REJOGJA.CO.ID, MAGELANG -- Bagas, seorang perintis usaha cokelat dari Desa Ngargoretno, Magelang, tetap gigih bertahan pada industri cokelat dengan kakao lokal dan turut memberdayakan masyarakat sekitarnya di tengah melambungnya harga kakao yang mencapai dua kali lipat.
Indonesia sebagai negara tropis memiliki kondisi ideal untuk pertumbuhan kakao. Namun, terdapat tantangan besar yang dihadapi para pengolah kakao karena pasokan bahan baku yang menurun dan lonjakan harga yang signifikan baik dalam skala lokal maupun internasional.
"Harga biji kakao kering pada tahun 2023 masih Rp 60 ribu per kilogram, tetapi pada tahun 2024 sudah mencapai Rp 130 ribu per kilogram," ungkap Bagas sambil menunjukkan nota pembelian biji kakao lokal yang pernah ia beli.
Selain itu kenaikan harga tersebut dikarenakan hasil panen yang buruk dari negara-negara Afrika Barat. Kenaikan harga yang mencapai lebih dari dua kali lipat ini menjadi tantangan tersendiri bagi keberlangsungan usaha cokelat yang dirintisnya.
Bagas menuturkan bahwa Desa Ngargoretno yang berada di kawasan perbukitan Menoreh, dulunya merupakan sentral kopi dan kakao. Kini hanya menyisakan kurang lebih sekitar 100 pohon kakao di Desa Ngargoretno.
Perubahan ini terjadi akibat anjloknya harga kakao pada tahun 2010-2014 dan serangan hama penyakit yang memaksa petani beralih ke tanaman lain seperti pohon besiah dan cengkeh, berdasarkan informasi tambahan dari Bagas ketika diwawancarai.
Meski demikian, Bagas melihat kembali peluang di balik tantangan tersebut."Saya melihat ada potensi kakao yang belum dimanfaatkan maksimal di desa ini. Masyarakat lain sudah fokus pada kopi, jamu-jamuan, dan teh, tapi belum ada yang mengolah kakao," jelasnya.
Selain itu Desa Ngargoretno yang berada di dataran tinggi memiliki cuaca serta suhu yang cenderung dingin dan lembab, sebetulnya bukan lokasi ideal untuk pertumbuhan kakao.
"Kakao tumbuh lebih baik di dataran rendah dengan permukaan tanah yang rata. Di sini butuh perawatan ekstra agar pohon kakao dapat tumbuh dan berbuah dengan baik," katanya menambahkan.
"Pohon kakao yang sering dipetik akan semakin bagus kualitas buahnya. Sebaliknya, jika jarang dipetik, buah kakao akan membusuk di pohon dan menjadi sumber penyakit," jelasnya sambil menekankan pentingnya teknik pemetikan yang benar menggunakan alat potong seperti gunting atau pisau agar bekas potongan dapat berbuah kembali.
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Bagas tetap konsisten untuk bertahan dalam industri ini. Ia memanfaatkan dan merawat pohon kakao yang masih tersisa di desanya. Selain itu, ia melakukan penanaman bibit pohon kakao secara berkala dengan harapan untuk menambah populasi pohon kakao di desa tersebut.
Pemberdayaan masyarakat juga dilakukan Bagas, dengan membeli buah kakao dari pekarangan warga serta mendorong kesadaran warga untuk merawat dan turut memanfaatkan kakao ini. Salah satu warga setempat sudah dipercaya Bagas untuk melakukan pengolahan buah kakao dari pemanenan sampai proses roasting, sehingga terbentuk kerja sama antar warga dalam proses pemberdayaan kakao lokal Desa Ngargoretno, Magelang.
"Proses pembuatan cokelat dari biji buah kakao memerlukan waktu sekitar dua minggu. Tahapan terlama adalah fermentasi dan penjemuran yang masing-masing membutuhkan waktu lima sampai enam hari," jelas Bagas menggambarkan proses produksi yang cukup panjang.
Berikut merupakan gambaran proses pengolahan buah kakao hingga menjadi cokelat yang siap untuk dikonsumsi, maupun menjadi olahan lain nantinya:








