
REJOGJA.CO.ID, Oleh: Dr Iin Inawati, MPd (Dosen Magister Pendidikan Bahasa Inggris UAD dan pemerhati Sastra Anak Islami)
Cerita selalu memiliki tempat di hati anak. Bahkan sebelum mereka bisa membaca, kegiatan mendengarkan cerita yang dibaca adalah saat yang paling dinanti. Dunia anak memang tidak bisa lepas dari cerita—dari dongeng sebelum tidur hingga kisah-kisah heroik para nabi. Cerita adalah makanan jiwa bagi anak-anak yang sedang tumbuh. Ia tak hanya menghibur, tapi juga menanamkan nilai.
Dalam dunia pendidikan, cerita atau sastra anak sering disebut sebagai jembatan menuju perkembangan intelektual, emosional hingga spiritual anak. Namun sayangnya dalam praktiknya, sastra anak seringkali diposisikan sebagai selingan. Padahal jika dikelola dengan optimal, ia dapat menjadi media dakwah yang sangat strategis, khususnya dakwah kultural di tengah masyarakat kita. Yaitu dengan pendekatan budaya dan keseharian, bukan di atas mimbar. Hal ini dikarenakan cerita adalah salah satu bentuk budaya yang popular dengan kehidupan keluarga Indonesia.
Banyak penelitian membuktikan bahwa cerita Islami dapat menjadi sarana penanaman nilai spiritual sejak dini. Puspitasari dan Hidayatullah (2020) menunjukkan bagaimana fabel Islami dan surat Al-Fiil bisa membentuk kesadaran spiritual anak. Jannah dan Memunah (2021) bahkan mengulas penggunaan kisah Uwais Al-Qarni sebagai materi bimbingan spiritual anak usia dini di Aceh. Di sanalah, nilai-nilai seperti bakti, sabar, dan keikhlasan disampaikan lewat dialog yang menyentuh hati anak-anak.
Bukan hanya kisah agung, kisah sehari-hari juga dapat menjadi media untuk menanamkan nilai. Kisah sederhana seperti kisah seorang anak yang tengah berpuasa dan harus menahan diri saat tergoda oleh penjual es di pinggir jalan menjelang waktu berbuka sangat relevan bagi anak-anak. Kisah sederhana ini bisa menjadi cermin perjuangan kecil yang akrab dengan keseharian, namun sarat pelajaran tentang iman dan kesabaran.
Mengarusutamakan Sastra Anak Islami
Aisyiyah, sebagai organisasi Perempuan Muhammadiyah, memiliki tidak kurang dari 22 ribu TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) yang tersebar di seluruh Indonesia dan satu di Mesir. Jika dihitung memiliki rata-rata 45 murid, maka hampir satu juta anak menjadi binaan Aisyiyah. Ini bukan sekadar angka statistik, tetapi peluang dakwah luar biasa. yang harus dijawab dengan kesiapan dan strategi dari Aisyiyah. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah sudah ada strategi terukur untuk menjangkau jutaan anak ini dengan nilai-nilai Islam yang sejuk, menyentuh, dan membumi? Sastra anak bisa menjadi jawabannya.
Sastra anak sebagai media pembelajaran bukan hal baru, namun harus diarusutamakan sebagai metode utama, bukan pelengkap. Negara-negara maju telah menjadikan kegiatan membaca buku cerita pagi hari sebagai tradisi di sekolah. Maka sudah saatnya, TK ABA juga menjadikan membacakan sastra anak Islami sebagai bagian dari rutinitas yang menyenangkan dan mendidikn.
Namun kita juga tidak boleh terjebak, jangan sampai cerita-cerita yang disampaikan hanya menjadi hafalan tanpa makna. Artinya ceritanya dapat dinikmati serta hikmahnya juga dapat dipahami oleh anak-anak. Dengan demikian nilai-nilai kebaikan dari cerita yang disampaikan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertanyaan reflektif yang perlu kita ajukan adalah: Sudahkah guru-guru TK ABA terbiasa membacakan sastra anak Islami kepada murid-muridnya? Sudahkah orang tua di rumah menghidupkan budaya bercerita kisah-kisah Islami pada anak-anaknya? Jika jawabannya belum, maka inilah saatnya memulai gerakan kecil dari sekolah dan rumah. Gerakan Membacakan Sastra Anak Islami bisa dimulai dari TK ABA, lalu ditumbuhkan menjadi kebiasaan di semua rumah anggota ranting-ranting Aiyiyah. Setiap pagi, satu cerita Islami. Setiap minggu, satu nilai yang diperkuat.
Namun, gerakan ini perlu ditopang oleh ketersediaan buku cerita Islami yang kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak usia dini yaitu buku dengan bahasa ringan, ilustrasi menarik, dan pesan-pesan yang aplikatif. Untuk itu, kader Aisyiyah, yang memiliki minat menulis perlu diberdayakan. Bayangkan jika setiap tahun muncul satu buku dan dibacakan di 22 ribu TK ABA, maka satu cerita akan menyentuh jiwa sejuta anak.
Hari ini kita hidup di era ketika anak-anak lebih kenal karakter kartun dan superhero luar negeri dibandingkan kisah Nabi atau sahabat Rasul. Jangan biarkan ini terus berlanjut. Anak-anak kita membutuhkan tokoh teladan dari nilai-nilai Islam, disampaikan dalam bahasa yang mereka pahami—bahasa cerita.
Sastra anak bukan sekadar hiburan. Ia adalah medium dakwah, media pendidikan, dan alat transformasi nilai. Kini saatnya Aisyiyah mengarusutamakan sastra anak Islami sebagai bagian dari strategi dakwah kultural. Karena di balik satu cerita, ada sejuta cahaya yang bisa menyentuh hati-hati kecil yang masih bersih.