REJOGJA.CO.ID, Oleh: Imron Rosyadi (Peneliti Pada Pusat Studi Halal (PSH) Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Keputusan siapa yang berhak menjadi pemenang dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024, akhirnya dilegitimasi Mahkamah Konstitusi (MK) pada 22 April 2024, setelah MK menolak seluruh gugatan sengketa Pilpres yang diajukan kubu paslon 01 dan 03.
KPU RI pun secara resmi mengumumkan Paslon 02 menjadi Presiden dan Wakil Presiden terpilih (definitif) periode 2024-2029. Konsekuensinya, tidak ada lagi kubu-kubuan, semua komponen bangsa seyogyanya bersatu padu untuk menyongsong kebangkitan, dan kemajuan Indonesia di masa depan.
Bagi pemenang Pilpres, langkah politik selanjutnya adalah mempersiapkan terbentuknya pemerintahan baru periode 2024-2029. Oleh karenanya segenap rakyat Indonesia menaruh harapan besar terwujudnya 'Bersama Indonesia maju menuju Indonesia Emas 2045', sebagaimana tertuang dalam visi Pilpres paslon Prabowo-Gibran.
Di sisi lain, seluruh rakyat Indonesia tidak menginginkan visi yang sangat ideal itu, berhenti hanya sebatas retorika di masa kampanye Pilpres. Namun, visi itu terinternalisasi dalam gerak-langkah pemerintahan baru ke depan.
Variabel penentu
Tulisan ini mencoba membangun narasi peta jalan (roadmap) prinsip pembangunan yang berkeadilan, dengan pendekatan model pembangunan Ibnu Khaldun, yang dinilai masih memiliki relevansinya dengan masa transisi pemerintahan RI terkini.
Chapra (2010) meringkas teori, atau model Ibnu Khaldun itu dalam delapan poin aksioma. Pertama, kekuasaan presiden (al-Mulk) tidak dapat dipertahankan kecuali dengan menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, hukum tidak akan bisa ditegakkan kecuali oleh kedaulatan negara.
Ketiga, kedaulatan tidak akan memperoleh kekuatan kecuali didukung oleh sumber daya manusia (ar-Rijal), Keempat, sumber daya manusia tidak dapat dipertahankan kecuali dengan harta benda, atau kekayaan negara (al-Imwal). Kelima, kekayaan negara tidak dapat diperoleh kecuali dengan pembangunan (al-‘Imaraah).
Keenam, pembangunan tidak bisa dicapai kecuali dengan menegakkan keadilan (al-‘Adl). Ketuju, keadilan merupakan tolak ukur (Mizan) yang digunakan Allah untuk mengevaluasi manusia. Kedelapan, kedaulatan mengandung muatan tanggung jawab untuk menegakkan keadilan.
Perkembangan selanjutnya, delapan poin aksioma tersebut oleh para ahli sosiologi dan ekonom muslim, dikembangkan menjadi basis teori ilmu sosial-ekonomi yang disebut sebagai teori atau model Ibnu Khaldun.
Teori itu kemudian diringkas dalam bentuk hubungan korelasi fungsional yang menyatakan bahwa kuatnya marwah sebuah pemerintahan atau otoritas politik (G) sangat tergantung pada beberapa variabel yang memengaruhi.
Variabel yang memengaruhi meliputi, penegakan supremasi hukum (syariah/S), peran sumber daya manusia (N), kekayaan atau kemakmuran negara (W), peran pembangunan (g) dan tegaknya keadilan (j). Singkatnya bisa dinyatakan dalam formula matematis, G = f (S, N, W, g dan j).
Dalam konteks model itu, keberhasilan Prabowo-Gibran menjalankan roda pemerintahan (G), sangat tergantung pada komitmen pasangan tersebut dalam menegakkan supremasi hukum, dan mengemban amanah undang-undang (S).
Oleh karena itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dikuatkan kembali sebagai lembaga negara yang efektif dan efisien menjalankan tugas pemberantasan korupsi hingga seakar-akarnya.
Sebab, berbagai temuan riset membuktikan korupsi melemahkan demokrasi, dan akses terhadap keadilan. Penyempitan ruang partisipasi publik karena sistem yang korup telah memperparah tercapainya kesejahteraan. Korupsi juga menjadi penyebab bagi warga dalam mengakses keadilan (TII, 2024).
