Selasa 31 Oct 2023 15:53 WIB

Banyak Penderita Usia Produktif, Deteksi Dini Penting untuk Putus Mata Rantai TBC

Upaya eliminasi TBC tidak hanya pada sektor kesehatan saja.

Rep: Silvy Dian Setiawan/ Red: Yusuf Assidiq
TBC (ilustrasi)
Foto: Dok Republika
TBC (ilustrasi)

REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Yogyakarta menyebut sebagian besar penderita tuberkulosis (TBC) masih berusia produktif. Dari data Dinkes, setidaknya hingga September 2023, sudah ditemukan 1.088 kasus TBC di Kota Yogyakarta.

Angka ini terbilang besar, bahkan pada 2022 juga ditemukan kasus TBC lebih dari seribu kasus yakni mencapai 1.356 kasus dengan 79 kasus di antaranya meninggal dunia.

Ketua Tim Kerja Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinkes Kota Yogyakarta, Endang Sri Rahayu mengatakan, penanganan TBC tidak hanya pada pengobatan pasien saja. Namun, memutus rantai penularan untuk mengeliminasi kasus TBC juga penting dilakukan.

Seperti dengan melakukan deteksi dini atau skrining untuk memutus rantai penularan TBC ini. "Fokusnya tidak hanya pada pengobatan tapi juga penularannya. Karena saat ada satu kasus ditemukan, maka sumber penularan juga bertambah," kata Endang.

Terlebih, banyak dari kasus TBC yang ditemukan dan ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan yang ada di Kota Yogyakarta merupakan mereka yang berusia produktif. Dari kasus yang ditemukan selama 2023 tepatnya hingga September, 60 persen di antaranya merupakan usia produktif.

"Sementara 14 persen terjadi pada anak, dan lima persen lansia," ujarnya. Lebih lanjut dijelaskan memutus rantai penularan juga dilakukan melalui pemberian Terapi Pencegahan Tuberkulosis atau TPT kepada orang yang kontak erat dengan pasien TBC.

Juga kepada orang dengan HIV-AIDS, serta kelompok risiko lainnya yang masuk dalam kategori orang dengan Infeksi Laten Tuberkulosis atau ILTB. “Sebelum diberikan TPT akan dilakukan serangkaian pemeriksaan, seperti riwayat penyakit dan gejalanya, rontgen dada. Jika hasil abnormal, akan dilakukan tes mantoux atau pun tes darah. Ketika hasilnya positif, akan diberikan TPT,” jelas dia.

Mengingat kasus TBC yang ditemukan dan ditangani sudah di atas seribu kasus di Kota Yogyakarta, Endang pun meminta warga untuk terus menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain itu, ketika memiliki gejala yang mengarah kepada TBC, diminta untuk memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

Hal ini bertujuan agar masyarakat yang terpapar TBC mendapatkan penanganan yang cepat, dan mengantisipasi penularan kepada warga lainnya. Gejala-gejala TBC yang dapat muncul seperti demam selama lebih dari dua pekan, batuk berkepanjangan, atau penurunan berat badan.

"TBC bisa sembuh dengan penanganan dan pengobatan yang tepat. Untuk itu, jangan ragu untuk periksa karena kesadaran diri sendiri untuk menanggulangi TBC sangat penting agar penyakit ini segera teratasi dengan tuntas," kata Endang.

Sementara itu, dokter spesialis paru, Astari Pranindya Sari mengatakan, ILTB merupakan satu kondisi di mana sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi tidak mampu mengeliminasi bakteri TBC secara sempurna, tapi mampu mengendalikan bakteri TBC sehingga tidak timbul gejala sakit TBC.

Meski begitu, orang dengan ILTB ini harus diberikan TPT. Astari menuturkan, pemberian TPT ini dilakukan karena ILTB berpotensi menjadi sumber penularan TBC.

"Beberapa hasil studi menunjukkan lima sampai 10 persen orang dengan ILTB akan berkembang menjadi TBC aktif, biasanya terjadi pada lima tahun sejak pertama terinfeksi bahkan kurang dari itu ketika memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Itulah kenapa ILTB sebagai potensi sumber penularan harus diberikan TPT,” katanya.

Direktur PKBI, Kota Yogyakarta, Agus Triyanto, juga menyebut upaya eliminasi TBC tidak hanya pada sektor kesehatan saja. Namun,  juga harus dilakukan pada sektor lain seperti lingkungan dan komunitas.

Hal ini mengingat tidak sedikit kasus TBC yang terjadi disebabkan oleh lingkungan permukiman tempat tinggal yang tidak sehat. Terlebih, katanya, di Kota Yogyakarta sendiri permukimannya cukup padat dan menjadi salah satu faktor penularan TBC.

"Perbaikan lingkungan dan tata ruang juga menjadi penting agar tiap rumah sesuai pelaksanaan pengendalian infeksi TBC, utamanya pada sirkulasi udara dan paparan sinar matahari langsung," ujar Agus.

Menurut Agus, peran komunitas sebagai bagian dari masyarakat juga penting. Terutama dalam ikut serta memberikan edukasi, menumbuhkan kesadaran satu sama lain, juga dukungan sosial kepada penderita TBC maupun keluarganya. "Untuk itu diperlukan peran lintas sektor agar eliminasi TBC 2030 bisa tercapai,” jelasnya.

Sekda DIY, Beny Suharsono juga mengatakan perlunya komitmen dan aksi nyata bersama dalam percepatan penanggulangan TBC, dan menuju eliminasi TBC 2030. Tim Percepatan Penanggulangan TBC (TP2TB) juga sudah dibentuk sesuai amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 67 Tahun 2021 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.  

Tim percepatan ini tidak hanya dibentuk di pemerintah pusat, namun juga masing-masing pemerintah daerah. Pembentukan tim ini dilakukan dalam rangka memudahkan koordinasi terkait percepatan penanggulangan TBC di Indonesia.

"Saya ingatkan, komitmen Pemda DIY dalam percepatan pengulangan dalam percepatan penanggulangan TBC. Rencana aksi daerah yang sedang disusun harus diwujudkan menjadi aksi nyata bersama percepat penanggulangan TBC menuju eliminasi TBC 2030," kata Beny.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement