REJOGJA.CO.ID, Oleh: Dr Unik Hanifah Salsabila, MPd (Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan)
Dalam film "The Devil Wears Prada" (2006), kita menyaksikan dinamika tempat kerja yang kompleks melalui karakter Miranda Priestly dan Andrea Sachs. Film ini menawarkan pelajaran berharga bagi mahasiswa yang akan memasuki dunia kerja.
Meskipun film ini berlatar dunia fashion dengan gaya hidup yang mungkin berbeda dengan nilai-nilai keislaman yang kita anut, namun esensi pembelajaran tentang profesionalisme dan ketahanan mental dalam menghadapi tekanan kerja sangat relevan untuk dikaji.
Menurut survei Kementerian Ketenagakerjaan RI tahun 2024, sekitar 30 persen pekerja di Indonesia mengaku pernah mengalami berbagai bentuk intimidasi di tempat kerja, namun hanya 15 persen yang berani melaporkannya. Data ini menjadi peringatan penting bagi mahasiswa untuk mempersiapkan diri menghadapi realitas dunia profesional.
Memahami Toxic Culture dan Persiapan Mental Mahasiswa
Bayangkan sebuah lingkungan kerja di mana intimidasi halus menjadi "budaya" yang dianggap normal. Seperti Andrea yang menghadapi tekanan konstan dari Miranda Priestly, banyak fresh graduate saat ini mengalami perlakuan serupa: komentar merendahkan yang dibungkus humor, pengucilan dari kelompok kerja, atau pemberian tugas yang tidak masuk akal dengan tenggat waktu mustahil. International Labor Organization (ILO) menyebut fenomena ini sebagai "workplace bullying" yang dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk.
Survei terbaru dari Asosiasi Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (2024) mengungkapkan bahwa 45 persen lulusan baru mengalami culture shock dalam enam bulan pertama bekerja. Fenomena ini sering muncul karena kesenjangan antara ekspektasi yang dibangun selama kuliah dengan realitas di lapangan. Mahasiswa perlu memahami bahwa dunia kerja bukan hanya tentang kompetensi teknis, tetapi juga kemampuan mengelola tekanan dan dinamika sosial.
Persiapan Mahasiswa Menghadapi Dunia Kerja
Kehidupan kampus sebenarnya dapat menjadi laboratorium yang baik untuk mempersiapkan diri menghadapi dinamika dunia kerja. Pengalaman berorganisasi, kepanitiaan acara kampus, dan kerja kelompok dalam perkuliahan seharusnya tidak hanya dilihat sebagai aktivitas tambahan, tetapi sebagai simulasi mini dari situasi yang akan dihadapi di dunia kerja.
Pakar Psikologi Karir dari Universitas Gadjah Mada, Dr Rama Wijaya, menekankan pentingnya mahasiswa mengembangkan "psychological capital" selama masa kuliah. Ini mencakup resiliensi, optimisme, harapan, dan efikasi diri. "Mahasiswa yang aktif dalam kegiatan kampus umumnya lebih siap menghadapi tekanan di dunia kerja karena telah terbiasa mengelola konflik dan bekerja dalam tim," jelasnya.
Membangun Fondasi Sejak Bangku Kuliah
Pengembangan soft skills menjadi kunci dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi realitas dunia kerja. Program magang, yang kini menjadi bagian dari Kampus Merdeka, memberikan exposure awal yang berharga. Menurut data Kementerian Pendidikan, mahasiswa yang mengikuti program magang memiliki tingkat adaptasi 40 persen lebih baik saat memasuki dunia kerja.
Selain itu, pembelajaran berbasis proyek dan kolaborasi lintas jurusan dapat membantu mahasiswa memahami kompleksitas interaksi profesional. Studi dari Harvard Education Review menunjukkan bahwa mahasiswa yang terlibat dalam proyek kolaboratif memiliki kemampuan komunikasi dan resolusi konflik yang lebih baik.
Peran Perguruan Tinggi dalam Persiapan Mental
Perguruan tinggi perlu mengintegrasikan pembahasan tentang budaya kerja ke dalam kurikulum. Career Development Center tidak hanya fokus pada teknis mencari kerja, tetapi juga mempersiapkan mahasiswa menghadapi dinamika organisasi. Workshop simulasi konflik, pelatihan komunikasi profesional, dan mentoring oleh alumni menjadi komponen penting dalam persiapan ini.
Membangun Jaringan dan Dukungan
Mahasiswa perlu membangun jaringan profesional sejak dini. LinkedIn Student Report mencatat bahwa 85 persen penempatan kerja fresh graduate melibatkan koneksi yang dibangun selama masa kuliah. Aktif dalam asosiasi profesi, menghadiri seminar industri, dan menjalin hubungan dengan alumni dapat membuka wawasan tentang realitas dunia kerja sekaligus membangun sistem dukungan untuk masa depan.
Kesimpulan
Seperti Andrea yang akhirnya berhasil menavigasi lingkungan kerja yang menantang di Runway Magazine, mahasiswa perlu mempersiapkan diri menghadapi realitas dunia profesional. Persiapan ini bukan hanya tentang membangun kompetensi teknis, tetapi juga mengembangkan ketahanan mental dan keterampilan sosial.
Film "The Devil Wears Prada" mengajarkan bahwa kesuksesan profesional membutuhkan lebih dari sekadar kemampuan akademik. Diperlukan kombinasi antara keterampilan teknis, kecerdasan emosional, dan kemampuan beradaptasi. Mahasiswa yang memahami hal ini dan aktif mempersiapkan diri sejak bangku kuliah akan memiliki fondasi yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan dunia kerja.
Pada akhirnya, seperti perjalanan Andrea Sachs, setiap mahasiswa akan menemukan jalannya sendiri dalam mengelola tekanan dan ekspektasi dunia kerja. Yang terpenting adalah memulai persiapan sejak dini dan membangun karakter yang tangguh namun tetap berempati. Karena seperti kata Miranda Priestly, "Everybody wants to be us," tetapi menjadi profesional yang sukses sekaligus berintegritas adalah pilihan yang harus diupayakan sejak masa kuliah.