Sehingga diharapkan pada masa pemerintahan Prabowo, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia bisa meningkat tajam. Hal ini mengingat, di masa pemerintahan Jokowi, IPKnya terus merosot. Pada 2023 skor IPK sebesar 34, stagnan dibandingkan pada 2022. Skor itu membuat indonesia berada di rangking 115 dari 180 negara yang paling anti-korupsi
Hukum juga harus ditegakkan tanpa pandang bulu, baik terhadap kawan maupun oposan, sehingga tidak pernah terdengar lagi pameo di negeri ini yang menyatakan bahwa hukum sedemikian tajam untuk rakyat biasa dan oposan, tapi tumpul untuk para pejabat dan kawan.
Dalam hal ini, variabel S sangat menentukan keberlangsungan pemerintahan Prabowo-Gibran yang didukung seluruh rakyat Indonesia untuk lima tahu ke depan, serta tidak boleh diabaikan bahwa hukum hanya bisa ditegakkan oleh pemerintahan negara (G) yang berdaulat tanpa campur tangan asing atau pihak-pihak tertentu yang ingin ‘melemahkan’ kedaulatan negara.
Variabel berikutnya adalah peran strategis sumber daya manusia (N). Kedaulatan suatu bangsa tidak dapat ditegakkan tanpa didukung kualitas sumber daya manusia yang dimiliki bangsa besar ini.
Program-program pembangunan pemerintah ke depan hendaknya lebih memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan nasional, dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta teknologi informasi di segala bidang; perluasan akses pendidikan tinggi bagi semua komponen bangsa; peningkatan harapan hidup, standar hidup dan melek huruf.
Berdasarkan Human Development Reports UNDP (2023), Indonesia memang tergolong negara berkembang dengan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tinggi, tetapi masih di bawah rata-rata negara di kawasan ASEAN. Indonesia berada pada peringkat 112 dunia, dengan indeks 0,7439.
Posisi tersebut menenpatkan Indonesia di bawah negara-negara angota ASEAN seperti Singapura (9/0,932), Brunei Darussalam (39/0,853), Malaysia (57/0,802), Thailand (83/0,755) dan Vietnam (111/0,745). Hal ini menjadi tugas berat pemerintahan kedepan untuk meningkatkan IPM menjadi sekitar 0,85, sebagaimana janji kampanye Pilpres.
Berdaulat
Variabel independen lainnya yang berpengaruh terhadap otoritas politik (G) adalah kekayaan negara (W) berupa sumberdaya alam hayati (nabati dan hewani) dan sumber alam non hayati (minyak bumi, gas alam, dan berbagai jenis logam, air dan tanah).
Rujukan kebijakan tentang pengelolaan sumber daya (SDA) semestinya kembali pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal tersebut secara tegas melarang adanya penguasaan sumber daya alam ditangan segilintir orang, apalagi pihak asing yang digunakan untuk kepentingan eksploitasi alam, dan keuntungan bisnis asing. Namun faktanya, praktik-praktik usaha, bisnis dan investasi di sektor pengelolaan SDA sangat bertentangan dengan prinsip pasal 33 tersebut.
Oleh karena itu, keberanian pemerintahan baru merevisi kembali, bahkan menghentikan kontrak-kontrak pemerintah dengan perusahaan migas, nikel atau perusahaan eksplorasi alam asing yang merugikan Indonesia, sangat ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia. Hal ini demi terwujudnya kedaulatan energi dan sumber daya mineral, serta menjadi negara maritim yang sangat disegani bangsa-bangsa di dunia.
Kekayaan negara yang melimpah (W) tidak akan diperoleh tanpa adanya pembangunan (g) yang berkelanjutan. Pemerintah ke depan diharapkan, selain mengejar angka pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun juga dituntut mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, yaitu pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan terwujudnya green economy, kemandirian pangan dan energi, penurunan tingkat pengangguran, penurunan angka kemiskinan, menyempitnya gap kesenjangan, dan peningkatan pendapatan per kapita.
Tujuan pembangunan tidak akan bisa dicapai tanpa upaya serius untuk menegakkan keadilan (j) di tengah-tengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh karenanya Pemeritahan baru dituntut menigkatkan pemerataan pembangunan di seluruh pelosok negeri, termasuk menggalakkan pembangunan infrastruktur dan suprastruktur di perdesaan/daerah terpencil.
Dengan demikian yang krusial menjadi prioritas utama pemerintahan Prabowo-Gibran adalah mewujudkan pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sehingga terwujudnya Indonesia Emas pada 2045, dan masuk dalam kelompok negara maju bukanlah sekedar utopis belaka. Wallahu’alam bishowab.