REJOGJA.CO.ID, Oleh: M. Abdul Fattah Santoso
Sebentar lagi Ramadhan 1446 Hijriyah dengan ibadah utamanya puasa akan berakhir. Apakah akan berlalu begitu saja dalam rutinitas, tanpa makna yang dapat menjadi bekal evaluasi dan perencanaan diri? Sebagaimana sudah diketahui bersama, dengan merujuk ke QS Al-Baqarah [2]: 183, tujuan Allah mewajibkan ibadah puasa Ramadhan adalah meraih takwa. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah itu manifestasi ketakwaan yang dibentuk oleh ibadah puasa Ramadhan?
Dalam pengertian fikih, berpuasa adalah ibadah yang dilaksanakan karena Allah dengan tidak makan, minum, dan bersetubuh, serta meninggalkan perbuatan-perbuatan yang membatalkan dan merusak kesempurnaan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Ahmad Musthafa Al-Maragi dalam tafsirnya Tafsīr Al-Marāgī menjelaskan, secara bahasa kata shiyām (puasa dalam Bahasa Arab) berarti imsāk dan kāf. Imsāk maknanya menahan diri, dan kāf maknanya mencukupkan diri atas sesuatu. Itulah substansi atau hakikat puasa. Puasa tidak sebatas meninggalkan makan, minum, dan bersetubuh.
Puasa adalah pengendalian diri (self-control) dan disiplin diri (self-discipline) yang berasal dari dalam. Dengan berpuasa, manusia merasa cukup dan mencukupkan diri dengan tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas (self-restrain). Puasa itu, memang, tameng (junnah) yang melindungi dan menyelamatkan manusia dari berbuat maksiat. Demikian salah satu hadis qudsi menjelaskan.
Dalam pengendalian diri dan disiplin diri, tersirat kesabaran. Pengendalian diri dan disiplin diri membutuhkan kesabaran. Karena itu, Al-Maragi mengungkapkan kaitan puasa dan kesabaran: “Puasa itu adalah separuh kesabaran.” Maknanya, orang yang berpuasa harus senantiasa sabar.
Berbagai masalah dalam hidup dan kehidupan sehari-hari, baik bersifat pribadi atau publik, disebabkan karena ketidak-sabaran manusia dalam wujud berbuat melampaui batas. Berbagai masalah kesehatan yang diakibatkan oleh makan dan minum yang berlebihan karena ketidak-mampuan manusia mengendalikan nafsu makan. Gaya hidup yang boros, berfoya-foya, dan konsumtif menjadikan banyak makanan yang terbuang (mubadzdzir). Ketidak-mampuan menahan nafsu birahi menjerumuskan manusia pada perbuatan zina. Keserakahan memperoleh harta menyeret manusia berbuat korupsi (fasad), merusak, dan menghalalkan segala cara, termasuk membunuh sesama. Ketamakan akan kekuasaan dan jabatan (lust for power) membuat seseorang melanggar konstitusi dan merusak norma serta moral utama.
Michael Sandel (2012), dalam buku What Money Can’t Buy: The Moral Limits of Market, menjelaskan bahwa dalam kehidupan dan budaya yang serba materialistis, uang dan harta merupakan prestise dan ukuran keberhasilan. Manusia menjadi hedonis, materialistis, dan egois (pengumbar kenikmatan, pencinta materi dan diri sendiri). Lebih dari itu, uang dan harta memungkinkan manusia memperoleh apa yang diinginkan.
Ketidakmampuan menahan diri (having mood) menjerumuskan pada kehancuran dan jauh dari kebahagiaan. Bahagia, menurut Erich Fromm dalam buku To Have or To Be (1976), adalah ketika manusia merasa cukup dan menikmati apa yang dimiliki (being mood). Dalam konteks inilah Alquran mengingatkan manusia agar tidak boros, konsumtif, dan hidup berfoya-foya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS Al-A’raf [7]: 31). Peringatan Allah yang lain: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguh-nya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isrā’ [17]: 26-27).
Selain itu, puasa juga mendidik manusia agar senantiasa jujur. Kejujuran terbangun dari kesadaran kedekatan dengan Allah SWT. dan bahwa Allah Maha Mengetahui apa yang dilakukan manusia. Dalam suatu hadis Qudsi yang bersumber dari Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan dan ditulis oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dinyatakan: “Puasa itu urusanku, dan Akulah yang akan memberikan balasan.”
Puasa membentuk manusia menjadi pribadi yang terbuka dan berintegritas. Integritas terben-tuk ketika manusia terbiasa jujur di mana hati, lisan, dan perbuatan seiring-sejalan. Sebaliknya, manusia bisa memiliki kepribadian yang pecah (split personality) apabila terbiasa dusta, men-dustai diri sendiri dan orang lain. Hidup menjadi resah dan gelisah karena hati, lisan, dan perbuatan tidak sejalan.
Di luar pengertian fikih, kata shaum, kata benda lain selain shiyām, digunakan Alquran dalam makna lain, yaitu diam, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu. Maryam, ibunda Nabi Isa AS memilih diam, tidak menjawab pertanyaan khalayak tentang kehamilannya, sebagaimana firman Allah SWT: “Maka makan, minum dan bersenanghatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah, “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS Maryam [19]: 26).
Sikap bunda Maryam tersebut memiliki dua makna. Pertama, bunda Maryam berusaha mencegah dan menghilangkan fitnah. Apapun jawaban yang diberikan tetap akan menjadi kontroversi dan fitnah. Kedua, bunda Maryam berusaha menghindari hal-hal yang tidak bermanfaat. Apapun jawaban yang diberikan tidak akan mengubah opini orang-orang yang telah menyebarkan dusta dan tuduhan keji kepadanya. Dalam kehidupan sosial sekarang ini, di era di mana manusia hidup di alam digital, sikap dan keteladanan bunda Maryam tersebut sangat penting. Filosofi “diam itu emas” sangat penting di era yang penuh hoaks dan disinformasi.
Selain ibadah puasa, umat Islam selama bulan Ramadhan melaksanakan shalat tarawih dan memperbanyak tadarus atau membaca Alquran. Abdullah Yusuf Ali, dalam The Meaning of the Holy Qur’an (1992: 998), menjelaskan bagaimana kaitan antara tadarus (membaca Al-Qur’an) dengan shalat dan perbuatan manusia ketika menafsirkan QS Al-Ankabut [29]: 45.
Tilāwah (sebagai kata benda dari kata kerja perintah utlu dalam ayat tersebut) mengandung empat pengertian: (1) membaca dan menyebar-luaskan atau menyampaikan kepada orang lain; (2) membaca Alquran dan mengamalkan dalam kehidupan pribadi; (3) memahami dan mengkaji dengan benar sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam; dan (4) merenungkan dan menilai sehingga ilmu dan perilaku kita sesuai dengan Alquran. Dengan cara demikian, menurut Yusuf Ali, kita akan senantiasa ingat kepada Allah Swt. dan menghadirkan Allah SWT dalam kehidupan. Dengannya, kita akan merasa malu dan bersalah apabila masih berbuat tidak adil kepada sesama. Demikianlah dzikir yang sesungguhnya.
Dengan senantiasa melaksanakan shalat, manusia akan terjaga dari perbuatan dosa, tentram hidupnya karena senantiasa ingat dan dekat dengan Allah SWT. Karena itu, shalat tidak terbatas ibadah ritual, tetapi ibadah yang aktual dalam setiap aspek kehidupan.
Masih ada satu lagi kegiatan yang dilakukan umat Islam selama Ramadhan: berderma. Terkait dengan kedermawanan (filantropi), Alquran menyebut tiga istilah: zakat, infak, dan sedekah. Secara fikih, ketiganya berbeda dalam pengertian dan titik tekan. Zakat adalah rukun Islam yang diwajibkan bagi mereka yang memiliki jenis harta tertentu yang dalam jumlah tertentu (nishab), waktu tertentu (haul), dan diberikan kepada penerima tertentu (mustahiq). Hal demikian tidak berlaku untuk infak. Infak dapat diberikan kapan saja, dalam jumlah berapa saja, kepada siapa saja. Sedangkan sedekah memiliki pengertian yang lebih luas, yaitu semua jenis pemberian, baik materi maupun non-materi. Bukankah dalam hadis disebutkan bahwa menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.
Zakat memiliki tiga dimensi: (1) membersihkan jiwa (QS Al-A’la [87]: 14-15); (2) membersihkan harta (QS At-Taubah [9]: 103); dan (3) membersihkan berbagai masalah, tersirat dalam distribusi zakat untuk delapan kelompok (QS At-Taubah [9]: 60). Terkait dengan tiga dimensi zakat tersebut, Alquran menjelaskan tiga prinsip Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS). Pertama, ZIS adalah aktualisasi iman dan cinta kepada sesama manusia yang ditunaikan dengan ikhlas karena Allah Swt. semata. Karena itu, ZIS haruslah berupa harta yang terbaik (QS Ali Imran [3]: 92) dan diberikan dengan cara terbaik: menghormati, tidak mencaci, dan merendahkan penerima (QS Al-Baqarah [2]: 264).
Kedua, ZIS tidak hanya diberikan dalam bentuk charity (santunan), namun juga dalam bentuk pemberdayaan, advokasi, dan investasi. Di dalam QS Al-Baqarah [2]: 261, dinyatakan bahwa harta yang diinfakkan di jalan Allah Swt. laksana menanam sebutir biji yang tumbuh menjadi sebatang pohon yang memiliki tujuh tangkai yang masing-masing memiliki 100 biji. Ayat ini lebih sering dimaknai dalam hubungannya dengan pahala ZIS: 700 kali lipat. Namun, bila dilihat dari sudut pandang menanam pohon, ZIS sesungguhnya adalah investasi yang menyelamatkan alam dan menyejahterakan manusia.
Ketiga, diperlukan manajemen ZIS yang profesional, akuntabel, dan sustainable. Inilah alasan mengapa Amil menjadi salah satu penerima ZIS. Dengan manajemen profesional, ZIS tidak hanya menjadi aksi santunan yang spontan (karitatif), tetapi menjadi sebuah budaya kedermawanan yang membentuk masyarakat yang tangguh, solid, dan mandiri.
Merujuk pada World Giving Index (WGI) yang diterbitkan Charity Aid Foundation (CAF) pada tahun 2024, Indonesia adalah bangsa yang paling dermawan di dunia selama tujuh tahun berturut-turut (2017-2023). Setiap terjadi musibah masyarakat dengan sigap menghimpun dana kemanusiaan. Hal ini sangat baik dan menjadi modal sosial dan moral yang kuat. Jika modal tersebut dapat dikelola dan dikembangkan dengan manajemen yang professional, solid, dan akuntabel, ZIS bisa menjadi pilar dan formula ampuh untuk menyelesaikan masalah sosial serta membangun bangsa yang kuat dan tangguh.
Demikian pesan yang dapat diambil dari serangkaian ibadah Ramadhan. Sebagai rangkuman, Ramadhan yang telah berlalu memberikan kita manifestasi takwa yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari sehingga hidup menjadi tenang dan bahagia, tidak resah dan gelisah. Bekal-bekal takwa tersebut berjumlah delapan, yaitu (1) pengendalian diri, (2) disiplin diri, (3) sabar, (4) jujur, (5) berintegritas, (6) tidak boros, konsumtif, dan hidup berfoya-foya, (7) menghadirkan Allah dalam setiap sikap dan perbuatan, dan (8) memberikan kemanfaatan kepada sesama antara lain dengan menjadikan ZIS sokoguru penyelesaian masalah sosial dan pembangunan bangsa yang mandiri dan berkemajuan. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1446.
Kartasura, Jumat, 28 Ramadhan 1446 H/ 28 Maret 2025 M.