Selasa 24 Jun 2025 06:44 WIB

Hati Senang di Ambang Perang: Resep 'Bujangan' Koes Plus untuk Indonesia di Kancah Dunia

Lagu ini, tanpa kita sadari, menyimpan cetak biru psikologi sosial bangsa Indonesia.

Red: Fernan Rahadi
Koes Plus (ilustrasi)
Foto: Dok Falcon Pictures
Koes Plus (ilustrasi)

REJOGJA.CO.ID, Oleh: Aad Satria Permadi*

Dunia sedang tidak baik-baik saja. Di layar gawai dan televisi, narasi perang dagang, konflik proksi, hingga ancaman perang dunia ketiga berdengung kencang, menciptakan kecemasan global. Para pemimpin negara adidaya saling melempar ancaman, aliansi militer memperkuat barisan, dan dunia seolah menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Terakhir, Iran dan Israel sudah terlibat saling serang menggunakan rudal hyper-sonic. Amerika bahkan sampai ikut-ikutan menyerang tiga instalasi nuklir milik Iran. Sepertinya, Rusia dan Yaman akan merespons tindakan Amerika yang melanggar aturan Internasional itu. Tentu, respons yang dimaksud adalah respon militer juga.

Namun, di tengah riuh rendah ketegangan itu, coba putar sebuah lagu lawas dari Koes Plus yang berjudul "Bujangan". Alunan musiknya yang riang dan liriknya yang jenaka seolah datang dari dimensi lain: "Begini nasib jadi bujangan... Hati senang walaupun tak punya uang...". Sebuah lagu sederhana tentang seorang lajang yang hidup pas-pasan namun tetap bahagia.

Kedengarannya seperti klise usang, tapi data dan observasi berkata lain. Secara ilmiah, paradoks "miskin tapi bahagia" ini terekam dalam berbagai survei global. Laporan Gallup Global Emotions 2023, misalnya, menempatkan Indonesia di puncak daftar negara dengan pengalaman positif tertinggi di dunia, melampaui banyak negara yang jauh lebih kaya. Badan Pusat Statistik (BPS) kita pun secara konsisten merilis Indeks Kebahagiaan yang menunjukkan bahwa level kebahagiaan tidak selalu berbanding lurus dengan kemewahan materi.

Bukti observasi sehari-hari lebih mudah kita temukan. Tengoklah tawa anak-anak yang bermain sepak bola di gang sempit dengan bola plastik. Dengarlah gelak tawa di warung kopi saat para pekerja melepas lelah hanya dengan secangkir kopi dan sebungkus gorengan. Perhatikan semangat gotong royong saat ada tetangga yang sedang kesulitan. Kebahagiaan komunal ini nyata, ia ada di udara yang kita hirup, menjadi semacam default setting bangsa kita. Ini bukan ilusi, melainkan realitas sosial.

Sebuah lagu sederhana tentang seorang lajang yang hidup pas-pasan namun tetap bahagia. Tampak tidak ada hubungannya dengan geopolitik? Justru sebaliknya. Lagu ini, tanpa kita sadari, menyimpan cetak biru psikologi sosial bangsa Indonesia dan menawarkan sebuah perspektif yang radikal, kritis, sekaligus inspiratif dalam memandang posisi kita di ambang kekacauan global.

Tenang Bukan Berarti Abai

Frasa kunci "hati senang walaupun tak punya uang" seringkali disalahpahami sebagai bentuk kemalasan atau kepasrahan buta. Padahal, jika digali lebih dalam, ada sebuah kearifan di baliknya. Ketenangan yang digambarkan dalam lagu itu bukanlah ketenangan karena ketidaktahuan, melainkan sebuah ketenangan yang berakar pada keyakinan spiritual yang mendalam.

Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, ada pemahaman bahwa setiap peristiwa di alam semesta ini terjadi atas sebuah reason ilahiah, dan reason itu pada hakikatnya selalu baik. Bukti observasi dari keyakinan ini tersebar dalam percakapan kita sehari-hari. Dengarkan ucapan spontan seperti "ikhlas, ya", "sabar, ini ujian", atau yang paling umum, "pasti ada hikmahnya" saat seseorang tertimpa musibah. Ini bukan sekadar kata penghibur, melainkan manifestasi dari sebuah pandangan hidup.

Secara budaya, nilai ini berakar kuat. Falsafah Jawa mengajarkan nrimo ing pandum, menerima takdir yang diberikan setelah berusaha. Dalam konteks spiritual Islam yang mayoritas, ini adalah cerminan dari sikap tawakkal, yaitu berserah diri sepenuhnya pada rencana Tuhan setelah semua ikhtiar dilakukan. Nilai-nilai inilah yang menjadi 'peredam kejut' psikologis saat krisis melanda.

Ini bukan berarti kita menafikan adanya penderitaan atau krisis. Namun, keyakinan ini membentuk sebuah fondasi mental yang kokoh, semacam bantalan psikologis yang membuat kita tidak mudah panik. Inilah batas "santai" kita: sebuah ketenangan yang lahir dari iman, bukan dari ignoransi. Ketenangan inilah yang memungkinkan kita untuk berpikir jernih dan merumuskan respons yang bijaksana, alih-alih reaktif terhadap setiap provokasi berita.

Perangkat Psikologis di Balik Mentalitas 'Bujangan'

Sebelum kita membedah mentalitas ini sebagai pedang bermata dua, mari kita lihat "aplikasi" psikologi kontemporer yang ter-install di alam bawah sadar kolektif kita. Dua konsep dari psikologi modern bisa membantu kita menjelaskannya.

Pertama adalah Psychological Flexibility. Konsep ini diinisiasi oleh psikolog Steven C. Hayes sebagai inti dari Acceptance and Commitment Therapy (ACT). ACT adalah istilah keren untuk kemampuan menerima suka dan duka, tetap sadar dengan apa yang terjadi (mindful), namun tetap bisa bergerak maju sesuai nilai-nilai yang kita pegang. Ini adalah versi upgrade dari sekadar "nrimo". Jika "nrimo" itu pasif, maka psychological flexibility adalah "nrimo" yang proaktif. Kita menerima kenyataan pahit (misal: ancaman krisis global), tapi kita tidak lumpuh. Kita memilih untuk tetap happy, tetap produktif, tetap menolong sesama, karena itulah nilai hidup kita.

Kedua adalah Meaning-Making atau pencarian makna. Dipelopori oleh psikiater legendaris Viktor Frankl yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, konsep ini menekankan bahwa resiliensi tertinggi bukan datang dari menghindari stres, tapi dari kemampuan menemukan makna di tengah kesulitan. Konsep ini ia rangkum dalam "tragic optimism", yaitu kemampuan untuk tetap optimis bahkan di tengah tragedi. Mentalitas "Bujangan" secara inheren melakukan ini. Ia tidak fokus pada "tidak punya uang"-nya, tapi pada "hati senang"-nya. Ia menciptakan makna kebahagiaan dari sumber non-materiel: relasi sosial, spiritualitas, dan humor. Dengan dua perangkat psikologis ini, kita siap untuk mengasah mentalitas "Bujangan".

Pedang Bermata Dua: Resiliensi vs Eskapisme

Tentu, mentalitas "Bujangan" ini adalah pedang bermata dua. Ia bisa menjadi kelemahan jika menjerumuskan kita pada eskapisme, namun juga bisa menjadi kekuatan jika kita kembangkan menjadi resiliensi.

Skenario Eskapisme akan terlihat seperti ini: Ketika dampak perang global mulai berkobar, harga BBM meroket, bahan pangan langka, disinformasi membanjiri media sosial, namun kita memilih untuk ‘lari’. Kita menenggelamkan diri dalam hiburan receh, membuat meme tentang kiamat sambil tertawa getir, dan berpegang pada prinsip "yang penting hari ini bisa ngopi". Sikap "pasrah" menjadi pembenaran untuk tidak melakukan apa-apa. Akibatnya fatal: ketahanan pangan di level komunitas lumpuh, masyarakat mudah diadu domba oleh hoaks, dan negara menjadi sangat rentan terhadap intervensi asing yang memanfaatkan kelengahan kita. Kita menjadi buih di lautan yang diombang-ambingkan badai.

Skenario Resiliensi, sebaliknya, mengubah energi "hati senang" menjadi bahan bakar kreativitas. Dalam krisis yang sama, semangat komunal kita justru menyala. Muncul gerakan urban farming di atap-atap rumah, lumbung desa digital berbasis aplikasi, dan solidaritas sosial untuk membeli produk teman yang usahanya terdampak. Humor tidak dipakai untuk lari dari masalah, tapi untuk menjaga kewarasan saat mencari solusi bersama. "Hati senang" bukan lagi tujuan akhir, tapi menjadi proses untuk bertahan dan bahkan bertumbuh di tengah krisis. Kita menjadi rakit yang kokoh, yang mungkin bergoyang, tapi tidak akan pernah tenggelam.

Lalu, ke mana kita lebih berpotensi? Saya berargumen, kita jauh lebih berpotensi pada resiliensi. Mengapa? Karena fondasi dari mentalitas "santai" kita bukanlah individualisme, melainkan komunalisme. Eskapisme adalah tindakan menyendiri, sementara seluruh DNA budaya kita, dari gotong royong hingga tradisi kumpul-kumpul, adalah tentang kebersamaan. Sejarah bangsa ini adalah sejarah mengatasi krisis secara kolektif. Dalam keadaan darurat, insting pertama kita bukanlah mengunci pintu, melainkan bertanya, "tetangga sudah makan atau belum?". Ikatan sosial inilah jaring pengaman yang akan menarik kita dari jurang eskapisme menuju puncak resiliensi.

Sang Bujangan sebagai Juru Damai: Belajar dari Soekarno

Kini, mari kita lihat si "Bujangan" dari kacamata geopolitik. Ia "sendirian", asyik dengan dunianya, tidak terikat oleh "keributan rumah tangga" antarnegara adidaya. Analogi ini sangat pas dengan prinsip politik luar negeri kita: bebas aktif. Arsitek utama dari diplomasi "Bujangan" ini tak lain adalah Presiden Soekarno. Di sinilah letak ironi yang menarik dan sedikit lucu. Secara personal, kita tahu beliau adalah seorang 'penakluk' ulung yang memikat banyak hati dan memiliki banyak istri. Istilah keren-nya adalah womanizer! Namun, di panggung politik dunia, jiwa Soekarno adalah "Bujangan" yang paling setia pada prinsip kemandirian.

Saat dunia terbelah antara blok Barat (Amerika) dan blok Timur (Soviet) yang saling menuntut "pernikahan" politik, Soekarno menolak lamaran keduanya. Ia justru mengumpulkan para "Bujangan" lainnya dari Asia dan Afrika dalam Konferensi Asia-Afrika 1955 di Bandung. Ia seolah berkata, "Daripada kita menjadi menantu salah satu dari dua keluarga kaya yang sedang bertengkar itu, lebih baik kita buat arisan para lajang yang merdeka!"

Sikap "Bujangan" ini memberinya flexibility yang luar biasa. Ia bisa menerima bantuan dari Amerika, sekaligus mengadopsi retorika anti-imperialisme yang dekat dengan Soviet, tanpa pernah benar-benar menyerahkan 'kunci rumahnya'. Ia 'menggoda' kedua blok, namun hatinya tetap untuk dirinya sendiri, untuk Indonesia. Jiwa lajangnya yang bebas inilah yang memungkinkannya menjadi salah satu pendiri Gerakan Non-Blok, sebuah poros ketiga yang menyeimbangkan dunia. Soekarno membuktikan bahwa untuk menjadi juru damai yang efektif, seseorang harus bebas dari 'ikatan dinas' dan 'drama rumah tangga' kekuatan besar.

Maka, di tengah ancaman Perang Dunia III, tugas utama kita mungkin bukanlah memilih harus berpihak pada siapa. Tugas kita adalah menjadi "Bujangan" yang seutuhnya: berdaulat secara mental, tangguh secara spiritual, dan siap menjadi penengah yang jujur saat dunia membutuhkannya.

Kekuatan terbesar Indonesia di panggung dunia mungkin bukanlah jumlah tentaranya atau kekuatan ekonominya, melainkan kemampuannya untuk menawarkan sesuatu yang langka: kewarasan! Kemampuan untuk tersenyum dan berkata, "hati senang", di tengah dunia yang dilanda kegilaan.

Sebagai penutup, mari kita renungkan ini bersama:

"Di saat bangsa-bangsa besar sibuk memoles senjata untuk membuktikan siapa yang terkuat, barangkali tugas kita adalah memoles hati untuk menunjukkan bagaimana cara menjadi bahagia. Karena perdamaian dunia tidak akan lahir dari ujung laras senapan, ia lahir dari hati yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.".

*Penulis adalah Dosen Fakultas Psikologi dan Ketua Center for Indigenous Psychology (CIP) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement