Sabtu 24 May 2025 17:21 WIB

Ekosistem Industri Tekstil Terancam Runtuh, BKK PII dan Sarjana Teknik Siap Dukung Reindustrialisasi

Praktik dumping tidak hanya memukul industri lokal.

Red: Fernan Rahadi
Selebgram Citayam Fashion Week (CFW) membawa tulisan berisi dukungan bagi pekerja dan pelaku UMKM konveksi di industri rumahan Sinergi Adv Nusantara, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Kegiatan tersebut digelar sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku UMKM khususnya dibidang tekstil dalam menghadapi gempuran produk impor juga mengajak masyarakat untuk menggunakan produk-produk lokal  Indonesia.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Selebgram Citayam Fashion Week (CFW) membawa tulisan berisi dukungan bagi pekerja dan pelaku UMKM konveksi di industri rumahan Sinergi Adv Nusantara, Jakarta, Rabu (30/4/2025). Kegiatan tersebut digelar sebagai bentuk dukungan terhadap pelaku UMKM khususnya dibidang tekstil dalam menghadapi gempuran produk impor juga mengajak masyarakat untuk menggunakan produk-produk lokal Indonesia.

REJOGJA.CO.ID, JAKARTA --Serbuan produk impor murah hasil praktik dumping semakin mengancam keberlangsungan industri tekstil dan kimia dalam negeri. Sejumlah kalangan profesional teknik dan pelaku industri pun mendesak pemerintah agar segera memberlakukan kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) guna menyelamatkan industri strategis nasional dan menjaga tersedianya lapangan kerja lulusan sarjana teknik.

Diketahui bahwa Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan (Kemendag) menemukan adanya praktik dumping oleh eksportir asal China. Praktik ini tentu tidak hanya memukul industri lokal, tetapi juga menghambat realisasi investasi di sektor hulu tekstil.

Terkait hal ini, Ketua Badan Kejuruan Kimia Persatuan Insinyur Indonesia (BKK-PII) Sripeni Inten Cahyani mengharapkan pemerintah segera bergerak cepat melindungi rantai pasok industri hulu ekosistem tekstil secara terpadu. Hal ini agar keunggulan Indonesia dimasa lampau yang memiliki kelengkapan rantai pasok industri tekstil hulu-hilir seperti negara Cina dan India dapat diwujudkan kembali.

Peran pemerintah melalui kebijakan dan peraturannya diharapkan dapat menjaga industri eksiting tetap eksis dan mampu mengadopsi tekonologi produksi yang lebih efisien, serta menarik investasi pembangunan industri baru. Laporan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menyatakan adanya investasi senilai 250 juta dolar AS (sekitar Rp 4 triliun, kurs Rp 16.425) akan masuk jika BMAD diberlakukan.

“Yang dibutuhkan hanyalah kejelasan arah dan dukungan dari pemerintah. Jika pemerintah memberikan sinyal yang kuat dan kepastian regulasi, investor pasti akan masuk. Jangan sampai yang sudah hidup dimatikan, sementara yang baru malah dikasih karpet merah,” ujar dia kepada wartawan.

Selain itu, Inten juga menekankan, keberlangsungan industri dalam negeri sangat krusial untuk mendukung visi Presiden Prabowo Subianto dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi 8 persen dan swasembada energi. Terlebih, presiden berencana membangun kilang minyak terbesar yang akan menghasilkan produk petrokimia, yang nantinya akan diserap oleh sektor hulu industri tekstil.

Oleh karenanya, BMAD adalah suatu keharusan karena dapat memfasilitasi semua pihak dan menjaga rantai pasok industri tetap terjaga agar tidak bergantung pada impor. Namun jika dibiarkan, jiwa nasionalisme Presiden Prabowo yang selalu digaungkan melindungi industri dalam negeri perlu dipertanyakan, atau hanya retorika belaka.

"Kalau impor terus dibiarkan tanpa kontrol, industri lokal akan mati. Padahal program besar seperti pembangunan pabrik petrokimia atau kilang oleh pemerintahan Prabowo bisa terancam tidak berlanjut," katanya.

Maka dari itu, Inten pun menyayangkan minimnya perlindungan dari pemerintah. Padahal Indonesia merupakan satu dari hanya tiga negara di dunia yang memiliki rantai pasok tekstil paling lengkap selain China dan India.

"Namun berbeda dari dua negara tersebut yang melindungi industrinya, Indonesia justru membiarkan sektor ini tergerus oleh produk impor murah. Ekosistem bisnis tekstil kita sedang mati. Kalau industri dalam negeri bisa penuhi kebutuhan, jangan impor. Tapi kalau belum siap, ya bantu agar siap. Pemerintah tidak boleh menutup mata," ujarnya.

Ia juga menyoroti sikap sebagian pelaku usaha yang cenderung individualistis. “Mereka lebih memilih beli benang impor karena murah. Begitu dikenai dumping, langsung protes. Padahal data KADI menunjukkan bukti adanya praktik dumping dari luar,” jelasnya.

Artinya, BMAD bukanlah penghalang pasar, tapi alat pertahanan negara dalam menjaga ekosistem industri. Jika pemerintah serius ingin membangun pabrik petrokimia, kilang, atau menyerap tenaga kerja lulusan teknik, maka proteksi terhadap industri dasar harus menjadi prioritas utama.

Kini, keputusan ada di tangan pemerintah. Apakah akan membiarkan industri dalam negeri tenggelam oleh arus impor, atau memilih bertindak cepat dan berani demi menyelamatkan fondasi ekonomi bangsa.

"Kami dari kalangan profesional dan teknokrat, sangat concern terhadap pentingnya menjaga industri kimia dan petrokimia nasional. Karena lulusan sarjana teknik jika sektor hulunya ini mati mau kerja di mana, kita perlu jaga ekosistemnya," tuturnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement