REJOGJA.CO.ID, BANTUL -- Semasa hidup, seniman kenamaan Djoko Pekik, telah menunjukkan berbagai kreasi yang tak biasa, bahkan luar biasa. Saat meninggal, prosesi pemakamannya juga turut dilakukan dengan cara tak biasa.
Keluarga mendiang Djoko Pekik mengenakan seragam kaus berwarna merah dengan gambar wajah seniman kenamaan itu saat pemakaman di Makam Seniman Girisapto, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Ahad (13/8/2023) sore.
Maestro lukisan realis-ekspresif ini wafat di usia 86 tahun pada Sabtu (12/8/23) pagi di Rumah Sakit Panti Rapih, Kota Yogyakarta.
Menurut putra pertama Djoko Pekik, Petrus Gogor Bangsa, adalah permintaan dari sang ayahanda sendiri agar keluarga mengenakan kaus berwarna merah dalam prosesi pemakaman.
"Ini merupakan pesan beliau (Djoko Pekik) untuk anak cucunya mengenakan kaus ini saat proses pemakaman beliau," ujar Petrus di prosesi pemakaman Djoko Pekik.
Kaus merah bergambarkan wajah Djoko Pekik merupakan seragam yang digunakan saat pembukaan pameran tunggal di Bentara Budaya Bulan Maret 2022 yang lalu. "Jadi kaus merah ini tanda antusias dan kegembiraan, bukan menyedihkan," tuturnya.
Pemakaman maestro seni ini dihadiri oleh banyak seniman dan penggemar yang menghormati sosok beliau sebagai maestro seni. Djoko Pekik lahir di Purwodadi, Jawa Tengah pada 2 Januari 1937. Ia lulus dari Akademisi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta yang kini bernama Institut Seni Indonesia (ISI) pada 1962 dan berhimpun ke Sanggar Bumi Tarung.
Semasa hidupnya, almarhum dikenal dengan goresan kuasnya yang menggambarkan nilai-nilai kerakyatan dan kemanusiaan. Salah satu karyanya yang monumental adalah karya 'Berburu Celeng' pada tahun 1998 yang kabarnya laku terjual hingga Rp 1 miliar.
Karya tersebut mampu menggambarkan secara eksplisit kemarahan rakyat atas polah para pemimpin masa itu. Berbicara lewat karya, seperti itulah sang maestro semasa hidupnya.
"Melukis itu bicara kepada orang lain, bicara kepada siapa saja, bicara kepada publik," ujar Djoko Pekik.
Sepak terjang Djoko Pekik sebagai seniman lukis tak lepas dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia bahkan pernah ditangkap karena terkait dengan Gerakan 30 September 1965, hingga harus menghabiskan tujuh tahun di LP Wirogunan.
Banyak yang menduga karya 'Berburu Celeng' bercerita mengenai jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998, dengan Suharto sebagai 'celeng' dengan rakyat jelata yang menggotongnya sebagai perwakilan rakyat Indonesia. Akan tetapi, hal itu ditampik oleh sang maestro.
Lukisan Berburu Celeng ini tergabung dalam Trilogi Lukisan Celeng karya Djoko Pekik. Dua lukisan lainnya yakni Susu Raja Celeng (1996) dan Tanpa Bunga dan Telegram Duka (1999).
Selain trilogi lukisan tersebut, karya Djoko Pekik lainnya juga menunjukkan solidaritasnya pada rakyat, salah satunya adalah kaum buruh. Ini ditunjukkan pada lukisan berjudul 'Keretaku Tak Berhenti Lama' (1989).
Tidak hanya itu, Djoko Pekik bahkan membuat lukisan mengenai fenomena di masa awal pandemi Covid-19, di mana saat itu orang berburu masker. Ini tertuang dalam karyanya yang berjudul Gelombang Masker (2020). Lukisan tersebut ditampilkannya saat pameran tunggal di Bentara Budaya Yogyakarta pada 26-31 Maret 2022 silam.
Dalam pameran tersebut ia menampilkan 23 karya yang menunjukkan keterampilannya meski di usia yang sudah senja.
"Pelukis itu butuh bicara melalui bahasa seni rupa, tidak hanya corat-coret, dijual yo enggak laku. Pelukis itu enggak bisa cari duit, pelukis itu bisanya bicara berontak,” kata sang seniman, dikutip dari laman Bentara Budaya.