Senin 21 Apr 2025 08:03 WIB

Pengamat UGM: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Belum Dinikmati Merata, Middle Class Terancam

Wisnu menilai program Sekolah Rakyat rentan menciptakan stigma bagi lulusannya.

Red: Fernan Rahadi
Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho
Foto: Republika/Fernan Rahadi
Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho

REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Ekonom UGM, Wisnu Setiadi Nugroho, PhD menyebut bahwa angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan. Kendati begitu, jumlah penduduk miskin tetap tinggi dan kerentanan ekonomi semakin meluas ke kalangan kelas menengah. Kelompok rentan miskin masih masih tinggi dan umumnya kelompok ini mudah tergelincir dalam kemiskinan jika terjadi guncangan ekonomi.

Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, Garis Kemiskinan (GK) tercatat sebesar Rp 550.458 per kapita per bulan. Lebih dari 25 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 90 juta orang lainnya masuk dalam golongan hampir miskin, dan 115 juta orang tergolong dalam rentan miskin.

“Fenomena ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi di Indonesia belum dinikmati secara merata dan belum terindikasi pro-poor. Dalam situasi ini, kalangan menengah atas akan semakin kaya, sementara kalangan menengah bawah tidak menikmati kesejahteraan tersebut sehingga memperlebar jarak kesenjangan antar kelas sosial," jelas Wisnu dalam Economic and Busines Journalism Academy yang mengangkat topik Survei Sosial Ekonomi Nasional: Kemiskinan (Badan Pusat Statistik) yang dihadiri oleh jurnalis dari berbagai media pekan lalu.

Menyitir Satriawan dan Nugroho (2024), Wisnu menjelaskan pertumbuhan Indonesia didominasi pertumbuhan trickle down. Pada level provinsi, hanya 11 provinsi yang memiliki pertumbuhan pro-poor ataupun strongly pro-poor. Sementara daerah lainnya sebanyak 18 provinsi masih mengalami pertumbuhan trickle down di mana manfaat pertumbuhan ekonomi yang dinikmati penduduk miskin secara proporsional lebih sedikit daripada penduduk tidak miskin. Lalu, tujuh provinsi mengalami immiserizing growth di mana manfaat pertumbuhan ekonomi disinyalir hanya dinikmati oleh kelompok penduduk tidak miskin sehingga memicu terjadinya ketimpangan yang sangat besar.

Koordinator Bidang Kajian Equitable Transformation for Alleviating Poverty and Inequality (Equitas) itu mengatakan bahwa kelas menengah (middle class) di perkotaan menghadapi tekanan biaya hidup yang tinggi. Sementara itu, dengan penghasilan yang stagnan, kelompok masyarakat kelas menengah ini berpotensi untuk jatuh ke kategori rentan atau menuju kelas menengah (aspiring middle class).

Wisnu juga menyoroti jumlah pertumbuhan penduduk lebih banyak berasal dari kelompok menengah ke bawah yang akhirnya menambah beban ekonomi rumah tangga dan mendorong angka kemiskinan. Degradasi status juga ditunjukkan oleh tidak ada atau kurangnya graduasi dari program bantuan, seperti PKH yang tidak mendorong kemandirian masyarakat. Beberapa program juga belum menggunakan data yang lebih baru sehingga membuat banyak bantuan tidak tepat sasaran.

“Banyak penerima yang tetap menerima bantuan meski sudah tidak layak. Ini menunjukkan adanya penyasaran program yang kurang tepat dan juga kurangnya mobilitas naik kelas. Selain itu, banyak kelas menengah yang mulai tertekan (karena PHK, guncangan ekonomi dan kesehatan dll) untuk mendapatkan program bantuan,” tambahnya.

Sekolah Rakyat Rentan Labelisasi

Pemerintah belum lama menggagas inisiasi Sekolah Rakyat sebagai upaya untuk menjawab tantangan jangka panjang kemiskinan antar generasi. Sekolah berasrama gratis untuk siswa dari keluarga miskin ini diyakini dapat mendorong mobilitas vertikal melalui pendidikan yang layak.

Wisnu menilai program Sekolah Rakyat baik dijalankan sebagai salah satu strategi pengentasan angka kemiskinan. Hanya saja, Sekolah Rakyat ini rentan menciptakan stigma bagi lulusannya. Tidak hanya itu, program ini dikhawatirkan mempersulit para lulusannya untuk bersosialisasi di jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

“Tetap harus ada mekanisme agar anak-anak merasa tidak dilabeli atau terdiskriminasi karena latar belakang ekonomi mereka. Padahal mereka mungkin anak-anak pintar yang hanya kurang beruntung secara ekonomi,” ungkapnya.

Belajar dari Cina

Wisnu menambahkan bahwa tantangan terbesar penanggulangan kemiskinan ini adalah banyaknya masyarakat yang menggantungkan hidup di sektor informal dengan pendapatan tidak tetap, tanpa jaminan sosial dan rentan terhadap guncangan ekonomi.

“Sebenarnya, program sosial saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan perbaikan struktur ekonomi," ujarnya.

Ia memberi contoh negara Cina yang telah menekan angka kemiskinan secara drastis melalui industrialisasi yang efektif menurunkan kemiskinan. Meskipun Cina tidak memiliki program pengentasan kemiskinan yang komprehensif seperti di Indonesia, tetapi mereka berani untuk melakukan investasi besar dalam sektor manufaktur secara terencana.

“Cina berani membuka pabrik dengan lapangan kerja besar-besaran dan menggaji pekerja dengan upah layak di atas garis kemiskinan," kata Wisnu.

MBG Harus Tepat Sasaran

Dalam kesempatan itu Wisnu turut menyoroti tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dilakukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, program tersebut dapat membantu mengurangi kemiskinan di tanah air apabila dilakukan tepat sasaran.

Program MBG, disebutkan Wisnu seharusnya tidak diberikan secara merata untuk semua anak sekolah. Dengan alasan efisiensi dan penghematan anggaran, program ini seyogianya diberikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu sehingga dapat efektif dan tepat sasaran.

Ia pun mencontohkan program makan bergizi gratis yang dilakukan di Amerika Serikat. Makanan bergizi gratis diberikan bagi anak yang tidak mampu dengan skema transfer langsung melalui kantin sekolah. Selain jauh lebih efisien, langkah tersebut juga dapat menekan terjadinya perundungan pada siswa penerima program.

Wisnu pun berharap program MBG dapat dilaksanakan secara desentralistik dengan pengawasan dari pemerintah pusat, khususnya terkait penetapan standar gizi nasional. Dengan desentralisasi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui pelibatan UMKM dan pemberdayaan BUMDes.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement