Hal senada juga disampaikan oleh pelaku UMKM lainnya, Agus. Pemilik Royal Heritage Kulinery ini mengaku sudah sejak 2020 beralih ke pembayaran non tunai. Ada banyak manfaat yang dirasakan olehnya termasuk kemudahan dalam bertransaksi di saat jualannya ramai.
"Saya pakai QRIS ini karena awalnya mengikuti event. Jadi harus pakai QRIS (sebagai syaratnya). Setelah dipakai ada positifnya, cepat, tidak merepotkan konsumen, tetapi ada repotnya karena transaksi hari ini baru dibayarkan besok mengingat kita butuh uang itu untuk diputar belanja lagi," ungkapnya.
Sementara founder Nglarisi UMKM Jogja, Dyah Marini sepakat pemerintah Indonesia perlu mempertahankan QRIS serta tidak perlu mengorbankan sistem pembayaran digital yang sudah berkembang pesat di Tanah Air itu saat negosiasi tarif Trump.
Menurutnya, jangan sampai sistem pembayaran yang dibanggakan bangsa ini menjadi hilang gara-gara tekanan Trump. Karena QRIS tentu saja menguntungkan Indonesia melalui multiplier effect domestik, apalagi Indonesia yang memiliki paten teknologinya, sedangkan jika Visa dan Mastercard harus dibayarkan royaltinya ke AS.
"Sebagai pelaku usaha, saya senang pembayaran itu berkembang dari yang cash menjadi digital. Memang tetap ada risikonya tetapi QRIS ini juga sangat membantu. Kalau bisa tetap dipertahankan," ucapnya.
Sebelumnya, Amerika Serikat menyampaikan kritikannya dalam laporan tahunan National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barries 2025 yang dirilis oleh Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR).
Dari laporan tersebut, AS menyampaikan kekhawatirannya terhadap kebijakan sistem pembayaran digital yang diterapkan oleh Indonesia, khususnya mengenai QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). AS menilai penggunaan QRIS dan GPN berpotensi menjadi hambatan bagi keterlibatan perusahaan asing di sektor jasa keuangan Indonesia. Standar pembayaran nasional ini dianggap membatasi ruang gerak dan akses bagi institusi keuangan luar negeri untuk bersaing dengan pelaku domestik, terutama AS.
Selain itu, AS menyoroti kurangnya keterlibatan dalam penyusunan kebijakan QRIS. AS merasa tidak diberi ruang untuk menyampaikan pandangan atau masukan. Kebijakan ini juga dianggap tidak cukup transparan dan belum membuka ruang kolaborasi lintas negara yang luas.