REJOGJA.CO.ID, Oleh: Dr Nur Wijayaning R. (Dosen Jurusan Informatika FTI UII)
Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) kian marak dimanfaatkan di berbagai bidang, termasuk di kalangan mahasiswa perguruan tinggi. Ada yang memuji manfaatnya, tetapi tak sedikit pula yang was-was akan risikonya. Lantas, seperti apa kondisi sebenarnya di dalam ruang kuliah?
Sebuah penelitian awal di sebuah kelas berisi mahasiswa tingkat 3 dan 4 memberikan gambaran yang menarik. Dalam tugas ini, mereka diminta menyusun esai 1–2 halaman A4 dengan gaya bahasa semi-formal serta mencantumkan minimal dua sumber referensi.
Dosen menyediakan berbagai judul, lalu mahasiswa bebas memilih sesuai minat sehingga setiap esai memiliki topik yang berbeda. Uniknya, dosen juga meminta setiap mahasiswa terbuka tentang penggunaan AI dalam proses penulisan esai tersebut.
Hasilnya, dari 16 mahasiswa yang mengumpulkan tugas, 75 persen mengaku menggunakan AI. Ada dua platform utama yang mereka gunakan, yakni ChatGPT dan Perplexity, dengan porsi seimbang. Bahkan, dua mahasiswa menggabungkan keduanya dalam satu tugas tersebut. Sisanya, dua mahasiswa menyatakan sama sekali tidak menggunakan AI, dan dua lainnya tidak memberi keterangan apa pun.
Mayoritas mahasiswa mengaku memanfaatkan AI untuk mencari referensi. Salah satu contohnya adalah dengan mengetik perintah (prompt) seperti, “Cari jurnal tentang penerapan sistem...” Dengan demikian, mahasiswa menggunakan AI sebagai asisten yang merespons pertanyaan dalam bentuk percakapan, bukan sekadar mesin pencari berbasis kata kunci.
Sebanyak lima mahasiswa lainnya memanfaatkan AI untuk memperbaiki tata bahasa. Mereka, misalnya, menanyakan sinonim kata yang lebih mudah dipahami atau bertanya, “Apakah penulisan saya di atas sudah semi-formal? Jika belum, tolong benarkan supaya menjadi semi-formal”.
Sementara itu, tiga mahasiswa menggunakannya untuk eksplorasi ide dengan memberikan perintah seperti, “Berikan penjelasan secara lengkap mengenai tema tersebut” atau “Seperti apa contoh studi kasus yang dimaksud?”
Hanya dua mahasiswa yang mengaku meminta AI untuk memberikan inspirasi penulisan, menyusun struktur esai, hingga contoh kalimat kesimpulan. Sebagai catatan, keterbukaan mahasiswa tentang penggunaan AI bergantung pada kejujuran masing-masing mahasiswa.
Dari temuan ini, jelas terlihat bahwa kebanyakan mahasiswa menempatkan AI sebagai “alat bantu” dalam mencari sumber informasi yang relevan, bukan sebagai alat otomasi penulisan esai. Pencarian referensi yang didukung dengan penyempurnaan bahasa memperlihatkan kesadaran mahasiswa untuk membuat tulisan akademik secara serius.
Lantas, bagaimana seharusnya dosen menyikapi tren pemanfaatan AI ini? Melarang penggunaan AI dapat menambah beban mahasiswa, tetapi membiarkan mahasiswa tanpa panduan dikhawatirkan dapat mengancam integritas akademik.
Bagaimanapun, AI kian berkembang pesat, sehingga institusi pendidikan perlu terus beradaptasi. Dosen perlu terus mendampingi mahasiswa, memberikan contoh etika penggunaan AI, dan menanamkan nilai integritas akademik. Dengan demikian, mahasiswa dapat memanfaatkan AI secara bertanggung jawab, yaitu untuk menggali informasi dan menajamkan pemahaman, bukan sekadar mencari cara instan menyelesaikan tugas.