REJOGJA.CO.ID, SEMARANG -- Salah satu senior Aulia Risma Lestari (ARL) dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesia Universitas Diponegoro (Undip), Angga Rian (37 tahun), membantah dugaan aksi perundungan terhadap Dokter ARL. Perundungan terhadap Dokter ARL dari para senior PPDS, diduga menjadi penyebab dia ditemukan meninggal di kamar kosnya pada 12 Agustus 2024 karena bunuh diri.
Angga mengungkapkan, terdapat 85 mahasiswa PPDS Anestesia Undip yang melaksanakan pendidikan di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr.Kariadi, Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Saat ini Angga adalah mahasiswa semester tujuh atau senior ARL yang merupakan mahasiswi semester lima.
Hal pertama yang dibantah Angga adalah dugaan praktik pemalakan yang dilakukan oknum senior PPDS Anestesia Undip terhadap para juniornya. "Pemalakan itu tidak ada," ujar Angga di Fakultas Kedokteran (FK) Undip ketika dimintai konfirmasi awak media soal temuan investigasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa ARL menjadi korban pemalakan oknum seniornya, Senin (2/9/2024).
Kemenkes telah menyampaikan, hasil investigasi mereka menemukan bahwa ARL diduga dipalak oknum seniornya sebesar Rp 20 hingga Rp 40 juta per bulan. Angga mengatakan temuan Kemenkes bisa ditanyakan kepada teman-teman seangkatan ARL.
Dia kemudian menyinggung soal kewajiban mahasiswa junior PPDS Anestesia membelikan makanan untuk para seniornya. Angga mengklaim, pemberian makanan untuk para senior bersifat gotong royong.
Angga mengatakan, layanan operasi di RSUP Dr.Kariadi berlangsung 24 jam. Dia menyebut para dokter residen anestesia tidak disediakan makan malam oleh pihak RS.
"Sementara residen ini posisinya masih di kamar operasi menjalani pembiusan. Satu sistemnya adalah kita dibelikan makanan dan itu akan berlanjut seperti itu terus sampai program operasinya bisa selesai," ucapnya.
Menurut Angga, karena ARL terhitung sebagai mahasiswi PPDS Anestesia Undip senior, makanan almarhumah pun disediakan para juniornya. "Jadi memang pembagian makan itu dibantu adik (junior) paling kecil agar yang di kamar operasi tetap bisa di kamar operasi menjalani pembiusan," katanya.
Dia mengungkapkan, dalam sehari, program pembiusan di kamar operasi RSUP Dr.Kariadi bisa mencapai antara 120 sampai 140. Kemudian program pembiusan di luar kamar operasi sebanyak 20 hingga 30.
Uang yang dihimpun, kata Angga, digunakan untuk membeli makanan seluruh dokter residen anestesia. Satu mahasiswa junior bisa patungan sebesar Rp 10 juta per bulan.
"Tapi ini tidak tentu. Kadang-kadang saya tidak iuran juga karena uang kasnya masih penuh," ujarnya. "Dan kalau masih ada sisa (kas), itu dikembalikan," tambah Angga.
Angga mengklaim mahasiswa yang tidak membayar iuran untuk penyediaan makanan juga tidak akan mengalami perundungan. Dia mengungkapkan iuran yang dikeluarkan mahasiswa junior berlangsung selama satu semester.
"Jadi ketika next semester, kita tidak mengeluarkan iuran lagi. Karena yang membelikan kita makan yang juniornya," katanya.
Angga pun membantah kabar mahasiswa PPDS anestesia semester satu tidak boleh berkomunikasi dengan mahasiswa senior yang sudah berada di semester tiga ke atas, termasuk hanya boleh memberi jawaban afirmatif seperti "Siap, Mas/Mba". "Dulu kebetulan saya dapat yang sangat terbuka. Itu terserah saja (komunikasinya)," ucapnya.
Dia menyebut ketika proses pembiusan memang tidak ada komunikasi antara junior dan senior. "Tapi kalau situasinya sudah tenang, pasien sudah aman, komunikasi (junior-senior) tentu ada," ujar Angga.
"Kalau memang ada temuan seperti itu (junior tidak boleh berkomunikasi dengan senior), silakan diproses. Kita sangat terbuka," tambah Angga.
Dekan FK Undip Yan Wisnu Prajoko membuka diri terhadap investigasi...