REJOGJA.CO.ID, SEMARANG -- Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) RI, Hasto Wardoyo, menekankan pentingnya peran tim pendamping keluarga (TPK) dalam mendukung program penurunan kasus stunting secara nasional.
Menurut dia, TPK menjadi garda depan untuk memberikan tugas pendampingan bagi keluarga berisiko stunting. Maka itu, BKKBN telah melatih 600 ribu orang menjadi 200 ribu TPK di seluruh Indonesia yang terdiri dari bidan, kader KB, dan Tim Penggerak PKK.
Seperti yang dilakukan di Semarang atau Kecamatan Gajahmungkur kali ini. “Di Kota Semarang ada 3.000 lebih TPK yang secara bertahap dilatih dan harus selesai sebelum Lebaran nanti,” ungkapnya, saat menghadiri acara Orientasi TPK Kota Semarang, yang dilaksanakan di kantor Kecamatan Gajahmungkur.
Ilmu yang harus diberikan, jelas Hasto, berupa ilmu-ilmu praktis yang sederhana, namun bisa dipakai untuk memberikan nasehat kepada tetangga yang ada di lingkungannya. Namun sumbernya tetap ilmu kedokteran (medis) tetapi bukan yang berat-berat.
Sehingga TPK akan memiliki kemampuan serta cara berkomunikasi yang efektif untuk membangun dan mempengaruhi perubahan perilaku sasaran pendampingan. Sebab, pemerintah memiliki rentang kendala yang terlalu jauh.
Sehingga untuk mengingatkan yang hamil, mengingatkan mereka yang akan menikah, terlalu jauh. Sebagai gambaran, di Kota Semarang saja perempuan yang hamil saja sebanyak 30 ribu orang per tahun.
“Maka kita kerahkan 3.000 lebih TPK I Kota Semarang dan itu tidak terlalu berat, karena rasionya satu pendamping akan menangani dan mendampingi 10 – 11 ibu hamil per tahun di Semarang ini,” tegasnya.
Di luar itu, Hasto juga menyebut Kota Semarang menjadi salah satu contoh dalam upaya percepatan penuunan angka stunting, karena keberadaan Rumah Pelita atau rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Bayi Dua Tahun.
“Karena penanganan stunting terpusat di satu tempat namun mengintegrasikan banyak stakeholder yang terlibat. Rumah Pelita ini semacam daycare yang terkontrol dan selalu dievaluasi, mulai dari ahli gizi, dokter anak, hingga psikolognya juga ada,” jelasnya.
Wali Kota Semarang, Hevearita Gunaryanti Rahayu menambahkan, Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang terus mendorong terwujudnya rumah Penanganan Stunting Lintas Sektor bagi Bayi Dua Tahun melalui Rumah Pelita.
Ini dilakukan untuk meningkatkan intervensi penanganan stunting yang masih ditemukan, sekaligus untuk mengoptimalkan target ‘zero’ stunting, di wilayah Ibu Kota Provinsi Jateng ini.
“Sejauh ini, pemkot telah mewujudkan dua Rumah Pelita, masing-masing di Semarang Barat yang diresmikan 18 Februari 2023, dan Rumah pelita di Patemon, Gunungpati, pekan kemarin,” jelasnya.
Mengapa Rumah Pelita ada di Semarang Barat dan di Gunungpati, jelas wali kota, karena di dua wilayah ini masih ditemukan kasus gagal tumbuh kembang pada anak dengan faktor risiko yang berbeda sesuai dengan karakteristik wilayahnya.
Kenapa yang pertama di Semarang Barat, karena memang difokuskan pada penanganan kasus stunting yang umumnya muncul akibat dari banyaknya kaum ibu yang bekerja sebagai buruh di wilayah ini.
Para ibu harus menitipkan anaknya karena mereka harus bekerja yang secara pengasuhan dan pemberian asupan gizi, kurang. Demikian halnya di wilayah Gunungpati juga kondisinya hampir sama.
Namun apa yang terjadi di Semarang Barat dan Gunungpati ini, tegas wali kota, berbeda dengan kasus stunting di wilayah Kecamatan Semarang Utara, seperti Kelurahan Tanjungmas, yang memang faktor utamanya banyak dipengaruhi oleh kemiskinan.
Sehingga untuk dapat memenuhi gizinya saja masih kesulitan. Wali kota juga menyampaikan, secara bertahap di wilayah yang masih ditemukan kasus stunting bakal diwujudkan Rumah Pelita, karena memang kemampuan keuangan daerah yang masih terbatas.
Ia juga menyampaikan, pendekatan dengan Rumah pelita ini menjadi salah satu faktor mengapa penanganan kasus stunting di Kota Semarang bisa efektif hingga semakit turun.
“Karena untuk menanganani stunting di Kota Semarang ini, setiap wilayah mempunyai treatmen masing-masing, sesuai karakteristik wilayahnya,” ujar dia.