauqillah.