REJOGJA.CO.ID, JAKARTA -- Kebijaksanaan untuk perdamaian adalah konsep yang menekankan pentingnya pemahaman, toleransi, dan introspeksi dalam menciptakan harmoni sosial. Kebijaksanaan membangun individu untuk mengatasi perbedaan adalah dengan sikap terbuka, menghindari konflik, dan membangun hubungan yang lebih kuat berdasarkan penghormatan dan empati.
“Pendekatan ini mengajarkan bahwa perdamaian bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi juga tentang membangun kesadaran kolektif untuk hidup berdampingan dengan saling menghormati,” kata Ketua Umum Pesatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) periode 2022-2026, Prof Philip Kuntjoro Widjaja di Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Ia mengungkapkan makna tema Hari Raya Waisak tahun 2025 tahun ini yang berjudul 'Tingkatkan Pengendalian Diri dan Kebijaksanaan Mewujudkan Perdamaian Dunia' memiliki makna yang sangat mendalam, baik dari sisi spiritual maupun sosial, terutama bagi umat Buddha dan masyarakat Indonesia yang plural.
Menurut Phillip, pengendalian diri bagaikan seni mengemudi. Seperti halnya pengemudi harus tahu kapan harus menginjak pedal gas, berhenti, berbelok, atau mengerem ketika mengemudi. Begitupun dalam setiap aspek kehidupan, seseorang harus bisa mengontrol diri agar tidak terjerembab dalam keterpurukan.
“Jadi tidak hanya ngerem saja, tapi kita juga harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi untuk bisa mengendalikan diri,” tuturnya.
Hari Raya Waisak, Philip menjelaskan, bukan sekadar hanya perayaan momentum keagamaan, melainkan sebagai refleksi dan internalisasi semangat spiritual menuju pencerahan sejati. Dalam perayaan Waisak, umat Buddha diajak untuk menyelami tiga peristiwa suci yang dialami oleh Sidharta Gautama atau Sang Buddha untuk memperoleh pencerahan dan kedamaian antar makhluk hidup.
Hal ini merupakan bagian dari siklus kehidupan, yang mengingatkan untuk senantiasa berbagi dan merawat sesama, terutama dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan.
Philip menambahkan, ini adalah tantangan besar bagi generasi muda lintas agama untuk berkolaborasi dalam mewujudkan dunia yang lebih baik. Oleh karena itu moderasi beragama antar lintas agama menjadi sangat penting dalam meredam ideologi ekstreem guna mewujudkan kedamaian.
“Semangat moderasi beragama, yang berada di tengah (moderat) tidak condong ke kanan dan ke kiri juga harus digelorakan untuk menjunjung tinggi nilai nilai persatuan bangsa,” jelas sosok akademisi yang juga aktif dalam kegiatan pelestarian lingkungan hidup.
Mengenai hubungan toleransi dan sejarah Buddha di Nusantara, Prof Phillip menyampaikan bahwa agama Buddha pernah menjadi mayoritas dan memiliki kejayaan yang besar di masa kerajaan Majapahit dan Brawijaya di Indonesia, bahkan dunia. Namun, meskipun menjadi mayoritas, umat Buddha tidak serta merta menjadi ekslusif dan intoleran. Sehingga beragam agama, termasuk Islam masuk ke Indonesia dan bisa hidup berdampingan.
Menurut Philip, agama tentu mengajarkan kebaikan, sehingga perlu terus didorong adanya ruang dialog lintas agama agar saling memahami dan menghormati satu sama lain. "Yang terpenting bukan agamanya, tetapi bagaimana kita mengamalkan nilai-nilai kebaikan yang ada dalam agama tersebut, sehingga kita bisa hidup berdampingan," katanya.