REJOGJA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Kebijakan kenaikan upah minimum nasional sebesar 6,5 persen pada tahun 2025 yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto, Jumat (29/11/2024) lalu, menuai banyak pro dan kontra dari berbagai pihak, baik dari sisi pengusaha maupun dari organisasi serikat buruh. Banyak pengusaha yang mengatakan bahwa pemerintah perlu meninjau kembali keputusan ini. Sedangkan dari pihak buruh, banyak yang mendukung keputusan ini.
Dosen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM, Dr Hempri Suyatna menilai kebijakan kenaikan upah minimum ini berangkat dari adanya kebutuhan untuk meningkatkan daya beli masyarakat sekaligus kesejahteraan buruh pada masa kini, karena tingkat UMP pada saat ini dinilai jauh dari cukup untuk memenuhi biaya hidup.
"Sebenarnya kan data kebutuhan hidup layak minimum itu tinggi. Hanya saja UMP yang ada, upah-upah minimum yang ada itu sangat jauh, atau jauhlah dari kebutuhan hidup layak minimum. Saya kira ini bagian dari upaya sebenarnya untuk pemerintah untuk mendorong kesejahteraan buruh dan juga harapannya bisa meningkatkan daya beli dari masyarakat. Kira-kira itu mungkin dasarnya pemerintah,” kata Hempri Suyatna kepada wartawan, Rabu (4/12/2024).
Namun demikian, Hempri menuturkan kebijakan ini sebaiknya dikaji lebih jauh supaya juga tidak lupa untuk memperhatikan serta memanusiakan pengusaha. Karena kebijakan upah ini memiliki potensi untuk menyebabkan banyak perusahaan gulung tikar yang kemudian turut mempengaruhi daya tarik investasi di kancah internasional.
Oleh karena itu, Hempri mengusulkan agar problematika ini dibutuhkan proses dialog antara pemerintah, pengusaha, serta buruh, agar sebuah solusi yang dapat menyejahterakan buruh, serta mendukung iklim usaha di Indonesia dapat ditemukan. “Saya kira juga yang menjadi penting adalah perlu dialog yang secara kontinyu ya antara buruh, pengusaha, dan pemerintah, sehingga kan pengusaha juga tetap merasa diuwongke,. Ini ada sebagai sebuah proses-proses dialogis ya, yang harapannya ini ya kebijakan itu untuk semua,” ujarnya.
Menjelaskan lebih jauh, Hempri menerangkan dengan adanya proses dialog antara pemerintah, pengusaha maupun buruh tidak hanya soal upah namun juga program pengembangan SDM. Program peningkatan kualitas SDM ini, selain meningkatkan daya serap tenaga kerja oleh industri, namu juga meningkatkan produktivitas perusahaan. Pasalnya kualitas SDM sangat berpengaruh reputasi Indonesia yang selama ini dikenal sebagai negara penyedia buruh murah dan mengubahnya menjadi negara penyedia SDM berkualitas.
"Saya kira, rencana kenaikan UMP ini menjadi momentum untuk meningkatkan nasib buruh dan mengubah paradigma, kita tidak dikenal dengan gaji buruh murah, tapi yang dijual adalah produktivitas kerja," katanya.