Oleh : Fajar Suryawan, PhD (Dosen Teknik Elektro UMS)
REJOGJA.CO.ID, Artificial Intelligence (AI) sudah menjadi bagian utuh dunia pendidikan, mengubah dan menguatkan cara kita belajar, mengajar, dan berinteraksi dengan ilmu. Satu subset yang sangat mengubah adalah generative AI, yakni AI yang dapat membuat konten dari teks, gambar, percakapan, bahkan video dan simulasi sesuai dengan arahan pengguna. Amat perlu bagi kita untuk memahami potensi dan keterbatasannya, dengan semakin dapat diaksesnya AI di ruang kelas.
AI adalah teknologi yang mampu menjalankan tugas yang umumnya memerlukan kecerdasan manusia, seperti pemecahan masalah, pengolahan bahasa, dan pengenalan pola. Generative AI, sebuah bentuk lebih khusus AI, bergerak selangkah lebih maju dengan kemampuan membangkitkan konten baru. Sebagai contoh, ChatGPT dari OpenAI dapat menanggapi pertanyaan, menjelaskan konsep, dan bahkan menulis draf esai. Dengan memanfaatkan dataset yang masif dan algoritma yang canggih, model Generative AI dapat memproduksi teks orisinil, karya seni, musik, dan banyak lagi, meniru sebuah tingkatan kreativitas manusia.
Generative AI ("Gen-AI") membuka pintu dunia baru dalam pendidikan. Salah satunya, Gen-AI membuat pembelajaran lebih personal: AI dapat mengadaptasi materi pembelajaran agar pas dengan kecepatan belajar dan tingkatan setiap siswa. Sebuah model Gen-AI dapat menyederhanakan penjelasan ilmiah yang kompleks atau menyediakan contoh-contoh yang cocok dengan latar belakang siswa. Bahkan, sistem tutor AI menawarkan umpan balik seketika untuk hasil kerja siswa, yang diharapkan akan membimbing mereka ke arah pemahaman yang lebih baik.
Gen-AI juga dapat menjadi aset bagi guru, dengan membantu automasi kerja-kerja rutin seperti koreksi tugas atau membuat materi pembelajaran. Guru akan menghemat waktu dengan meminta bantuan AI untuk membangkitkan materi ajar sesuai kurikulum. Dengan demikian akan tersedia lebih banyak waktu untuk pengajaran yang mendalam dan interaktif.
Meski menjanjikan, penggunaan Gen-AI juga menimbulkan kegelisahan tertentu. Salah satunya adalah risiko ketergantungan. Jika siswa terlalu mengandalkan AI, mereka bisa kadi tidak akan sepenuhnya terlibat dengan materi pembelajaran, yang berpotensi untuk menggerogoti kemampuan berpikir kritis dan keterampilan memecahkan masalah. Terlebih lagi, model Gen-AI sangat bisa salah dan mengandung bias. Karena model-model ini belajar dari data yang tersedia, mereka seringkali membuat informasi yang kadaluwarsa, bias, atau tidak akurat, yang dapat menyesatkan siswa atau melestarikan stereotip yang berbahaya.
Kegelisahan yang lain adalah masalah privasi. Sistem Gen-AI seringkali memerlukan akses ke informasi pribadi, dan data siswa dapat disalahgunakan jika tidak ditangani dengan semestinya.
Pada akhirnya, efektivitas AI dalam pendidikan sangat bergantung pada niat dan motivasi siswa. Mereka yang benar-benar tertarik untuk belajar dapat memanfaatkan AI sebagai alat yang kuat untuk memperdalam pemahaman dan mengeksplorasi subjek dengan lebih intensif. Seorang siswa yang termotivasi mungkin akan menggunakan AI untuk memperjelas topik yang sulit atau membuat alat bantu belajar.
Namun, siswa dengan tujuan yang berbeda -- sekadar ingin lulus -- mungkin akan menyalahgunakan AI untuk menyelesaikan tugas tanpa benar-benar belajar. Risiko “kecurangan dengan AI” ini adalah masalah serius, karena dapat memungkinkan siswa tampak kompeten tanpa memiliki pengetahuan dasar yang diperlukan, sehingga membuat nilai pencapaian pendidikan menjadi tidak bermakna.
Untuk memanfaatkan manfaat AI sambil menghadapi tantangannya, para pendidik harus mengambil peran proaktif. Pertama, menumbuhkan pemahaman siswa tentang cara kerja AI dan membantu mereka mengapresiasi kelebihan sekaligus keterbatasannya. Untuk membentuk cara pandang siswa terhadap teknologi, pendidik perlu mengintegrasikan pembelajaran tentang penggunaan AI yang bertanggung jawab.
Pendidik juga dapat merancang tugas dan evaluasi yang menuntut pemikiran kritis, sehingga siswa sulit untuk hanya mengandalkan jawaban dari AI. Dengan menekankan pembelajaran berbasis proyek dan tugas-tugas terbuka, maka guru dapat mendorong siswa untuk terlibat secara lebih bermakna dengan materi pelajaran.
Lebih jauh lagi, pendidik dapat bekerja bersama AI (alih-alih melawannya). Dengan menggunakan AI untuk menangani tugas-tugas berulang, guru dapat lebih fokus memberikan bimbingan, menumbuhkan motivasi, dan menciptakan lingkungan belajar yang lebih dinamis dan interaktif.
Gen-AI dalam dunia pendidikan membawa potensi besar sekaligus tanggung jawab yang besar. Meskipun AI memiliki potensi untuk meningkatkan pengalaman belajar dan efisiensi pendidikan, dampaknya pada akhirnya akan bergantung pada cara penggunaannya oleh siswa dan pendidik. Siswa yang memandang AI sebagai alat pembelajaran akan menemukan manfaat yang sangat berharga, sementara mereka yang melihatnya hanya sebagai jalan pintas mungkin akan kehilangan keterampilan penting. Dengan menumbuhkan motivasi dan pemahaman di antara siswa, serta membimbing penggunaan AI yang bertanggung jawab, para pendidik dapat membantu memastikan bahwa AI menjadi teman dalam perjalanan belajar, bukan penghalang.