REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia tahun 2024 sebesar 3,85 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan capaian 2023 sebesar 3,92.
Skor indeks di semua dimensi menurun menunjukkan masyarakat yang semakin permisif dan meningkat perilaku koruptifnya.
Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan Universitas Airlangga yang juga pegiat antikorupsi, Hardjuno Wiwoho, menilai sikap permisif masyarakat terhadap korupsi diakibatkan karena hilangnya keteladanan dari para elite dan pemimpin bangsa ini dalam pemberantasan korupsi.
Bahkan perilaku korupsi para elit sangat telanjang dipertontonkan dihadapan masyarakat. Parahnya lagi, belakangan ini terangnya, perilaku korupsi di tingkatan elit semakin ugal-ugalan.
Namun sayangnya, pemberantasan korupsi sekarang ini cenderung tebang pilih, tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
”Jadi, saya kira, kontribusi terbesar dari melemahnya IPAK adalah keputusasaan masyarakat melihat perilaku hukum di tingkat elite. Banyak kasus yang melibatkan elit berujung dengan tak terungkapnya kasus itu atau hukuman yang tak setimpal,” jelasnya.
“Terakhir kan di kasus kematian Vina Cirebon. Masyarakat kan sakit hatinya dan makin apatis terhadap institusi hukum,” katanya.
Hardjuno melihat pesta pora para pelaku korupsi ini dimulai saat operasi pelumpuhan KPK pasca revisi UU-nya.
“Kini, pemberantasan korupsi kita merosot dari hulu ke hilir, dari penyelidikan perkara hingga vonis, semua tidak sesuai ekspektasi public. Menteri juga banyak korupsi, jadi tontonan setiap hari. Bahwa kena hukum itu cuma sedang sial saja, sudah biasa dan bukan kejadian luar biasa lagi bagi masyarakat,” papar Hardjuno.
Untuk itu tegas Hardjuno masyarakat musti dibuat percaya lagi kepada institusi hukum.
Caranya, penegakan hukum mesti benar-benar dilakukan secara serius dan permainan hukum harus dihentikan.
“Dan itu semua bisa terjadi kalau dimulai dengan membebaskan semua institusi hukum dari intervensi politik,” ujarnya.
Hardjuno juga menekankan pentingnya penguatan institusi penegak hukum.
"Kita perlu memastikan bahwa lembaga penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian memiliki sumber daya yang cukup serta bebas dari intervensi politik," katanya.
Menurut Hardjuno, peran serta masyarakat juga sangat krusial dalam upaya peningkatan IPAK.
"Masyarakat harus diberdayakan untuk turut serta dalam pengawasan terhadap perilaku koruptif. Ini bisa dilakukan melalui peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus korupsi, dan benar-benar dilindungi pelapor ini," ujarnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menegaskan, sumber masalah penegakan hukum selama ini adalah tidak adanya goodwill dari pemerintah. Bahkan, cenderung penegakan hukum menjadi alat barter politik.
“Politik saling sandera kerap menjadi batu sandungan penegakan hukum di Indonesia. Saya meyakini, korupsi di pemerintahan akan bisa dikikis jika hukum adil,” tuturnya.
Hal ini akan berdampak besar pada indeks persepsi korupsi. "Setiap proses pengambilan keputusan dan pengelolaan anggaran harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal ini akan mengurangi peluang terjadinya korupsi," terang Hardjuno.
Langkah selanjutnya yang berdimensi jangka panjang adalah pembenahan dan peningkatan pendidikan antikorupsi di seluruh jenjang pendidikan.
Pendidikan antikorupsi harus menjadi bagian integral dari kurikulum di sekolah-sekolah dan universitas.
“Jadi jangka pendek beri harapan pada hukum yang adil, ungkap kasus Vina, transparansi pemerintahan, dan terakhir pendidikan anti korupsi sejak taman kanak-kanak," ujar Hardjuno.