REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA — Kejahatan jalanan masih menjadi pekerjaan rumah di DIY. Terlebih, kejahatan jalanan ini masih didominasi oleh remaja yang masih usia sekolah atau duduk di bangku sekolah.
“Kalau klitih (kejahatan jalanan) ini siapa yang sebenarnya banyak sebagai pelaku dan korban? Banyaknya remaja, meski kadang bervariasi. Tapi kebanyakan remaja karena mereka ada gesekan-gesekan antar remaja,” kata Psikolog Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Ratna Yunita Septiyani kepada Republika, Rabu (31/7/2024).
Yunita mengatakan, kejahatan jalanan yang biasanya terjadi melibatkan peer group atau mereka dengan usia yang sama. Bahkan, menurutnya siklus kejahatan jalanan ini tidak berbeda dengan bullying.
Sebab, dari sejumlah kejahatan jalanan yang diungkap terjadi karena ada yang mengkoordinir. Artinya, kata Yunita, ada kepala geng atau ketua kelompok yang mengarahkan anggotanya untuk melakukan kejahatan jalanan tersebut.
“Kepala geng ini siklusnya itu hampir sama dengan siklus bullying, karena powernya lebih dari yang lain. Kalau anggotanya enggak ngikutin (aturan kepala geng), tidak akan diterima di kelompok itu,” ucap Yunita.
“Kemudian juga (kepala geng memiliki) fisik yang besar, yang dia mungkin bisa jadi lebih besar dari yang lain. Jadi dia bisa nge-push teman-temannya,” jelasnya.
Selain itu, kepala geng tersebut juga memiliki jejaring yang besar, bahkan bisa bekerja sama dengan geng lain untuk melakukan kejahatan jalanan. Yunita mencontohkan seperti terjadinya kasus-kasus kejahatan jalanan dengan pola yang sama, padahal terjadi di lokasi yang berbeda.
“Misalnya kasus di Ringroad Selatan dan Ringroad Barat kasusnya sama, waktu beroperasi dan caranya sama, bahkan model senjatanya juga sama. Meski penguasanya gengnya berbeda, tapi polanya sama, dan mereka punya pangsa pasarnya (sasarannya) sendiri,” katanya.
Yunita juga menjelaskan, remaja yang terlibat dalam kejahatan jalanan ini juga sebagian besarnya merupakan mereka yang bermasalah. Bermasalah dalam artian bisa masalah di rumah tangga, di sekolah, atau bahkan bermasalah di lingkungannya.
“Sehingga mereka tidak punya tempat disitu, dan tidak bisa menunjukkan jati diri siapa dia. Kalau merasa tidak diterima disitu, mereka cari tempat lain yang dirasa aman dan nyaman. Meski mereka tahu konsep benar dan salah, tapi tempat ini yang dirasa mau menerima bagi mereka yang notabene masih mencari jati diri tadi,” ucap Yunita.