Ketika pasukan sekutu menyerang Semarang, Magelang, dan Ambarawa pada akhir 1945, Soedirman memimpin pasukan mempertahankan kemerdekaan. Kemenangan di pihak Indonesia tidak lepas dari kepemimpinan Soedirman, yang membuat sejumlah petinggi Indonesia tak lagi meremehkan sikap tegasnya enggan menyerah dan menjadi tawanan Sekutu.
Pada agresi militer Belanda kedua yang terjadi pada 1948-1949 misalnya. Panglima Besar yang sedang sakit tidak gentar memberikan perlawanan. Ia memilih keluar masuk hutan bergeriliya ketimbang harus bertahan di ibu kota Yogyakarta seperti sejumlah tokoh politik.
Pasukan gerilya pimpinan Soedirman juga terlibat dalam momen Serangan Umum 1 Maret 1949. Hingga Soedirman pun akhirnya menyerah karena kesehatan. Tubuhnya tidak lagi kuat menahan sakit paru-paru. Jenderal Besar itu wafat pada 29 Januari 1950 di usianya yang masih muda, yakni 34 tahun.
Paku Alam VIII dan Buya Hamka mengatakan bahwa bangsa Indonesia merasa kehilangan atas “kepulangan” Soedirman. Atas dedikasi dan perjuangannya melawan penjajah, namanya dikenang oleh bangsa Indonesia. Ia banyak menerima tanda kehormatan, mulai Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Sakti, Bintang republik Indonesia Adipradana, dan sebagainya.
Jenderal Soedirman ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Surat Keputusan Nomor 314 Tahun 1964. Nama besar Soedirman pun banyak digunakan menjadi nama sejumlah museum, jalan, universitas, hingga monumen.