Kamis 02 Jan 2025 10:49 WIB

Kenaikan Pajak dan Feminisasi Kemiskinan di Indonesia

Perempuan di Indonesia lebih rentan mengalami kemiskinan dibandingkan laki-laki.

Red: Fernan Rahadi
Khusnul Hidayah
Foto: dokpri
Khusnul Hidayah

REJOGJA.CO.ID, Oleh: Khusnul Hidayah (Ketua Pusat Studi Gender dan Dosen Prodi Akuntansi FEB Universitas Ahmad Dahlan)

Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen yang direncanakan berlaku penuh pada 2025. Kebijakan yang mengundang kritik keras banyak pihak karena akan menambah berat beban ekonomi masyarakat tahun 2025.

Pemerintah berdalih kenaikan pajak demi meningkatkan pendapatan negara dalam mendukung program pembangunan. Namun, di balik kebijakan ini, terdapat kelompok masyarakat yang berpotensi menanggung beban paling berat: Perempuan terutama mereka yang hidup dalam kondisi kemiskinan.

Fenomena feminisasi kemiskinan di Indonesia menjadi isu penting yang kerapkali diabaikan pemangku kebijakan. Feminisasi kemiskinan merujuk pada kondisi perempuan yang lebih rentan mengalami kemiskinan dibandingkan laki-laki akibat ketimpangan akses terhadap pendidikan, pekerjaan, upah layak, fasilitas kesehatan dan sumber daya ekonomi lainnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan perempuan di Indonesia lebih rentan mengalami kemiskinan dibandingkan laki-laki, yakni sekitar 9,20 persen perempuan hidup di bawah garis kemiskinan, lebih tinggi dibandingkan laki-laki yang berada pada angka 8 persen. Rumah tangga miskin yang dikepalai oleh perempuan mencapai 16,23 persen lebih dari total rumah tangga miskin di Indonesia.

Lebih lanjut, Data BPS mengindikasikan bahwa ketimpangan gender di Indonesia masih relatif tinggi, baik dari aspek ekonomi , sosial maupun politik. Laporan UNDP menempatkan Indonesia pada peringkat 100 pada indeks ketimpangan gender, bahwa perempuan menghadapi tantangan besar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan. Meskipun ada perbaikan dari tahun ke tahun, ketimpangan ini masih menjadi hambatan bagi pembangunan yang inklusif.

Mengapa Kebijakan Pajak Harus Berperspektif Gender?

Kenaikan PPN akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa, terutama kebutuhan pokok. Peran tradisional yang melekat pada perempuan sebagai pengelola keuangan rumah tangga membuat Perempuan menghadapi tekanan yang lebih besar ketika harga kebutuhan pokok melesat naik. Berdasarkan temuan Center of Economic and Law Studies (Celios), pengeluaran kempok miskin mengalami kenaikan signifikan Rp 101.880 per bulan dari pendapatan mereka yang dihitung berdasakan angka kemisikinan sebesar Rp 582.932 per kapita per bulan. Dengan kenaikan PPN, ancaman feminisasi kemiskinan dikhawatirkan akan semakin nyata.

Sebagian besar perempuan miskin bekerja di sektor informal, Menurut BPS dalam Survei Sakernas (Survei Angkatan Kerja Nasional) sekitar 66,36 persen wanita adalah pekerja infomal, seperti pedagang kecil, pekerja rumah tangga, dan pengrajin. Sektor pekerjaan informal merupakan kegiatan ekonomi dengan skala kecil, dengan modal dan tehnologi yang terbatas. dengan penghasilan yang rendah, tidak stabil, dan tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai.

Ketika biaya hidup meningkat, perempuan sering kali harus mencari cara tambahan untuk mendapatkan penghasilan sambil tetap menjalankan tanggung jawab domestik. Beban ganda ini dapat menyebabkan stres, kelelahan, dan penurunan kualitas hidup.

Perumusan kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN di Indonesia masih belum mepertimbangkan aspek kesetaraan gender secara maksimal.

Sebagai contoh kenaikan PPN tidak membedakan kepentingan kelompok Perempuan dan laki-laki. Padahal kenaikan jelas memberikan dampak yang lebih besar bagi Perempuan terutama pada kebutuhan barang dan jasa yang signifikan untuk Perempuan seperti pelayanan Kesehatan reproduksi. Pemerintah penting untuk mempertimbangkan dampak yang berbeda terhadap kelompok masyarakat, termasuk perempuan. Kebijakan yang tidak sensitif terhadap gender dapat memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.

Kenaikan PPN cenderung bersifat regresif, berdampak lebih besar pada kelompok rentah dengan daya dukung ekonomi yang rendah, dan perempuan menjadi bagian yang signifikan. Tanpa adanya mekanisme perlindungan, kebijakan ini dapat memperluas kesenjangan gender dalam akses terhadap kebutuhan dasar dan kesempatan ekonomi.

Tinjau Ulang Kenaikan PPN dan Strategi ke Depan

Seperti dalih pemerintah, kenaikan PPN 12 persen merupakan langkah untuk mendukung program pemerintah seperti makan siang gratis dan pembayaran utang negara. Namun, kebijakan ini perlu ditinjau ulang untuk memastikan tidak memperburuk kondisi kelompok rentan, terutama perempuan. Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan untuk menunda kenaikan PPN hingga terdapat strategi yang komprehensif dalam mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.

Sebagai langkah alternatif, pemerintah dapat mengembangkan program-program khusus untuk menekan feminisasi kemiskinan. Program-program ini mencakup subsidi kebutuhan pokok, bantuan langsung tunai bagi perempuan kepala keluarga miskin, serta penguatan sektor informal dengan memberikan akses modal dan pelatihan keterampilan.

Di sisi lain, kajian dampak kebijakan berbasis gender perlu menjadi bagian integral dari setiap keputusan fiskal agar kebijakan yang diambil lebih inklusif dan berkeadilan. Oleh karena itu, penyusunan kebijakan perpajakan berbasis gender (gender-responsive tax policy) perlu dipertimbangkan agar output dan outcome yang dihasilkan dapat lebih optimal.Dengan pendekatan ini, pemerintah tidak hanya akan meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga memastikan bahwa kebijakan fiskal mendukung inklusi sosial dan kesejahteraan perempuan.

Selain itu perlu bekerjasama dengan kelompok masyarakat sipil mengambil peran dengan mendukung program pemberdayaan perempuan dan menyuarakan pentingnya kebijakan ekonomi yang adil. Dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi sosial, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan adil bagi perempuan.

Pada akhirnya, upaya untuk mengatasi feminisasi kemiskinan tidak hanya akan meningkatkan kesejahteraan perempuan, tetapi juga membawa manfaat bagi seluruh masyarakat. Perempuan yang berdaya adalah kunci untuk menciptakan keluarga, komunitas, dan bangsa yang lebih kuat.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement