REJOGJA.CO.ID, BOGOR -- Masifnya penggunaan internet di Indonesia harus diakui membawa berbagai risiko seperti penipuan online, hoaks, cyberbullying, dan sebagainya. Survei nasional Literasi Digital yang dilakukan pada tahun lalu menemukan bahwa saat ini indeks literasi digital masyarakat Indonesia masih berada pada angka 3,49 dari skala 5 yang artinya masih di kategori sedang, belum mencapai kategori baik.
"Maka peningkatan penggunaan teknologi perlu diimbangi dengan kapasitas literasi digital yang mumpuni agar masyarakat dapat memanfaatkan teknologi digital dengan produktif, bijak, dan tepat guna," kata Dirjen Aptika Kemkominfo RI, Samuel Abrijani Pangerapan, dalam kegiatan Literasi Digital yang mengusung tema 'Cerdas dan Bijak Dalam Bermedia Sosial' di Hotel Onih, Bogor pada 27 Agustus 2023 lalu.
Samuel juga mengatakan bahwa angka ini perlu terus ditingkatkan dan menjadi tugas bersama untuk membekali masyarakat dengan kemampuan literasi digital agar selalu siap dalam mengawal percepatan transformasi digital nasional. "Hingga tahun 2021 lalu, program literasi digital ini telah berhasil menjangkau lebih dari 12 juta masyarakat di 514 kabupaten kota dan pada 34 provinsi di seluruh Indonesia. Hal ini untuk meningkatkan kemampuan literasi digital sehingga masyarakat dapat cakap digital," jelasnya.
Dosen Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Fransiscus Xaverius Lilik Dwi Mardjianto, yang hadir sebagai narasumber juga menjelaskan soal istilah hoaks dalam dunia digital seperti misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
"Istilah tentang hoaks seperti misinformasi merupakan informasi yang salah namun orang yang menyebarkan informasi percaya berita itu benar, disinformasi adalah informasi yang sangat salah namun orang yang menyebarkan tahu bahwa informasi tersebut salah, dan malinformasi yang artinya informasi yang benar namun secara sengaja disebarkan dengan maksud menyerang orang lain," jelas Lilik.
Selain hoaks, Lilik Dwi juga menjelaskan tujuh istilah informasi dalam konten digital, seperti parod yaitu konten lucu namun dapat memicu konflik, misleading pembelokan informasi untuk membingkai sebuah isu tertentu, konten tiruan yakni tidak pernah dikeluarkan oleh instansi terkait namun tersebar dengan format tersebut, konten abrikasi adalah konten tidak benar yang sengaja dibuat untuk membohongi, konten tak nyambung yaitu judul, foto, caption dan isi tidak saling terkait, konteks yang salah adalah konten yang benar dan asli namun disebarkan dalam konteks yang salah, dan konten manipulatif yakni informasi atau gambar yang dimanipulasi untuk membohongi pihak lain.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Ilmu Komunikasi Unika Atmajaya, Lisa Esti Puji Hartanti yang juga menjadi narasumber memaparkan soal partisipasi dan kolaborasi etis bermedia sosial. Menurutnya ada tiga faktor pengukur tingkat kesopanan warganet indonesia dalam menilai atau mencermati konten hoaks penipuan, ujaran kebencian dan diskriminasi.
"Interaksi merupakan proses komunikasi dua arah pengguna terkait mendiskusikan ide, topik, dan isu dalam ruang digital. Contoh negatif adalah berkomentar di media sosial dengan kata-kata negatif," jelas Lisa.
Sementara itu, partisipasi adalah proses terlibat aktif dalam berbagi data dan informasi yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Proses ini berakhir pada menciptakan konten kreatif dan positif untuk menggerakkan lingkungan sekitar. Contoh negatif adalah menyebarkan video atau konten yang berisiko.
Adapun kolaborasi merupakan proses kerja sama antar pengguna untuk memecahkan masalah. "Contoh, media sosial menjadi alternatif untuk menyuarakan keadilan dan menghormati pandangan orang lain serta menunjukkan kesopanan saat memberikan pandangan diri pada forum online," katanya.
Sementara itu, Blogger dan Sociopreneur, Mira Sahid yang juga hadir sebagai narasumber memaparkan soal empat pilar literasi digital, seperti Cakap Digital, Aman Digital, Budaya Digital, dan Etika Digital.
"Cakap Digital yakni mengetahui, memahami, menggunakan keterampilan digital melibatkan penggunaan teknologi informasi secara kritis dan aman untuk pekerjaan, waktu luang dan komunikasi sedangkan Aman Digital dan Budaya Digital merupakan budaya bermedia sosial yang mengikuti norma Pancasila seperti kesetaraan, demokratis dan gotong royong serta mencintai produk dalam negeri, memahami hak-hak digital untuk mendapatkan informasi, bebas berpendapat dan memahami etika digital merupakan kewajiban dan kebutuhan setiap warganet agar memiliki rekam jejak yang baik dan benar," ujarnya.
Kegiatan tersebut digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bersama Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Keuskupan Bogor. Acara tersebut dihadiri 250 orang peserta yang berasal dari berbagai Kongregasi dan Paroki lainnya di Keuskupan Bogor, 34 orang peserta yang berpartisipasi via Zoom, serta 49 orang peserta yang berpartisipasi via Youtube.