REJOGJA.CO.ID, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan sedang melakukan proses penyelidikan terkait skandal pemagaran laut di kawasan pantai utara Tangerang, Banten. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan tim dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) yang sudah melakukan pengumpulan bahan keterangan, dan data terkait pagar laut sepanjang 30,16 Kilometer (km) tersebut.
“Kami tentu secara proaktif sesuai kewenangan, kami melakukan pengumpulan data dan keterangan. Karena ini sifatnya penyelidikan, ini belum pro justitia. Dan kami perlu hati-hati dalam menjalankan tugas ini,” ujar Harli di Kejagung, Jakarta, Kamis (30/1/2025). Harli menerangkan proses penyelidikan yang dilakukan tim Jampidsus tersebut, sebagai respons otomatis untuk melihat peristiwa hukum apa yang terjadi terkait dengan skandal pagar laut tersebut.
“Karena apa, sebagai aparat penegak hukum, jangan sampai kejaksaan ini tertinggal melihat terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Apalagi ini ada kaitannya dengan peristiwa hukum,” ujar Harli. Namun begitu Harli memastikan, proses penyelidikan yang dilakukan belum berujung pada kesimpulan. Sebab Harli menerangkan, penyelidikan yang dilakukan tim Jampidsus-Kejagung tetap mendahulukan proses serupa yang saat ini dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), selaku otoritas utama terkait masalah pagar laut itu.
“Mengapa, karena kita mengharapkan, jika misalnya kementerian atau lembaga ini dalam pemeriksaan pendahuluannya menemukan ada peristiwa pidana di sana, tentu kita akan melihat, pidananya seperti apa, apakah ada peristiwa pidana yang diindikasikan tipikor, atau bukan,” ujar Harli. Jika dari temuan KKP tersebut nantinya juga pada kesimpulan adanya dugaan tindak pidana korupsi (tipikor), Jampidsus-Kejagung akan meningkatkan penyelidikannya ke level penyidikan.
“Kalau misalnya ada terindikasi tindak pdana koruspi, katakanlah dalam penerbitan surat-surat kepemilikan, dan seturusnya ada suap gratifikasi, ini akan menjadi kewenangan kami. Tetapi kalau misalnya terkait dengan street crime atau kejahatan umum, misalnya pemalsuan surat-surat, nah ini akan menjadi kewenangan lembaga lain,” ujar Harli. Menurutnya, dengan tetap mendahulukan proses yang dilakukan KKP, agar pengusutan hukum terkait dengan keberadaan pagar laut tersebut tak tumpang tindih. “Supaya jangan carut-marut. Di tangani di sana, di tangani di sini, tetapi nanti satupun jadi tak jelas,” ujar Harli.
Laporan MAKI
Sementara Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) kembali melaporkan dugaan tindak pidana korupsi terkait dengan keberadaan pagar laut di kawasan pantai utara Tangerang, Banten. Pada Kamis (30/1/2025) Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyambangi Kejaksaan Agung (Kejagung) melaporkan adanya pemalsuan dalam penerbitan surat-surat atas kepemilikan lahan laut yang diperjual-belikan untuk pemagaran laut tersebut.
Boyamin menerangkan, pelaporannya ke Kejagung setelah ia menerima informasi bahwa Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) sudah menerbitkan surat perintah penyelidikan terkait kasus yang sama. Dan kata Boyamin, laporan tersebut sebagai lanjutan atas pelaporan serupa yang MAKI juga lakukan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Jadi saya ke sini (Kejagung), karena memang saya dengar sudah ada sprinlid (surat perintah penyelidikan) yang dikeluarkan oleh Jampidsus," kata Boyamin di Kejagung, Jakarta, Kamis (30/1/2025). "Tapi yang lebih penting dari itu, saya datang untuk pelaporan resmi dugaan tindak pidana korupsi dalam penerbitan surat-surat kepemilikan HGB (Hak Guna Bangunan), mau HM (Hak Milik) di lahan laut utara Tangerang yang dibangun pagar laut," sambung Boyamin.
Boyamin menerangkan, dasar pelaporannya tersebut menggunakan sangkaan Pasal 9 UU Tipikor 20/2001. Pasal rersebut terkait ancaman pidana terhadap penyelenggara negara yang sengaja menerbitkan dokumen-dokumen atau daftar khusus palsu atas objek administrarif. "Saya meyakini, bahwa terbitnya surat-surat kepemilikan lahan atas laut tersebut palsu. Karena itu diterbitkan pada 2023," ujar Boyamin.
Sementara, kata Boyamin berdasarkan catatan garis pantai di kawasan tersebut tak berubah sejak 1970 hingga saat ini. Kata Boyamin jika ada klaim pihak-pihak yang menyatakan bahwa pagar laut tersebut berdiri di atas bekas lahan garapan warga, dan dulunya digunakan dalam kegiatan tambak maupun empang, klaim tersebut, pun tak mendukung kegiatan sertifikasi kepemilikan dan jual beli lahan yang terjadi sepanjang 2023.
Karena kata Boyamin, mengacu catatan garis pantai, lahan yang dulunya garapan warga tersebut sudah 'termakan' oleh lautan. Sehingga, mengacu perundang-undangan, lahan tersebut masuk dalam kategori musnah. Dan kata dia, lahan musnah tak memungkinkan dilakukan sertifikasi untuk klaim kepemilikan. Apalagi diperjual belikan.
"Jadi kalau terbitnya HGB dan HM tersebut dilakukan pada 2023, padahal sejak 1970 garis pantai tidak berubah, dan tidak pernah bergeser maka sudah jelas penerbitan HGB maupun HM lahan atas laut tersebut adalah palsu," kata Boyamin. Kata dia, pemerintah melalui Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, pun menyatakan bahwa sertifikat kepemilikan atas lahan pagar laut tersebut merupakan klaim tidak sah atas objek pajak yang sudah musnah.
"Dan itu tidak bisa disertifikasi untuk kepemilikan. Jadi kalau ada sertifikatnya sejak 2023, sudah dipastikan itu palsu," ujar Boyamin. Dan kata Boyamin, pemalsuan surat-surat tersebut tentunya melibatkan banyak pihak. Mulai dari penyelenggara sari tingkat desa, sampai dengan otoritas penerbitan sertifikat atas lahan laut tersebut. Juga, kata Boyamin, tentunya melibatkan swasta sebagai penerima manfaat dari penerbitan-penerbitan sertifikat palsu tersebut.
Sebab itu, Boyamin mengatakan, dalam laporannya ke Jampidsus agar turut juga menyelidiki terkait dugaan Pasal 2 ataupun Pasal 5, dan Pasal 6 UU Tipikor untuk mengungkap kasus pagar laut tersebut. Sebab kata dia, tentu saja ada pihak-pihak yang diuntungkan, ataupun penerima manfaat dari aksi ilegal pemagaran laut sepanjang 30 Km yang merugikan negara itu.