Jumat 27 Dec 2024 15:01 WIB

Dua Dosen UMS Ditunjuk sebagai Anggota Kolegium Kesehatan Indonesia

Kolegium memiliki tugas untuk melakukan standarisasi pendidikan dan standar praktik.

Red: Fernan Rahadi
Dua dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang jadi anggota Kolegium Kesehatan Indonesia, Prof. Dr. Mutalazimah (kiri), dan Azis Saifudin, Ph.D.
Foto: dokpri
Dua dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) yang jadi anggota Kolegium Kesehatan Indonesia, Prof. Dr. Mutalazimah (kiri), dan Azis Saifudin, Ph.D.

REJOGJA.CO.ID, SOLO -- Dua dosen Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ditunjuk sebagai anggota Kolegium Kesehatan Indonesia. Dua dosen tersebut adalah adalah Azis Saifudin yang menjadi anggota Bidang Kurikulum Kolegium Farmasi, dan Prof Mutalazimah yang menjadi anggota Bidang Evaluasi dan Ujian Kolegium Gizi.

Kolegium merupakan konsekuensi dari UU Kesehatan no 17 Tahun 2023 yang mengindikasikan masing-masing bidang praktik kesehatan harus diwadahi dalam bentuk kolegium yang dikoordinasi oleh konsil kesehatan.

Terdapat beberapa bidang di dalam kolegium yaitu Bidang Evaluasi dan Ujian, Bidang Kurikulum, Bidang Pengembangan Kompetensi, Bidang Mutu dan Akreditasi, serta Bidang Keanggotaan dan Kerja Sama.

Secara dasar, untuk menjadi bagian dari kolegium adalah memiliki pengetahuan pendidikan tinggi dan praktik bidang kesehatan. Kolegium sendiri memiliki tugas untuk melakukan standarisasi pendidikan dan standar praktik.

“Kolegium ini bisa berkiprah lebih konkrit begitu untuk melakukan standarisasi sekaligus peningkatan mutu pendidikan yang kemudian melakukan relevansi praktik kesehatan terhadap tenaga kesehatan dengan pendidikannya,” tutur Azis saat ditemui pada Jumat, (27/12/2024).

Melalui kolegium, akan bisa menjawab kebutuhan dan perkembangan teknologi serta kebutuhan masyarakat dan tantangan keanekaragaman penyakit. Azis mencontohkan, dalam bidang kefarmasian adalah seperti penggunaan obat yang tepat.

Dosen Farmasi UMS itu juga menyampaikan, untuk melakukan peningkatan mutu pendidikan, dilakukan dengan menyusun standar kurikulum. Seperti di farmasi terdapat tenaga kefarmasian dengan tiga kualifikasi yaitu vokasi kefarmasian, apoteker, dan apoteker spesialis yang perlu diatur.

Selain menyusun standar kurikulum, kolegium juga bertugas untuk mengembangkan sistem pelaksanaan pendidikan tinggi dalam standar praktik, standar kompetensi dan standar profesi di ranah praktik. Sehingga di masa depan, semua perguruan tinggi harus taat pada standar tersebut seperti yang telah terlaksana pada Kedokteran.

Azis yang pernah menjabat sebagai Dekan Farmasi selama dua periode menyampaikan bahwa menurutnya terdapat PR besar di Indonesia terkait dengan pendidikan tinggi di ranah kesehatan. Memang untuk lulusannya telah diuji dengan mengikuti Uji Kompetensi, namun kualitas masih belum memuaskan.

“Dengan adanya penyusunan standar bersama itu akan mereduksi disparitas mutu pendidikan,” ungkap dosen Farmasi UMS yang menyelesaikan studi S3 di Univeristy of Tomoyama.

Kekhawatirannya itu juga melihat adanya disparitas (kesenjangan) mutu pendidikan yang cukup lebar dan pihak penyelenggara pendidikan masih menomor duakan prioritas.

“Dengan adanya standar itu kita nanti bisa menginformasikan balik kepada kawan-kawan pengelola pendidikan tinggi agar lebih serius dalam menjual diri dengan kualitas dengan kurikulumnya diperbaiki,” ujar Azis.

Dia menyarankan agar uang pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua itu dikembalikan dalam bentuk sarana prasarana yang unggul seperti alat laboratorium yang unggul, fasilitas kelas yang mumpuni, juga akses pustaka yang up to date. Dengan pelayanan tersebut, akan menghasilkan lulusan yang berdaya saing juga mampu berkompetisi dengan perguruan tinggi lain yang telah ada.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement