REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Penjabat (Pj) Wali Kota Yogyakarta, Singgih Raharjo mengatakan bahwa parameter kemiskinan perlu di-review dan diperbarui. Pasalnya, parameter yang digunakan akan berpengaruh terhadap kekuatan data, serta program-program pengentasan kemiskinan dapat tepat sasaran.
Singgih menyebut bahwa angka kemiskinan di Kota Yogyakarta pada 2022 sekitar 6,62 persen atau sekitar 29,68 ribu jiwa. Angka tersebut dikatakan telah mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya sekitar 7,69 persen.
Hal ini, kata Singgih, menunjukkan adanya indikasi perbaikan dalam penanganan kemiskinan di Kota Yogyakarta. Meski begitu, angka kemiskinan tersebut harus terus ditekan.
Dijelaskan Singgih, berbagai sumber dana telah digelontorkan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk penanggulangan kemiskinan melalui berbagai program. Dilihat dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Yogyakarta yang tersebar pada 12 organisasi perangkat daerah (OPD), digelontorkan dana sejumlah Rp 77,65 miliar.
"Dari Anggaran Pendapatan serta Belanja Nasional (APBN) sejumlah Rp 123,55 miliar untuk program sembako dan Program Keluarga Harapan (PKH)," kata Singgih belum lama ini.
Singgih menuturkan bahwa pada 2023 ini juga dilakukan berbagai strategi penanggulangan kemiskinan di Kota Yogyakarta dengan pengurangan beban pengeluaran masyarakat miskin. Seperti melalui Bantuan Penerima Iuran JKN (PBI APBD), Jaminan Pendidikan Daerah (JPD), Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bansos Pangan.
Selain itu, juga ada program peningkatan kemampuan dan pendapatan masyarakat miskin melalui pelatihan-pelatihan, serta kesempatan dan peluang kerja. Termasuk melakukan pengembangan dan menjamin keberlanjutan usaha melalui pembinaan dan bimbingan teknis UMKM.
"Dalam membuat kebijakan dan melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, Kota Yogyakarta bersinergi dengan TKPK secara berjenjang, program Gandeng-gendong, forum corporate social responsibility (CSR), dan forum lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (LPPM)," ucap Singgih.
Lebih lanjut dijelaskan Singgih bahwa untuk data sasaran kemiskinan tahun 2023 bersumber dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang dirilis Kemensos. Namun, data tersebut dilakukan verifikasi dan validasi (verval) oleh Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Yogyakarta.
Meski begitu, Singgih menilai bahwa parameter yang digunakan dalam data tersebut perlu diperbarui untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan di 2023 maupun di 2024. Dengan perbaruan tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih valid, dan menggambarkan kondisi riil keluarga miskin.
"Data sasaran kemiskinan menjadi penting karena menjadi basis penting dari suatu intervensi, dan bahkan menjadi dasar sejak disusunnya perencanaan program penanggulangan kemiskinan. Tentu saja data sasaran yang dimaksud harus valid dan terolah dengan baik,” ucap Singgih.
Disampaikan Singgih, pada 2024 Kota Yogyakarta mendapat kuota sejumlah 587 Kartu Keluarga Lanjut Usia melalui program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) oleh Pemerintah Daerah DIY. Hal tersebut merupakan program percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem berupa pemenuhan kebutuhan pokok lansia dalam bentuk voucher yang bersumber dari Dana Keistimewaan DIY.
"Pemenuhan kebutuhan pokok ini dalam bentuk voucher yang dapat digunakan di toko-toko yang telah ditentukan. Harapannya agar dapat digunakan dengan bijak," jelasnya.
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Yogyakarta, Agus Tri Haryono juga mengatakan bahwa parameter yang telah digunakan sejak satu dekade lalu tersebut dirasa sudah tidak tepat pada kondisi saat ini dan mempengaruhi keakuratan data sasaran kemiskinan pada tahun 2023.
"Dorongan dari berbagai pihak untuk dilakukan review parameter menjadi urgensi tersendiri," kata Agus.
Menurutnya, ada beberapa indikator yang dirasa sudah tidak relevan untuk digunakan. Misalnya pada penggunaan daya listrik 450 KWH, status suami atau istri bekerja, serta tingkat pendapatan perkapita.
Selain itu, pihaknya juga menilai ada sejumlah indikator lain dalam parameter sebelumnya yang belum diakomodir dengan baik. Dengan begitu, menurut Agus juga ada kebutuhan untuk memasukkan beberapa indikator lainnya sesuai dengan isu strategis yang berkembang dan temuan di lapangan.
"Misalnya berkaitan dengan penyandang disabilitas yang dalam parameter sebelumnya belum diakomodir, dan penyakit kronis yang tiba-tiba terjadi. Ini menyebabkan goyahnya kondisi keuangan keluarga," jelas Agus.
Agus berharap, melalui review dan dihasilkannya parameter baru kemiskinan, dapat menjadi acuan dalam pendataan sasaran kemiskinan, serta menghasilkan data yang lebih akurat sesuai dengan kondisi keluarga.
"Acuan terdiri tujuh aspek yaitu pendapatan dan aset, papan, pangan, sandang, kesehatan, pendidikan dan sosial. Terdapat beberapa parameter yang disertai dengan bobot skor yang akan dikaji ulang agar lebih relevan," ungkapnya.